Warga Muslim Wajib Tabuh Bende Setiap Piodalan di Pura Bukit
Jalankan Titah Raja Karangasem Sejak 1894
Setelah menundukkan Kerajaan Selaparang, Lombok, Raja Karangasem XIV I Gusti Gede Jelantik kembali ke Bali mengajak serta sejumlah warga Muslim setempat. Mereka inilah yang rutin ngayah setiap piodalan di Pura Bukit.
AMLAPURA, NusaBali
Warga Muslim dari Banjar Kampung Anyar, Desa Bukit, Kecamatan/Kabupaten Karangasem sejak tahun 1894 secara turun temurun menjalankan titah Raja Karangasem XIV I Gusti Gede Jelantik. Amanatnya, warga Muslim wajib menabuh bende (gong kecil) di setiap piodalan di Pura Bukit, Banjar/Desa Bukit, Kecamatan Karangasem.
Piodalan yang digelar setiap Purnama Kapat, belum tentu dirayakan setiap setahun sekali. Piodalan akan digelar apabila Purnama Kapat nemu Beteng (salah satu dari Tri Wara).
Saat piodalan kali ini yang puncaknya pada Purnama Kapat, Redite Umanis Menail, Minggu (13/10), hingga Ida Bhatara masineb pada Sukra Umanis Menail, Jumat (18/10), warga Muslim ambil bagian menabuh bende.
Warga Muslim dimaksud adalah warga dari Desa Selaparang, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang diajak Raja Karangasem sekembali berperang menundukkan Kerajaan Selaparang. Raja Karangasem I Gusti Gede Jelantik meninggalkan Desa Seleparang pada 5 September 1894, kembali ke Karangasem. Saat itulah sejumlah warga Muslim diajak serta ke Karangasem, Bali.
Kerajaan Selaparang ditundukkan Raja Karangasem saat melakukan invasi tahun 1692, dipimpin Raja Karangasem IV yang diperintah tiga bersaudara; I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Selanjutnya daerah kekuasaan Kerajaan Selaparang diwariskan, hingga berakhir saat Raja Karangasem XIV I Gusti Gede Jelantik.
Pangrajeg Piodalan Pura Bukit AA Made Kosalia, menjelaskan warga Muslim ngayah bersih-bersih dan memukul bende setiap piodalan di Pura Bukit, adalah untuk menjalankan kewajiban atas titah Raja Karangasem, supaya ngayah di setiap piodalan di Pura Bukit.
Pada upacara kali ini mulai nedunang Ida Bhatara, krama Muslim dari Banjar Kampung Anyar, Desa Bukit, ngayah. Pangayah dibagi menjadi dua kelompok, ada yang melakukan bersih-bersih, ada yang ngayah memikul bende.
Terkait piodalan kali ini, krama Muslim ngayah sejak nedunang pralingga dan pratima Ida Bhatara berlanjut melasti ke Segara Pantai Ujung, Banjar Ujung Pesisi, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem pada Anggara Wage Matal, Selasa (1/10), selanjutnya puncak piodalan Purnama Kapat pada Redite Umanis Menail, Minggu (13/10), dan nyineb Sukra Umanis Menail, Jumat (18/10).
Setiap tahapan upacara itu diiringi tabuh bende, yang ditabuh krama Muslim. Krama Muslim yang bertugas memukul bende ada empat orang secara bergantian, dikoordinasikan Kelian Banjar Kampung Anyar, Burhan. Tiga warga Muslim lainnya yang ngayah adalah Sanusi, Sidik, dan Mahudi.
Setiap ngayah memukul bende, keempat warga tersebut mengenakan kain sarung dan peci hitam. Sehingga di antara ribuan umat Hindu di Pura Bukit, keempat pangayah itu terlihat paling menonjol.
“Krama Muslim itu konsisten ngayah setiap piodalan, sebab mereka khawatir jika absen ngayah ada sanksi niskala,” tutur AA Made Kosalia, yang didampingi Ketua Pengurus Pura Bukit AA Gede Mudita.
Burhan mengakui dirinya ngayah di Pura Bukit sejak masih remaja bersama kakeknya, Ali, dan ayahnya, Saptana.
“Saya tidak pernah absen ngayah, asal ada piodalan di Pura Bukit selalu ngayah, mulai dari bersih-bersih menyapu seluruh areal Pura Bukit, hingga memukul bende di saat melasti, puncak piodalan hingga nyineb,” kata Burhan di sela-sela upacara nyineb, bersama ketiga rekannya.
Burhan menjelaskan, dia bersama rekannya ngayah memukul bende secara bergantian. Sekali ngayah, dua orang memikul sanan (galasi) bende dan satu orang sambil memukul bende, begitu seterusnya.
“Selama puluhan tahun ngayah, saya merasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin, serta lancar bekerja serabutan,” jelas Burhan, ayah 3 anak dan 8 cucu, yang mengaku usianya telah 63 tahun, tetapi fisiknya tampak jauh lebih muda dibanding usianya.
Rekannya Sanusi, juga mengatakan hal yang sama. Belakangan ini Sanusi diberikan tugas mengoordinasikan pangayah Muslim melakukan bersih-bersih di sekeliling Pura Bukit. “Dari awal memulai tahapan piodalan, saya ngayah bersama saudara Muslim bersih-bersih di seluruh pelataran Pura Bukit. Berlanjut saya memukul bende di setiap tahapan upacara,” jelas Sanusi, yang sehari-hari sebagai staf di Kantor Desa Bukit. *k16
Piodalan yang digelar setiap Purnama Kapat, belum tentu dirayakan setiap setahun sekali. Piodalan akan digelar apabila Purnama Kapat nemu Beteng (salah satu dari Tri Wara).
Saat piodalan kali ini yang puncaknya pada Purnama Kapat, Redite Umanis Menail, Minggu (13/10), hingga Ida Bhatara masineb pada Sukra Umanis Menail, Jumat (18/10), warga Muslim ambil bagian menabuh bende.
Warga Muslim dimaksud adalah warga dari Desa Selaparang, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang diajak Raja Karangasem sekembali berperang menundukkan Kerajaan Selaparang. Raja Karangasem I Gusti Gede Jelantik meninggalkan Desa Seleparang pada 5 September 1894, kembali ke Karangasem. Saat itulah sejumlah warga Muslim diajak serta ke Karangasem, Bali.
Kerajaan Selaparang ditundukkan Raja Karangasem saat melakukan invasi tahun 1692, dipimpin Raja Karangasem IV yang diperintah tiga bersaudara; I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Selanjutnya daerah kekuasaan Kerajaan Selaparang diwariskan, hingga berakhir saat Raja Karangasem XIV I Gusti Gede Jelantik.
Pangrajeg Piodalan Pura Bukit AA Made Kosalia, menjelaskan warga Muslim ngayah bersih-bersih dan memukul bende setiap piodalan di Pura Bukit, adalah untuk menjalankan kewajiban atas titah Raja Karangasem, supaya ngayah di setiap piodalan di Pura Bukit.
Pada upacara kali ini mulai nedunang Ida Bhatara, krama Muslim dari Banjar Kampung Anyar, Desa Bukit, ngayah. Pangayah dibagi menjadi dua kelompok, ada yang melakukan bersih-bersih, ada yang ngayah memikul bende.
Terkait piodalan kali ini, krama Muslim ngayah sejak nedunang pralingga dan pratima Ida Bhatara berlanjut melasti ke Segara Pantai Ujung, Banjar Ujung Pesisi, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem pada Anggara Wage Matal, Selasa (1/10), selanjutnya puncak piodalan Purnama Kapat pada Redite Umanis Menail, Minggu (13/10), dan nyineb Sukra Umanis Menail, Jumat (18/10).
Setiap tahapan upacara itu diiringi tabuh bende, yang ditabuh krama Muslim. Krama Muslim yang bertugas memukul bende ada empat orang secara bergantian, dikoordinasikan Kelian Banjar Kampung Anyar, Burhan. Tiga warga Muslim lainnya yang ngayah adalah Sanusi, Sidik, dan Mahudi.
Setiap ngayah memukul bende, keempat warga tersebut mengenakan kain sarung dan peci hitam. Sehingga di antara ribuan umat Hindu di Pura Bukit, keempat pangayah itu terlihat paling menonjol.
“Krama Muslim itu konsisten ngayah setiap piodalan, sebab mereka khawatir jika absen ngayah ada sanksi niskala,” tutur AA Made Kosalia, yang didampingi Ketua Pengurus Pura Bukit AA Gede Mudita.
Burhan mengakui dirinya ngayah di Pura Bukit sejak masih remaja bersama kakeknya, Ali, dan ayahnya, Saptana.
“Saya tidak pernah absen ngayah, asal ada piodalan di Pura Bukit selalu ngayah, mulai dari bersih-bersih menyapu seluruh areal Pura Bukit, hingga memukul bende di saat melasti, puncak piodalan hingga nyineb,” kata Burhan di sela-sela upacara nyineb, bersama ketiga rekannya.
Burhan menjelaskan, dia bersama rekannya ngayah memukul bende secara bergantian. Sekali ngayah, dua orang memikul sanan (galasi) bende dan satu orang sambil memukul bende, begitu seterusnya.
“Selama puluhan tahun ngayah, saya merasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin, serta lancar bekerja serabutan,” jelas Burhan, ayah 3 anak dan 8 cucu, yang mengaku usianya telah 63 tahun, tetapi fisiknya tampak jauh lebih muda dibanding usianya.
Rekannya Sanusi, juga mengatakan hal yang sama. Belakangan ini Sanusi diberikan tugas mengoordinasikan pangayah Muslim melakukan bersih-bersih di sekeliling Pura Bukit. “Dari awal memulai tahapan piodalan, saya ngayah bersama saudara Muslim bersih-bersih di seluruh pelataran Pura Bukit. Berlanjut saya memukul bende di setiap tahapan upacara,” jelas Sanusi, yang sehari-hari sebagai staf di Kantor Desa Bukit. *k16
Komentar