40 Orang Jadi Korban Perdagangan Orang
Modus Beri Bea Siswa ke Taiwan
Polisi mengungkap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus pemberian beasiswa kuliah dan bekerja di Taiwan.
JAKARTA, NusaBali
Setidaknya 40 orang Warga Negara Indonesia (WNI) telah menjadi korban. "Ada modus operandi baru, yaitu menjanjikan beasiswa kuliah di luar negeri. Sudah ada sekitar 40 org WNI yang menjadi korban, dan [mereka] berasal dari wilayah Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah," kata Wakil Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Komisaris Besar Agus Nugroho, di Jakarta, Rabu (9/10) seperti dilansir cnnindonesia.
Mulanya, korban dijanjikan program kuliah dan mendapatkan pekerjaan di Taiwan. Dengan syarat, mereka membayarkan uang Rp35 juta sebagai biaya administrasi.
Dijelaskan juga, orang tua korban yang tidak mampu menyanggupi pembayaran administrasi dapat mengambil pinjaman dari para tersangka. Dengan catatan, pelunasan akan dilakukan dengan pemotongan gaji dari para korban selama bekerja di Taiwan.
Korban juga harus menyertakan persyaratan administratif lainnya seperti ijazah SMA, KTP, KK, Akte Kelahiran, Rapor SMA, Surat Ijin dari orang tua, dan SKCK. Selain itu, peserta juga diwajibkan untuk melewati rangkaian wawancara dengan pihak Taiwan saat di Jakarta.
Polisi menduga rangkaian persyaratan itu dilakukan untuk menyamarkan niat dari tersangka untuk memperdaya korban untuk bekerja di Taiwan. Saat di Taiwan, korban ditempatkan di pabrik besi. Mereka bekerja dari Senin hingga Sabtu.
Berdasarkan informasi, para korban semula dijanjikan mendapat gaji 27 ribu dolar Taiwan. Setelah mendapat pemotongan uang, korban hanya mendapatkan 5 ribu dolar Taiwan atau sekitar Rp2 juta.
Untuk sesi kuliahnya, Agus menyebut itu baru dilakukan pada hari Minggu. Itupun hanya berupa kursus bahasa demi memperlancar pekerjaan.
"Seolah-olah untuk perkuliahan, padahal pada praktiknya hanya kursus bahasa saja. Jelas, arahnya nanti untuk menghasilkan profit," jelas Agus.
"Ditemukan perwakilan-perwakilan dari jaringan ini, seolah-olah seperti kuliah, namun isinya belajar bahasa Taiwan untuk memudahkan pekerjaannya itu sendiri," tambahnya.
Untuk kasus ini, polisi telah menangkap dua tersangka berinisial M dan L yang menjadi dalang dalam praktik pemberangkatan pekerja migran ilegal.
Atas perbuatannya, polisi menggunakan pasal 4 uu no. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan atau Pasal 83, Pasal 86 Huruf A UU No. 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Kasus eksploitasi pelajar WNI di Taiwan sempat mengemuka setelah pengungkapan hasil investigasi salah satu anggota parlemen Taiwan dari Partai Kuomintang (KMT), Ko Chih-en.
Menurut laporan China Times seperti dikutip surat kabar Taiwan News, Rabu (2/1), 300 mahasiswa WNI menempuh kelas internasional khusus di bawah Departemen Manajemen Informasi sejak pertengahan Oktober 2018. Ko menyebut dalam sepekan para mahasiswa itu hanya belajar di kelas selama dua hari. Setelah itu mereka bekerja empat hari di pabrik lensa kontak selama 10 jam, dan mendapat jatah satu hari untuk libur.
Sementara, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania menyebut setidaknya 5.000 mahasiswa Indonesia di China dan Taiwan terjerat praktik kuliah kerja yang sarat eksploitasi. *
Mulanya, korban dijanjikan program kuliah dan mendapatkan pekerjaan di Taiwan. Dengan syarat, mereka membayarkan uang Rp35 juta sebagai biaya administrasi.
Dijelaskan juga, orang tua korban yang tidak mampu menyanggupi pembayaran administrasi dapat mengambil pinjaman dari para tersangka. Dengan catatan, pelunasan akan dilakukan dengan pemotongan gaji dari para korban selama bekerja di Taiwan.
Korban juga harus menyertakan persyaratan administratif lainnya seperti ijazah SMA, KTP, KK, Akte Kelahiran, Rapor SMA, Surat Ijin dari orang tua, dan SKCK. Selain itu, peserta juga diwajibkan untuk melewati rangkaian wawancara dengan pihak Taiwan saat di Jakarta.
Polisi menduga rangkaian persyaratan itu dilakukan untuk menyamarkan niat dari tersangka untuk memperdaya korban untuk bekerja di Taiwan. Saat di Taiwan, korban ditempatkan di pabrik besi. Mereka bekerja dari Senin hingga Sabtu.
Berdasarkan informasi, para korban semula dijanjikan mendapat gaji 27 ribu dolar Taiwan. Setelah mendapat pemotongan uang, korban hanya mendapatkan 5 ribu dolar Taiwan atau sekitar Rp2 juta.
Untuk sesi kuliahnya, Agus menyebut itu baru dilakukan pada hari Minggu. Itupun hanya berupa kursus bahasa demi memperlancar pekerjaan.
"Seolah-olah untuk perkuliahan, padahal pada praktiknya hanya kursus bahasa saja. Jelas, arahnya nanti untuk menghasilkan profit," jelas Agus.
"Ditemukan perwakilan-perwakilan dari jaringan ini, seolah-olah seperti kuliah, namun isinya belajar bahasa Taiwan untuk memudahkan pekerjaannya itu sendiri," tambahnya.
Untuk kasus ini, polisi telah menangkap dua tersangka berinisial M dan L yang menjadi dalang dalam praktik pemberangkatan pekerja migran ilegal.
Atas perbuatannya, polisi menggunakan pasal 4 uu no. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan atau Pasal 83, Pasal 86 Huruf A UU No. 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Kasus eksploitasi pelajar WNI di Taiwan sempat mengemuka setelah pengungkapan hasil investigasi salah satu anggota parlemen Taiwan dari Partai Kuomintang (KMT), Ko Chih-en.
Menurut laporan China Times seperti dikutip surat kabar Taiwan News, Rabu (2/1), 300 mahasiswa WNI menempuh kelas internasional khusus di bawah Departemen Manajemen Informasi sejak pertengahan Oktober 2018. Ko menyebut dalam sepekan para mahasiswa itu hanya belajar di kelas selama dua hari. Setelah itu mereka bekerja empat hari di pabrik lensa kontak selama 10 jam, dan mendapat jatah satu hari untuk libur.
Sementara, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania menyebut setidaknya 5.000 mahasiswa Indonesia di China dan Taiwan terjerat praktik kuliah kerja yang sarat eksploitasi. *
Komentar