Sudah Bakar 310 Mayat, Dimulai dari Jenazah Sang Ayah
Pada 1980-an, Wayan Dados diupah membakar jenazah dengan bayaran hanya Rp 135 per mayat. Sedangkan saat ini, bayarannya rata-rata Rp 1,5 juta per mayat yang dibakar
Kisah I Wayan Dados, Tukang Kompor Mayat asal Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang
GIANYAR, NusaBali
I Wayan Dados, 65, termasuk salah satu krama Bali dengan profesi langka. Kaki (kakek) berusia 65 tahun asal Banjar Pujung Kaja, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar ini merupakan tukang kompor mayat cukup terkenal di wilayah Gumi Seni. Selama 36 tahun terakhir sejak 1980, dia sudah membakar 310 mayat, dimulai dari jenazah almarhum ayahnya.
Kemahirannya dalam membakar bangke kering (mayat orang yang sudah lama meninggal lama) dan bangke matah (mayat orang yang baru meninggal), menjadikan Ki Dados---panggilan akrab I Wayan Dados---sebagai warga spesial di wilayah Kecamatan Tegallalang, bahkan Gianyar. Kakek 4 cucu dari 2 anaknya ini kerap dicari orang yang punya gawe upacara Makingsan ring Gni atau Ngaben untuk dimintai bantuan membakar jenazah.
Ki Dados merupakan anak dari pasangan suami istri miskin, I Made Kelid dan Ni Nyoman Lantar. Lahir pada Februari 1951, sejak sejak kecil hingga remaja Ki Dados menghabiskan hidupnya di Desa Sebatu. Selama itu pula, Ki Dados luntang-lantung dengan pekerjaan yang tidak jelas.
Meski demikian, Ki Dados semasa kecil hingga remaja rajin mendengar pitutur atau tatwa agama Hindu, terutama menyangkut jalan kematian. Menurut Ki Dados, jalan kematian yang terbaik secara Hindu adalah jika mayat cepat kembali ke asal, Panca Maha Bhuta. Caranya, mayat harus dibakar melalui upacara Makingsan ring Gni, sebelum diabenkan.
Prosesi Makingsan ring Gni dilakukan Ki Dados saat meninggalnya sang ibu kandung, Ni Nyoman Lantar, tahun 1977 silam. Ketika itu, Ki Dados yang belum menekuni profesi langkanya ini, mencari tukang bakar mayat dengan kompor minyak tanah di Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar.
Sejak ritual pembakaran jenazah ibunya itulah Ki Dados menyadari bahwa ke depannya, jasa tukang kompor mayat akan bisa menjadi profesi yang menjanjikan nafkah keluarga. Ki Dados pun mencoba merakit kompor mayat berbahan bakar minyak tanah. Perakitan kompor itu dipakai untuk menjual jasa pembakaran mayat kepada masyarakat.
Kompor buatan Ki Dados pertama kali dicoba sekitar tahun 1980 untuk upacara Makingsan ring Gni jenazah ayahnya, I Made Kelid. Pasca pembakaran jenazah ayahnya itu, kompor mayat milik Ki Dados mulai kapupah (nanggap upah) ke berbagai desa tetangga. Dimulai dari kapupah membakar mayat di Desa Kenderan, Kecamatan Tegallalang. Saat itu, krama Desa Pakraman Kenderan sedang menggelar upacara Ngaben Massal, yang salah satunya menggunakan bangke matah.
“Duk muun mayat di Desa Kenderan nika, tiyang polih ongkos wantah Rp 135. Kari nganggen kompor matangki gantung (Saat membakar mayat di Kenderan itu, saya dapat ongkos hanya Rp 135. Masih memakai kompor bertangki minyak tanah digantung di pohon, Red),’’ jelas Ki Dados kepada NusaBali di sela ritual pembakaran jenazah di Setra Desa Pakraman Pakudui, Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang, pekan lalu.
Menurut Ki Dados, dirinya tidak punya kiat khusus secara gaib untuk menyukseskan setiap pembakaran mayat. Sebelum membakar mayat, dia biasanya memasang peralatan, antara lain, mengantung tangki minyak di pohon terdekat, dengan ketinggian sekitar 15 meter. Selanjutnya, selang atau pipa plastik tangki dikatupkan ke sumbu kompor.
Ki Dados biasanya memulai ritual membakar mayat setelah ada izin dari pamangku atau sulinggih yang muput upacara Makingsan ring Gni atau Pangabenan di setra. Bagi Ki Dados, izin itu sangat penting, karena sekaligus permakluman kepada roh mayat yang dibakar.
Seiring perkembangan, Ki Dados pun menyadari bahwa membakar mayat dengan api minyak tangki digantung, semakin ketinggalan zaman. Model pembakaran mayat ini ada kelemahan, antara lain, saat membakaran mayat lebih dari satu pada satu tempat, pasti kewalahan menaikkan minyak. Selain itu, semburan apinya juga lemah, sehingga proses pembakaran mayat lambat.
Menyikapi kendala tersebut, Ki Dados kemudian beralih menjual jasa membakar mayat dengan memakai mesin kompresor. Dengan mesin ini, Ki Dados bisa lebih leluasa membakar mayat dari api semburan bahan bakar. Selama ini, Ki Dados biasa melayani jasa membakar mayat bersama rekannya, I Wayan Cedes, 70, juga asal Banjar Pujung Kaja, Desa Sebatu.
Terhitung sejak tahun 1980, Ki Dados sudah membakar sekitar 310 mayat, sebagian besar bangke matah. Kini, setiap pembakaran mayat baik kering maupun bangke matah, Ki dados minta ongkos Rp 1,5 juta per mayat. “Nika anggen tiyang pangupajiwa (Itu pakai saya menghidupi keluarga, Red),” tutur kakek yang memiliki dua istri: Ni Made Kicen, 62, dan Ni Nyoman Cangkir, 52, ini.
Menurut Ki Dados, selama berpuluh tahun mnenjual jasa pembakaran jenazah, dirinya belum pernah diganggu oleh roh mayat yang dibakarnya, termasuk diganggu lewat mimpi. Pasalnya, selain selalu minta izin kepada pamuput upacara, usai mambakar mayat, Ki Dados dan peralatanya juga diupacarai dengan Banten Tebasan Prayascita. Banten ini dilengkapi dengan tirta panglukatan berupa tirta tabah yang dimohonkan di Pura Bale Bang, Desa Pakraman Talepud, Kecamatan Tegallalang. 7 lsa
GIANYAR, NusaBali
I Wayan Dados, 65, termasuk salah satu krama Bali dengan profesi langka. Kaki (kakek) berusia 65 tahun asal Banjar Pujung Kaja, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar ini merupakan tukang kompor mayat cukup terkenal di wilayah Gumi Seni. Selama 36 tahun terakhir sejak 1980, dia sudah membakar 310 mayat, dimulai dari jenazah almarhum ayahnya.
Kemahirannya dalam membakar bangke kering (mayat orang yang sudah lama meninggal lama) dan bangke matah (mayat orang yang baru meninggal), menjadikan Ki Dados---panggilan akrab I Wayan Dados---sebagai warga spesial di wilayah Kecamatan Tegallalang, bahkan Gianyar. Kakek 4 cucu dari 2 anaknya ini kerap dicari orang yang punya gawe upacara Makingsan ring Gni atau Ngaben untuk dimintai bantuan membakar jenazah.
Ki Dados merupakan anak dari pasangan suami istri miskin, I Made Kelid dan Ni Nyoman Lantar. Lahir pada Februari 1951, sejak sejak kecil hingga remaja Ki Dados menghabiskan hidupnya di Desa Sebatu. Selama itu pula, Ki Dados luntang-lantung dengan pekerjaan yang tidak jelas.
Meski demikian, Ki Dados semasa kecil hingga remaja rajin mendengar pitutur atau tatwa agama Hindu, terutama menyangkut jalan kematian. Menurut Ki Dados, jalan kematian yang terbaik secara Hindu adalah jika mayat cepat kembali ke asal, Panca Maha Bhuta. Caranya, mayat harus dibakar melalui upacara Makingsan ring Gni, sebelum diabenkan.
Prosesi Makingsan ring Gni dilakukan Ki Dados saat meninggalnya sang ibu kandung, Ni Nyoman Lantar, tahun 1977 silam. Ketika itu, Ki Dados yang belum menekuni profesi langkanya ini, mencari tukang bakar mayat dengan kompor minyak tanah di Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar.
Sejak ritual pembakaran jenazah ibunya itulah Ki Dados menyadari bahwa ke depannya, jasa tukang kompor mayat akan bisa menjadi profesi yang menjanjikan nafkah keluarga. Ki Dados pun mencoba merakit kompor mayat berbahan bakar minyak tanah. Perakitan kompor itu dipakai untuk menjual jasa pembakaran mayat kepada masyarakat.
Kompor buatan Ki Dados pertama kali dicoba sekitar tahun 1980 untuk upacara Makingsan ring Gni jenazah ayahnya, I Made Kelid. Pasca pembakaran jenazah ayahnya itu, kompor mayat milik Ki Dados mulai kapupah (nanggap upah) ke berbagai desa tetangga. Dimulai dari kapupah membakar mayat di Desa Kenderan, Kecamatan Tegallalang. Saat itu, krama Desa Pakraman Kenderan sedang menggelar upacara Ngaben Massal, yang salah satunya menggunakan bangke matah.
“Duk muun mayat di Desa Kenderan nika, tiyang polih ongkos wantah Rp 135. Kari nganggen kompor matangki gantung (Saat membakar mayat di Kenderan itu, saya dapat ongkos hanya Rp 135. Masih memakai kompor bertangki minyak tanah digantung di pohon, Red),’’ jelas Ki Dados kepada NusaBali di sela ritual pembakaran jenazah di Setra Desa Pakraman Pakudui, Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang, pekan lalu.
Menurut Ki Dados, dirinya tidak punya kiat khusus secara gaib untuk menyukseskan setiap pembakaran mayat. Sebelum membakar mayat, dia biasanya memasang peralatan, antara lain, mengantung tangki minyak di pohon terdekat, dengan ketinggian sekitar 15 meter. Selanjutnya, selang atau pipa plastik tangki dikatupkan ke sumbu kompor.
Ki Dados biasanya memulai ritual membakar mayat setelah ada izin dari pamangku atau sulinggih yang muput upacara Makingsan ring Gni atau Pangabenan di setra. Bagi Ki Dados, izin itu sangat penting, karena sekaligus permakluman kepada roh mayat yang dibakar.
Seiring perkembangan, Ki Dados pun menyadari bahwa membakar mayat dengan api minyak tangki digantung, semakin ketinggalan zaman. Model pembakaran mayat ini ada kelemahan, antara lain, saat membakaran mayat lebih dari satu pada satu tempat, pasti kewalahan menaikkan minyak. Selain itu, semburan apinya juga lemah, sehingga proses pembakaran mayat lambat.
Menyikapi kendala tersebut, Ki Dados kemudian beralih menjual jasa membakar mayat dengan memakai mesin kompresor. Dengan mesin ini, Ki Dados bisa lebih leluasa membakar mayat dari api semburan bahan bakar. Selama ini, Ki Dados biasa melayani jasa membakar mayat bersama rekannya, I Wayan Cedes, 70, juga asal Banjar Pujung Kaja, Desa Sebatu.
Terhitung sejak tahun 1980, Ki Dados sudah membakar sekitar 310 mayat, sebagian besar bangke matah. Kini, setiap pembakaran mayat baik kering maupun bangke matah, Ki dados minta ongkos Rp 1,5 juta per mayat. “Nika anggen tiyang pangupajiwa (Itu pakai saya menghidupi keluarga, Red),” tutur kakek yang memiliki dua istri: Ni Made Kicen, 62, dan Ni Nyoman Cangkir, 52, ini.
Menurut Ki Dados, selama berpuluh tahun mnenjual jasa pembakaran jenazah, dirinya belum pernah diganggu oleh roh mayat yang dibakarnya, termasuk diganggu lewat mimpi. Pasalnya, selain selalu minta izin kepada pamuput upacara, usai mambakar mayat, Ki Dados dan peralatanya juga diupacarai dengan Banten Tebasan Prayascita. Banten ini dilengkapi dengan tirta panglukatan berupa tirta tabah yang dimohonkan di Pura Bale Bang, Desa Pakraman Talepud, Kecamatan Tegallalang. 7 lsa
1
Komentar