Nyama Loloan Iringi Palebon Panglingsir Puri Negara
Upacara palebon panglingsir Puri Agung Negara Anak Agung Gede Agung Benny Sutedja alias Gung Benny digelar di Sema Desa Adat Lelateng, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana, pada Redite Pon Prangkabat, Minggu (20/10).
NEGARA, NusaBali
Upacara palebon putra sulung Gubernur pertama Bali Anak Agung Bagus Sutedja, ini tidak hanya diramaikan keluarga maupun krama sekitar puri. Tetapi juga diikuti sejumlah warga Muslim dari Kelurahan Loloan Barat dan Kelurahan Loloan Timur.
Upacara palebon Gung Benny ini menggunakan bade tumpang pitu dengan tinggi sekitar 7 meter, dan sebuah lembu. Bade dan lembu yang diarak krama sekitar Puri Agung Negara di Kelurahan Banjar Tengah, Kecamatan Negara, itu berangkat dari puri sekitar pukul 10.30 Wita. Dalam perjalanan menuju Sema Kelurahan Lelateng yang berjarak sekitar 700 meter dari puri, tampak ikut mengantar sejumlah warga nyama (saudara) Loloan (Kelurahan Loloan Barat dan Kelurahan Loloan Timur) yang memiliki keterkaitan sejarah dengan Puri Agung Negara.
Salah satu tokoh budayawan Loloan, Eka Sabara, 47, ditemui bersama sejumlah warga Loloan, menyatakan juga merasakan duka atas meninggalnya panglingsir Puri Agung Negara, Gung Benny, yang juga dikenal sebagai sosok pluralis. Di mata mereka, Gung Benny adalah tokoh pemersatu yang selalu menggaungkan nilai toleransi, sehingga di Jembrana tercipta kehidupan rukun, meskipun berbeda suku dan agama. “Kami mengenal Gung Benny sebagai tokoh pemersatu. Beliau selalu menganggap kita semua bersaudara, dan beliau sering menyebut warga di Loloan, nyama Loloan,” ujarnya.
Menurut Eka Sabara, dari beberapa cerita pendahulu di Loloan, keberadaan Loloan saat ini juga memiliki keterkaitan sejarah dengan Puri Agung Negara. Bahkan ada hubungan kekeluargaan, khususnya dari Raja VII Puri Agung Negara, Ida Anak Agung Bagus Negara, yang notabene kakek dari almarhum Gung Benny. Kakek almarhum Gung Benny itu disebut-sebut sempat memiliki saudara kandung yang tinggal di Loloan bernama Kompyang Syarif. “Sejarah-sejarah itu juga sedang berusaha kami gali. Kami ingin generasi-generasi muda di Loloan tidak lupa dengan sejarah,” ucap tokoh budayawan Loloan yang juga penulis buku ‘Daeng Nahkoda’ ini.
Selama ini, kata Eka Sabara, almarhum Gung Benny sebagai panglingsir Puri Agung Negara, juga sering diundang ketika ada acara tertentu di Loloan. Bahkan almarhum juga sempat didaulat untuk membuka acara Loloan Jaman Lame yang pertama digelar tahun 2017 lalu. “Semasa hidup, beliau (almarhum Gung Benny) juga sering bercengkerama dengan warga Loloan. Salah satu pesan yang sering beliau sampaikan, beliau selalu mengingatkan kalau ingin bertemu dengan beliau ke Puri, tidak apa gunakan songkok (kopiah), bukan udeng. Beliau berpesan begitu agar menunjukkan jati diri, sekaligus sebagai simbol kebhinekaan masyarakat Jembrana. Bagi kami, beliau memang simbol toleransi dan menyama braya,” ungkapnya.
Gung Benny meninggal pada usia 77 tahun, saat dalam perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu, Denpasar, Jumat (4/10) lalu, akibat kanker prostat yang dideritanya. Almarhum berpulang untuk selamanya meninggalkan istri, Anak Agung Ayu Dariyati, 70, dan tiga orang anak, dua orang putra, AA Gede Agung Reza dan AA Made Agung Rhavie yang sama-sama tinggal di Jakarta, dan seorang putri, Anak Agung Ayu Rhea, yang telah berkeluarga tinggal di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Sebelum upacara palebon, Minggu kemarin, telah dilaksanakan nyiraman layon pada Wraspati Pon Uye, Kamis (10/10) lalu. Upacara pelebonan Minggu kemarin, dipuput Ida Pedande Ratu Gede Grya Megati, dari Grya Megati, Desa Batuagung, Kecamatan Jembrana. *ode
Upacara palebon Gung Benny ini menggunakan bade tumpang pitu dengan tinggi sekitar 7 meter, dan sebuah lembu. Bade dan lembu yang diarak krama sekitar Puri Agung Negara di Kelurahan Banjar Tengah, Kecamatan Negara, itu berangkat dari puri sekitar pukul 10.30 Wita. Dalam perjalanan menuju Sema Kelurahan Lelateng yang berjarak sekitar 700 meter dari puri, tampak ikut mengantar sejumlah warga nyama (saudara) Loloan (Kelurahan Loloan Barat dan Kelurahan Loloan Timur) yang memiliki keterkaitan sejarah dengan Puri Agung Negara.
Salah satu tokoh budayawan Loloan, Eka Sabara, 47, ditemui bersama sejumlah warga Loloan, menyatakan juga merasakan duka atas meninggalnya panglingsir Puri Agung Negara, Gung Benny, yang juga dikenal sebagai sosok pluralis. Di mata mereka, Gung Benny adalah tokoh pemersatu yang selalu menggaungkan nilai toleransi, sehingga di Jembrana tercipta kehidupan rukun, meskipun berbeda suku dan agama. “Kami mengenal Gung Benny sebagai tokoh pemersatu. Beliau selalu menganggap kita semua bersaudara, dan beliau sering menyebut warga di Loloan, nyama Loloan,” ujarnya.
Menurut Eka Sabara, dari beberapa cerita pendahulu di Loloan, keberadaan Loloan saat ini juga memiliki keterkaitan sejarah dengan Puri Agung Negara. Bahkan ada hubungan kekeluargaan, khususnya dari Raja VII Puri Agung Negara, Ida Anak Agung Bagus Negara, yang notabene kakek dari almarhum Gung Benny. Kakek almarhum Gung Benny itu disebut-sebut sempat memiliki saudara kandung yang tinggal di Loloan bernama Kompyang Syarif. “Sejarah-sejarah itu juga sedang berusaha kami gali. Kami ingin generasi-generasi muda di Loloan tidak lupa dengan sejarah,” ucap tokoh budayawan Loloan yang juga penulis buku ‘Daeng Nahkoda’ ini.
Selama ini, kata Eka Sabara, almarhum Gung Benny sebagai panglingsir Puri Agung Negara, juga sering diundang ketika ada acara tertentu di Loloan. Bahkan almarhum juga sempat didaulat untuk membuka acara Loloan Jaman Lame yang pertama digelar tahun 2017 lalu. “Semasa hidup, beliau (almarhum Gung Benny) juga sering bercengkerama dengan warga Loloan. Salah satu pesan yang sering beliau sampaikan, beliau selalu mengingatkan kalau ingin bertemu dengan beliau ke Puri, tidak apa gunakan songkok (kopiah), bukan udeng. Beliau berpesan begitu agar menunjukkan jati diri, sekaligus sebagai simbol kebhinekaan masyarakat Jembrana. Bagi kami, beliau memang simbol toleransi dan menyama braya,” ungkapnya.
Gung Benny meninggal pada usia 77 tahun, saat dalam perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu, Denpasar, Jumat (4/10) lalu, akibat kanker prostat yang dideritanya. Almarhum berpulang untuk selamanya meninggalkan istri, Anak Agung Ayu Dariyati, 70, dan tiga orang anak, dua orang putra, AA Gede Agung Reza dan AA Made Agung Rhavie yang sama-sama tinggal di Jakarta, dan seorang putri, Anak Agung Ayu Rhea, yang telah berkeluarga tinggal di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Sebelum upacara palebon, Minggu kemarin, telah dilaksanakan nyiraman layon pada Wraspati Pon Uye, Kamis (10/10) lalu. Upacara pelebonan Minggu kemarin, dipuput Ida Pedande Ratu Gede Grya Megati, dari Grya Megati, Desa Batuagung, Kecamatan Jembrana. *ode
1
Komentar