Swasembada Pangan, Solusi Atau Polusi?
Fakultas Pertanian Unud Gelar Diskusi Peringati Hari Pangan Sedunia
Wakil Dekan I Fakultas Pertanian Unud, Dr Ir Ni Luh Kartini MS mengatakan, ketahanan pangan akan menentukan bagaimana generasi ke depan
DENPASAR, NusaBali
Swasembada pangan menjadi wacana yang terus didengungkan oleh pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan negara. Namun sebagian besar fakta di lapangan, swasembada pangan tidak diikuti dengan hasil produksi pangan yang sehat, justru banyak menggunakan bahan-bahan kimia. Topik inilah yang dibahas dalam diskusi bertemakan ‘Swasembada Pangan, Solusi atau Polusi?’ serangkaian memperingati Hari Pangan Sedunia yang digagas oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Udayana di Gedung Agrokomplek Kampus Unud Sudirman, Minggu (20/10) sore.
“Diskusi ini merupakan program madya kami di BEM Fakultas Pertanian Unud. Tujuan kegiatan ini kami ingin mahasiswa khususnya mahasiswa pertanian bisa melihat bagaimana keadaan sektor pertanian saat ini. Swasembada pangan ini apakah solusi atau polusi? Karena maraknya pertanian yang menggunakan pestisida dan bahan-bahan kimia lainnya,” ujar Ketua BEM Fakultas Pertanian Unud, Ni Kadek Sri Utari.
Baginya sendiri, permasalahan pangan saat ini tergerus oleh alih fungsi lahan untuk pembangunan maupun industri. Alih fungsi lahan ini mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian, sehingga berdampak pada produksi pangan. “Sehingga kita harus impor lagi. Kan tidak swasembada pangan jadinya. Melalui diskusi ini mungkin kita bisa sharing ke masyarakat dan petani yang sudah mulai alih fungsi lahan agar sadar betapa pentingnya menjaga kearifan lokal pertanian kita,” tambahnya.
Sementara Wakil Dekan I Fakultas Pertanian Unud, Dr Ir Ni Luh Kartini MS mengatakan, ketahanan pangan akan menentukan bagaimana generasi ke depan. Saat ini ketahanan pangan memiliki masalah terkait sistem pertanian yang organik yang nantinya bisa menyediakan pangan yang sehat. Jika dikaitkan dengan tema diskusi, masyarakat saat ini dihadapkan pada dua pilihan, apakah akan mengonsumsi pangan yang organik atau pangan yang penuh dengan bahan-bahan polutan. Maka, solusi yang ditawarkannya adalah sistem pertanian organik untuk meningkatkan kadar bahan organik dan menjaga sumber-sumber air.
“Ketahanan pangan di samping ditentukan oleh sistem pertanian yang organik, juga ditentukan oleh kondisi air. Sedangkan Bali sudah defisit air sejak tahun 2011 sebesar 18,76 meter kubik per detik. Kondisi ini menyebabkan kondisi lahan kita yang selama ini banyak yang tidak organik, kehilangan kadar-kadar air tanah. Kandungan bahan organik tanah sangat rendah sehingga tidak ada yang mengikat lagi,” ungkapnya.
Menurut Dr Kartini, sistem subak di Bali menjadi kunci penting. Namun kondisinya sekarang terbalik. Jika dulu sistem subak sebagai yang menyediakan air, namun justru kini yang paling tinggi menggunakan air. Paradigma subak sebagai penyedia air perlu dikembalikan lagi. Tidak tersedianya air akan ‘merembet’ hingga ke masalah kemiskinan hingga stunting. “Dari beberapa kajian, kalau tidak ada air berarti petaninya akan miskin. Dari kemiskinan itu akan terjadi kekurangan gizi, dan akhirnya berdampak pada stunting. Jadi sistem pertanian ini sangat penting,” tambahnya.
Dr Kartini juga mengingatkan agar Bali menjaga alamnya dengan baik. Para tetua Bali dulu telah membuat berbagai pegangan generasi kini untuk merawat alam. Misalnya saja Bhiasama Batur Kelawasan yang menyatakan bahwa manusia adalah alam itu sendiri. Alam sendiri adalah orangtua kita yang harus dijaga dan dirawat. Dalam bhisama tersebut konon disebutkan, bahwa memelihara gunung dan laut adalah penting, sebab gunung adalah sumber air sebagai tempat penyucian, sedangkan laut sebagai tempat peleburan. Ada juga Laknat Jagat Upadrawa dari Prasati Bulian B yang menegaskan, pemimpin tidak boleh salah dalam mengelola alam. Kalau salah, kutukannya 100 kali bhisama. "Hiduplah di tengah-tengah, jangan mengganggu gunung dan laut. Hiduplah dengan tanganmu sendiri. Jangan sekali-kali hidup bersenang-senang dengan merusak alam. Jika dilakukan, akan dikutuk tidak mendapatkan makan dan minum, penyakitan, pendek umur, berkelahi dengan sesama," katanya.
“Kalau lihat bhisama ini mungkin cocok dan relevan dengan kehidupan saat ini. Untuk mendukung bhisama tersebut, perlu dibuat bhisama baru yang dibuat oleh pemuka agama seperti Ida Sulinggih agar tidak boleh melakukan apapun di sempadan dan badan air, baik itu danau, sungai, mata air, dan laut, apapun alasannya. Nah, saat ini dengan adanya regulasi Perda dan Pergub Bali yang telah dibuat, mudah-mudahan juga bisa menjaga ketahanan pangan Bali,” tandasnya.
Sedangkan narasumber Dr I Gede Setiawan Adi Putra SP MSi yang juga dosen Fakultas Pertanian di Unud melihat dari sisi cara-cara bertani yang salah. Sebab yang dia amati, penggunaan zat kimia yang berbahaya justru yang membuat tanah ‘sakit’. “Untuk memulihkan kembali ketahanan pangan, maka tentu produksinya harus lebih bagus. Bagaimana kita bisa berproduksi kalau tanahnya sedang rusak? Maka program ke depan harus memperbaiki kondisi tanah yang sakit ini terlebih dulu,” terangnya.
Menurut Setiawan, sebenarnya para leluhur Bali zaman dulu sudah memiliki langkah-langkah yang arif dan bijaksana untuk menjaga tanah agar tetap bagus. Baginya, masyarakat harus kembali kepada cara-cara bertani tetua Bali zaman dulu. Kuno bukan berarti tidak bagus. “Contohnya menggunakan lemekan, hidupkan lagi soroh gumatat gumitit (mikroba dalam tanah). Kalau itu tumbuh, akan membantu menguraikan tanah sehingga tanah menjadi sehat. Tanah yang sehat, maka produksi pangan akan baik,” katanya.
Made Buda selaku penyuluh pertanian di Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali menyebut swasembada pangan berkaitan erat dengan peningkatan produksi. Beberapa program yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Bali dalam ketahanan pangan, seperti memfasilitasi kelompok atau petani subak untuk bisa meningkatkan produksinya, yang dalam hal ini diberikan sarana produksinya. Selain itu, diupayakan pula menambah luas tambah tanam. “Dalam hal ini tidak saja untuk mengejar luas tanah tanam saja, namun kami juga memikirkan keberlanjutan pertanian kita ke depan. Pemprov Bali telah mensubsidi pupuk organik untuk pertanian. Sekarang regulasinya juga ada Perda pertanian organik yang akan mendukung swasembada pangan,” tandasnya. *ind
“Diskusi ini merupakan program madya kami di BEM Fakultas Pertanian Unud. Tujuan kegiatan ini kami ingin mahasiswa khususnya mahasiswa pertanian bisa melihat bagaimana keadaan sektor pertanian saat ini. Swasembada pangan ini apakah solusi atau polusi? Karena maraknya pertanian yang menggunakan pestisida dan bahan-bahan kimia lainnya,” ujar Ketua BEM Fakultas Pertanian Unud, Ni Kadek Sri Utari.
Baginya sendiri, permasalahan pangan saat ini tergerus oleh alih fungsi lahan untuk pembangunan maupun industri. Alih fungsi lahan ini mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian, sehingga berdampak pada produksi pangan. “Sehingga kita harus impor lagi. Kan tidak swasembada pangan jadinya. Melalui diskusi ini mungkin kita bisa sharing ke masyarakat dan petani yang sudah mulai alih fungsi lahan agar sadar betapa pentingnya menjaga kearifan lokal pertanian kita,” tambahnya.
Sementara Wakil Dekan I Fakultas Pertanian Unud, Dr Ir Ni Luh Kartini MS mengatakan, ketahanan pangan akan menentukan bagaimana generasi ke depan. Saat ini ketahanan pangan memiliki masalah terkait sistem pertanian yang organik yang nantinya bisa menyediakan pangan yang sehat. Jika dikaitkan dengan tema diskusi, masyarakat saat ini dihadapkan pada dua pilihan, apakah akan mengonsumsi pangan yang organik atau pangan yang penuh dengan bahan-bahan polutan. Maka, solusi yang ditawarkannya adalah sistem pertanian organik untuk meningkatkan kadar bahan organik dan menjaga sumber-sumber air.
“Ketahanan pangan di samping ditentukan oleh sistem pertanian yang organik, juga ditentukan oleh kondisi air. Sedangkan Bali sudah defisit air sejak tahun 2011 sebesar 18,76 meter kubik per detik. Kondisi ini menyebabkan kondisi lahan kita yang selama ini banyak yang tidak organik, kehilangan kadar-kadar air tanah. Kandungan bahan organik tanah sangat rendah sehingga tidak ada yang mengikat lagi,” ungkapnya.
Menurut Dr Kartini, sistem subak di Bali menjadi kunci penting. Namun kondisinya sekarang terbalik. Jika dulu sistem subak sebagai yang menyediakan air, namun justru kini yang paling tinggi menggunakan air. Paradigma subak sebagai penyedia air perlu dikembalikan lagi. Tidak tersedianya air akan ‘merembet’ hingga ke masalah kemiskinan hingga stunting. “Dari beberapa kajian, kalau tidak ada air berarti petaninya akan miskin. Dari kemiskinan itu akan terjadi kekurangan gizi, dan akhirnya berdampak pada stunting. Jadi sistem pertanian ini sangat penting,” tambahnya.
Dr Kartini juga mengingatkan agar Bali menjaga alamnya dengan baik. Para tetua Bali dulu telah membuat berbagai pegangan generasi kini untuk merawat alam. Misalnya saja Bhiasama Batur Kelawasan yang menyatakan bahwa manusia adalah alam itu sendiri. Alam sendiri adalah orangtua kita yang harus dijaga dan dirawat. Dalam bhisama tersebut konon disebutkan, bahwa memelihara gunung dan laut adalah penting, sebab gunung adalah sumber air sebagai tempat penyucian, sedangkan laut sebagai tempat peleburan. Ada juga Laknat Jagat Upadrawa dari Prasati Bulian B yang menegaskan, pemimpin tidak boleh salah dalam mengelola alam. Kalau salah, kutukannya 100 kali bhisama. "Hiduplah di tengah-tengah, jangan mengganggu gunung dan laut. Hiduplah dengan tanganmu sendiri. Jangan sekali-kali hidup bersenang-senang dengan merusak alam. Jika dilakukan, akan dikutuk tidak mendapatkan makan dan minum, penyakitan, pendek umur, berkelahi dengan sesama," katanya.
“Kalau lihat bhisama ini mungkin cocok dan relevan dengan kehidupan saat ini. Untuk mendukung bhisama tersebut, perlu dibuat bhisama baru yang dibuat oleh pemuka agama seperti Ida Sulinggih agar tidak boleh melakukan apapun di sempadan dan badan air, baik itu danau, sungai, mata air, dan laut, apapun alasannya. Nah, saat ini dengan adanya regulasi Perda dan Pergub Bali yang telah dibuat, mudah-mudahan juga bisa menjaga ketahanan pangan Bali,” tandasnya.
Sedangkan narasumber Dr I Gede Setiawan Adi Putra SP MSi yang juga dosen Fakultas Pertanian di Unud melihat dari sisi cara-cara bertani yang salah. Sebab yang dia amati, penggunaan zat kimia yang berbahaya justru yang membuat tanah ‘sakit’. “Untuk memulihkan kembali ketahanan pangan, maka tentu produksinya harus lebih bagus. Bagaimana kita bisa berproduksi kalau tanahnya sedang rusak? Maka program ke depan harus memperbaiki kondisi tanah yang sakit ini terlebih dulu,” terangnya.
Menurut Setiawan, sebenarnya para leluhur Bali zaman dulu sudah memiliki langkah-langkah yang arif dan bijaksana untuk menjaga tanah agar tetap bagus. Baginya, masyarakat harus kembali kepada cara-cara bertani tetua Bali zaman dulu. Kuno bukan berarti tidak bagus. “Contohnya menggunakan lemekan, hidupkan lagi soroh gumatat gumitit (mikroba dalam tanah). Kalau itu tumbuh, akan membantu menguraikan tanah sehingga tanah menjadi sehat. Tanah yang sehat, maka produksi pangan akan baik,” katanya.
Made Buda selaku penyuluh pertanian di Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali menyebut swasembada pangan berkaitan erat dengan peningkatan produksi. Beberapa program yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Bali dalam ketahanan pangan, seperti memfasilitasi kelompok atau petani subak untuk bisa meningkatkan produksinya, yang dalam hal ini diberikan sarana produksinya. Selain itu, diupayakan pula menambah luas tambah tanam. “Dalam hal ini tidak saja untuk mengejar luas tanah tanam saja, namun kami juga memikirkan keberlanjutan pertanian kita ke depan. Pemprov Bali telah mensubsidi pupuk organik untuk pertanian. Sekarang regulasinya juga ada Perda pertanian organik yang akan mendukung swasembada pangan,” tandasnya. *ind
Komentar