Membangun Nilai
Nilai-nilai inti merupakan prinsip untuk menolong seseorang dalam mengambil keputusan. Umumnya, nilai-nilai inti banyak dibentuk oleh keluarga dan pengasuhan.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Nilai-nilai inti tidak efektif bila diajarkan. Karenanya, keluarga merupakan tempat utama dan pertama membudayakan, bukan membelajarkan nilai-nilai inti. Mengapa nilai-nilai inti penting dalam keluarga? Misalnya, nilai-nilai, seperti ibadah kepada Tuhan, ketaatan, beridentitas, saling menerima, menghargai orang lain, berbicara dengan penuh hormat, dan santun.
Nilai inti berbeda dengan norma kehidupan. Norma merupakan aturan yang sudah menjadi kesepakatan. Sementara, nilai lebih bersifat personal. Biasanya, nilai digunakan untuk menilai baik atau buruk keputusan yang diambil di dalam kehidupan. Nilai ini berada di dalam batin, bukan berhubungan dengan pengetahuan semata. Nilai juga berkait dengan emosi, kerohanian atau karakter. Serangkaian nilai inti dibudayakan dalam keluarga menjadi karakter seseorang, bukan hasil pembelajaran. Keluarga adalah tempat paling pas membudayakan nilai asali tersebut. Ekosistem yang dibangun dalam keluarga, biotik maupun abiotik, dilakukan secara alami. Orangtua tidak memiliki kurikulum, materi pembelajaran, intervensi mendidik, media atau alat evaluasi. Tetapi, semua proses pembudayaan berjalan alami. Misalnya, ketika anak harus berangkat meninggalkan rumah, ia mencium tangan kedua orangtuanya dengan takzim. Ketika ia pulang dari sekolah, tegur sapa orangtua meneduhkan hatinya, sehingga kepenatan selama di sekolah terlupakan. Kasih
sayang orangtua nan tulus membantu membentuk karakter anak.
Tidak mengherankan jika nilai-nilai inti yang dimiliki seseorang banyak dipengaruhi oleh kondisi keluarga dan pengasuhan. Ini terjadi karena anak-anak yang masih labil mendapat banyak masukan dari keluarga dan pengasuh. Secara perlahan, asupan demi asupan mengendap dan mengkristal dalam batin anak. Karena itu, keluarga seharusnya membudayakan nilai-nilai inti yang baik bagi anak. Sering kali anak memperoleh contoh buruk dari keluarga. Misalnya, merokok akan membunuh kita. Tetapi, anak melihat ayah atau ibunya menghisap rokok. Ketika anak belajar, orangtua menonton sinetron dengan asyiknya. Perilaku orangtua demikian tidak memfasilitasi anak bertumbuh dengan karakter yang baik.
Mengapa hal ini perlu terjadi secara alamiah dan faktual, bukan intervensi atau semu semata? Karena, keluarga adalah tempat utama dan pertama menyemaikan benih dan nilai yang baik. Kodrat manusia cenderung lebih mudah menyerap nilai buruk, dibandingkan yang baik. Jika pembudayaan nilai-nilai inti difaktualkan secara berulang, maka yang tumbuh dan diulangi adalah sebuah karakter baik. Apabila, nilai baik itu dibelajarkan tanpa kesadaran dan ketulusan, maka nilai-nilai inti akan dilupakan. Ini hukum memori, yaitu semakin tidak memiliki ‘value’, maka apapun akan mudah dikesampingkan bahkan dinafikan. Jadi, anak berkarakter tidak bermotif meraih angka skolastik, melainkan berpikir, berkata, dan berperilaku baik.
Nilai-nilai inti yang baik tidak muncul begitu saja. Nilai-nilai inti harus dilakukan secara sengaja dan menyeluruh. Secara sengaja, artinya keluarga perlu memberi waktu, hati, dan tenaga dengan tujuan yang jelas. Secara menyeluruh, artinya bahwa nilai-nilai ini akan berlaku dalam segala aspek kehidupan. Misalnya, seorang anak perlu belajar bahwa ia harus jujur di semua tempat, dan bukan hanya di rumah saja. Oleh karena itu, orangtua harus memberi waktu kepada anak untuk menggumuli nilai-nilai inti ini. Membudayakan nilai inti tidak harus dengan nasihat. Pembudayaan dapat dilakukan dengan permainan dan cara-cara informal. Cara lain membudayakan nilai inti dalam keluarga, misalnya, memberikan teladan yang sesuai dengan nilai-nilai inti, memberikan pujian, jika ada yang menunjukkan kemajuan dalam penerapan nilai-nilai inti, berdiskusi tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diajarkan dan menerima masukan ketika terjadi krisis dan masalah, atau memberikan batasan yang jelas dan tidak kaku, apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan sehubungan dengan nilai-nilai inti yang sedang diajarkan. Semoga dengan praktik membudayakan nilai inti tersebut terbentuk keluarga sejahtera. 7
Nilai inti berbeda dengan norma kehidupan. Norma merupakan aturan yang sudah menjadi kesepakatan. Sementara, nilai lebih bersifat personal. Biasanya, nilai digunakan untuk menilai baik atau buruk keputusan yang diambil di dalam kehidupan. Nilai ini berada di dalam batin, bukan berhubungan dengan pengetahuan semata. Nilai juga berkait dengan emosi, kerohanian atau karakter. Serangkaian nilai inti dibudayakan dalam keluarga menjadi karakter seseorang, bukan hasil pembelajaran. Keluarga adalah tempat paling pas membudayakan nilai asali tersebut. Ekosistem yang dibangun dalam keluarga, biotik maupun abiotik, dilakukan secara alami. Orangtua tidak memiliki kurikulum, materi pembelajaran, intervensi mendidik, media atau alat evaluasi. Tetapi, semua proses pembudayaan berjalan alami. Misalnya, ketika anak harus berangkat meninggalkan rumah, ia mencium tangan kedua orangtuanya dengan takzim. Ketika ia pulang dari sekolah, tegur sapa orangtua meneduhkan hatinya, sehingga kepenatan selama di sekolah terlupakan. Kasih
sayang orangtua nan tulus membantu membentuk karakter anak.
Tidak mengherankan jika nilai-nilai inti yang dimiliki seseorang banyak dipengaruhi oleh kondisi keluarga dan pengasuhan. Ini terjadi karena anak-anak yang masih labil mendapat banyak masukan dari keluarga dan pengasuh. Secara perlahan, asupan demi asupan mengendap dan mengkristal dalam batin anak. Karena itu, keluarga seharusnya membudayakan nilai-nilai inti yang baik bagi anak. Sering kali anak memperoleh contoh buruk dari keluarga. Misalnya, merokok akan membunuh kita. Tetapi, anak melihat ayah atau ibunya menghisap rokok. Ketika anak belajar, orangtua menonton sinetron dengan asyiknya. Perilaku orangtua demikian tidak memfasilitasi anak bertumbuh dengan karakter yang baik.
Mengapa hal ini perlu terjadi secara alamiah dan faktual, bukan intervensi atau semu semata? Karena, keluarga adalah tempat utama dan pertama menyemaikan benih dan nilai yang baik. Kodrat manusia cenderung lebih mudah menyerap nilai buruk, dibandingkan yang baik. Jika pembudayaan nilai-nilai inti difaktualkan secara berulang, maka yang tumbuh dan diulangi adalah sebuah karakter baik. Apabila, nilai baik itu dibelajarkan tanpa kesadaran dan ketulusan, maka nilai-nilai inti akan dilupakan. Ini hukum memori, yaitu semakin tidak memiliki ‘value’, maka apapun akan mudah dikesampingkan bahkan dinafikan. Jadi, anak berkarakter tidak bermotif meraih angka skolastik, melainkan berpikir, berkata, dan berperilaku baik.
Nilai-nilai inti yang baik tidak muncul begitu saja. Nilai-nilai inti harus dilakukan secara sengaja dan menyeluruh. Secara sengaja, artinya keluarga perlu memberi waktu, hati, dan tenaga dengan tujuan yang jelas. Secara menyeluruh, artinya bahwa nilai-nilai ini akan berlaku dalam segala aspek kehidupan. Misalnya, seorang anak perlu belajar bahwa ia harus jujur di semua tempat, dan bukan hanya di rumah saja. Oleh karena itu, orangtua harus memberi waktu kepada anak untuk menggumuli nilai-nilai inti ini. Membudayakan nilai inti tidak harus dengan nasihat. Pembudayaan dapat dilakukan dengan permainan dan cara-cara informal. Cara lain membudayakan nilai inti dalam keluarga, misalnya, memberikan teladan yang sesuai dengan nilai-nilai inti, memberikan pujian, jika ada yang menunjukkan kemajuan dalam penerapan nilai-nilai inti, berdiskusi tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diajarkan dan menerima masukan ketika terjadi krisis dan masalah, atau memberikan batasan yang jelas dan tidak kaku, apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan sehubungan dengan nilai-nilai inti yang sedang diajarkan. Semoga dengan praktik membudayakan nilai inti tersebut terbentuk keluarga sejahtera. 7
Komentar