Mas Jayantiari Angkat Soal Hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Atas SDA
Satu lagi Doktor bidang Ilmu Hukum akan lahir di Universitas Udayana.
DENPASAR, NusaBali
Promovendus tersebut adalah I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari yang akan menyajikan hasil disertasinya di hadapan para penguji pada Sidang Terbuka Promosi Doktor di Ruang Lantai II Gedung Fakultas Hukum Unud, Jumat (18/10) hari ini. Mas Jayantiari mengambil judul ‘Harmonisasi Pengaturan Hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Atas Sumber Daya Alam Berbasis Hukum Progresif’ sebagai fokus penelitian untuk karya disertasinya.
Ditemui di sela gladi sidang Doktor, Mas Jayantiari menjelaskan, kesatuan masyarakat hukum adat merupakan komunitas yang secara historis telah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena eksistensi tersebut, maka kesatuan masyarakat hukum adat ini sesungguhnya memiliki hak atas sumber daya alam di mana mereka hidup. “Kesatuan masyarakat hukum adat ini memiliki ruang lingkup wilayah hidup. Tidak bisa dilepaskan dari kehidupan awal, kemudian mata pencahariannya juga sangat bergantung dengan alam. Bersamaan dengan eksistensinya sejak awal lebih dulu ada sebelum terbentuk NKRI, maka sebetulnya mereka juga punya hak atas ruang lingkup wilayah hidupnya,” ujarnya, Kamis (17/10).
Dia mencontohkan, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki hak atas tanah dan sumber daya lainnya di tempat mereka tinggal. Namun dia menilai ada indikasi kesatuan masyarakat hukum adat akan termarginalkan, karena ada kebijakan negara dalam menguasai sumber daya alam. “Seringkali yang terjadi kebijakannya adalah tidak secara maksimal memperhatikan kesatuan masyarakat hukum adat. Misalnya, ada hak-hak atas tanah yang dikeluarkan oleh negara, yang kemudian menginvasi ke wilayah hidup kesatuan masyarakat hukum adat itu,” terang promovendus asal Petang, Badung ini.
Dalam kesimpulan hasil penelitiannya, Mas Jayantiari mengungkapkan, pengaturan hak kesatuan masyarakat hukum adat atas sumber daya alam bentuknya tersebar dalam skema parsial berbagai undang-undang sektoral. Ada disharmoni norma dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pengakuan hak kesatuan masyarakat hukum adat atas sumber daya alam karena hegemoni negara dengan hak menguasai negara yang menguat dan memperlihatkan dominasi pemerintah. “Memang betul negara dalam perwujudannya memiliki hak menguasai tersebut, tapi tentu saja untuk implementasi dan pembuatan kebijakan harusnya memperhatikan komunitas yang diaturnya. Sehingga kesatuan masyarakat hukum adat bukan menjadi kelompok yang termaginalkan, tetapi mendapatkan perhatian sesuai amanat konstitusi,” imbuh promovendus kelahiran 15 Januari 1977 tersebut.
Menurutnya, model pengaturan yang dapat menyelesaikan disharmoni pengaturan hak kesatuan masyarakat hukum adat atas sumber daya alam adalah dengan harmonisasi hukum progresif melalui metode hermeneutika hukum dengan memberi makna pada teks secara kontekstual yang bersifat kreatif dan inovatif, sehingga dapat menjangkau hukum yang bermoral kemanusiaan. Karakteristik dari harmonisasi hukum progresif yaitu integrasi dari peraturan perundang-undangan berlandaskan pemaknaan yang luas dan tajam sehingga dapat mengakomodir pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. *ind
Ditemui di sela gladi sidang Doktor, Mas Jayantiari menjelaskan, kesatuan masyarakat hukum adat merupakan komunitas yang secara historis telah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena eksistensi tersebut, maka kesatuan masyarakat hukum adat ini sesungguhnya memiliki hak atas sumber daya alam di mana mereka hidup. “Kesatuan masyarakat hukum adat ini memiliki ruang lingkup wilayah hidup. Tidak bisa dilepaskan dari kehidupan awal, kemudian mata pencahariannya juga sangat bergantung dengan alam. Bersamaan dengan eksistensinya sejak awal lebih dulu ada sebelum terbentuk NKRI, maka sebetulnya mereka juga punya hak atas ruang lingkup wilayah hidupnya,” ujarnya, Kamis (17/10).
Dia mencontohkan, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki hak atas tanah dan sumber daya lainnya di tempat mereka tinggal. Namun dia menilai ada indikasi kesatuan masyarakat hukum adat akan termarginalkan, karena ada kebijakan negara dalam menguasai sumber daya alam. “Seringkali yang terjadi kebijakannya adalah tidak secara maksimal memperhatikan kesatuan masyarakat hukum adat. Misalnya, ada hak-hak atas tanah yang dikeluarkan oleh negara, yang kemudian menginvasi ke wilayah hidup kesatuan masyarakat hukum adat itu,” terang promovendus asal Petang, Badung ini.
Dalam kesimpulan hasil penelitiannya, Mas Jayantiari mengungkapkan, pengaturan hak kesatuan masyarakat hukum adat atas sumber daya alam bentuknya tersebar dalam skema parsial berbagai undang-undang sektoral. Ada disharmoni norma dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pengakuan hak kesatuan masyarakat hukum adat atas sumber daya alam karena hegemoni negara dengan hak menguasai negara yang menguat dan memperlihatkan dominasi pemerintah. “Memang betul negara dalam perwujudannya memiliki hak menguasai tersebut, tapi tentu saja untuk implementasi dan pembuatan kebijakan harusnya memperhatikan komunitas yang diaturnya. Sehingga kesatuan masyarakat hukum adat bukan menjadi kelompok yang termaginalkan, tetapi mendapatkan perhatian sesuai amanat konstitusi,” imbuh promovendus kelahiran 15 Januari 1977 tersebut.
Menurutnya, model pengaturan yang dapat menyelesaikan disharmoni pengaturan hak kesatuan masyarakat hukum adat atas sumber daya alam adalah dengan harmonisasi hukum progresif melalui metode hermeneutika hukum dengan memberi makna pada teks secara kontekstual yang bersifat kreatif dan inovatif, sehingga dapat menjangkau hukum yang bermoral kemanusiaan. Karakteristik dari harmonisasi hukum progresif yaitu integrasi dari peraturan perundang-undangan berlandaskan pemaknaan yang luas dan tajam sehingga dapat mengakomodir pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. *ind
Komentar