Pulau Surga
Sejumlah orang Jerman bekerjasama dengan pekerja film Indonesia membuat film tentang Bali untuk mengenang 100 tahun Walter Spies (15 September 1895 – 19 Januari 1942).
Si seniman Walter Spies yang lahir di Moskwa, adalah pekerja gigih, pengamat tajam, dan penulis perjalanan tangguh. Dia orang Jerman, pernah berkelana ke Bali, memberi pengaruh pada seniman-seniman Bali dengan pikiran-pikirannya.
Tahun 1923 Spies berkelana ke Indonesia, tinggal di Jogja, sebelum bermukim di Ubud tahun 1927. Dia sangat disayang dan disegani oleh seniman-seniman alam Bali. Sebagai pelukis dia punya murid terbaik bernama Anak Agung Sobrat, pelukis seangkatan Ida Bagus Made Poleng dan Wayan Pendet di Ubud. Di teater dia punya kawan karib bernama I Wayan Limbak, yang kemudian mengemas Tari Sanghyang menjadi pertunjukan cak. Tapi Sobrat tak bertahan oleh pengaruh Spies yang sangat piawai membuat lukisan alam Bali tiga dimensi. Seperti juga pelukis Ida Bagus Made, Sobrat dan rekan-rekan kemudian banyak menerima pengaruh dari Rudolf Bonnet.
Walter Spies tewas karena kapal yang ditumpanginya diterjang peluru Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dalam Perang Dunia II. Dia berada di kapal itu bersama ratusan tawanan perang lain.
Para pekerja film itu hendak menelusuri sebagian kecil riwayat Spies. Pasti sulit melakukannya. Apalagi Sobrat sudah almarhum. Karena itu para pekerja itu mengarahkan film mereka pada julukan yang diberikan Spies pada Bali, yakni Pulau Surga.
Tentu tak mudah melacak apakah istilah Bali Pulau Surga memang meluncur pertama kali dari tulisan Walter Spies. Itu tentu tak penting benar. Yang lebih penting adalah, para pekerja film itu, yang ditangani dua sutradara dari dua bangsa, Jerman dan Indonesia, sibuk bertanya pada orang-orang Bali tentang, apakah orang Bali setuju dengan sebutan Bali Pulau Surga? Adakah orang-orang Bali sendiri merasakan tinggal di sebuah firdaus? Apakah keuntungan-keuntungan langsung yang dirasakan oleh orang Bali dengan sebutan Bali sebuah paradise?
Suatu pagi wawancara dilakukan di Banjar Sayan, Kedewatan, Ubud. Si sutradara menanyakan hal itu pada seorang lelaki Bali 40 tahun. Apa jawabnya?
“Tidak, saya tidak merasakan hidup di sebuah surga. Saya merasa di sini biasa-biasa saja.”
Tentu si sutradara Jerman itu kaget. Ujarnya, “Apakah alam Bali yang begini indah Anda tidak sebut sebagai sebuah taman firdaus?”
Lelaki Bali itu tersenyum. “Bali sebuah surga dirasakan oleh para turis, belum tentu oleh orang Bali. Turis-turis itu mendapatkan suasana yang eksotik di Bali, yang tidak mereka dapatkan di negeri mereka. Pemahaman surga bagi turis yang berkunjung beda dengan pengertian surga bagi orang Bali yang dikunjungi.”
“Tapi, tidakkah Anda happy pulau Anda disebut Pulau Surga?”
Lelaki itu mengangguk. “Tentu. Tak ada alasan saya untuk tidak bahagia.”
“Pasti Anda juga bahagia karena dengan begitu banyak turis datang ke Bali dan ribuan kamar dibangun untuk para pelancong dari luar negeri.”
“Belum tentu saya bahagia.”
“Belum tentu? Apa pengertian bahagia bagi Anda?”
“Bahagia berarti jika kita berbuat sesuatu yang membuat sebanyak mungkin orang lain merasakan manfaatnya dan mereka turut bahagia karenanya.”
“Bukankah dengan Walter Spies memperkenalkan Bali sebagai sebuah pulau surga dia telah membuat banyak orang Bali senang?”
“Benar. Tapi berapa orang turis seperti Walter Spies? Semua orang Bali harus berterima kasih pada Spies. Tapi tidak berarti semua orang Bali juga mesti membenarkan semua tindakan pelancong di sini, dan harus menerima tingkah mereka dengan perasaan senang. Turis bisa saja bersikap begitu karena mereka menganggap Bali itu pulau surga. Itu artinya mereka menganggap bisa mereguk kenikmatan di sini sampai tiada tara.”
Banyak pelancong Barat yang hingga kini menganggap pengertian Bali sebagai pulau surga sama seperti lebih enam puluh tahun silam. Alamnya damai, tenang, orangnya ramah, lugu, malas bertengkar, menerima apa adanya. Padahal Bali sudah berubah banyak. Orang-orangnya semakin pintar, tangkas bernegosiasi dalam urusan dagang, lalu-lintasnya semrawut, alamnya mulai digasak polusi dan hiruk pikuk.
Kendati begitu Bali tetap dianggap sebuah surga. Kenyataannya memang begitu, setidaknya bagi mereka yang ketagihan narkotika, atau kecanduan morfin. Banyak media pekabaran melaporkan, di Bali narkoba sangat gampang didapat.
Mungkin itu sebabnya, mereka benar-benar riang gembira di pulau ini. Cebok di tempat suci, duduk di bangunan-bagunan yang disakralkan, atau berpelukan dan berciuman di tempat-tempat ibadah. Jika orang Bali bertanya pada turis-turis tak senonoh itu, mengapa mereka bertingkah polah melecehkan tempat suci, bisa jadi mereka menjawab, “Bukankah ini surga? Tempat indah dan bebas untuk menikmati kegembiraan dan kebahagiaan.” Seperti apa seharusnya menanggapi jawaban seperti itu? *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar