Buku Anak Bisa Menjadi Media Atasi Perubahan Iklim
Ubud Writers & Readers Festival
Ubud Writers and Readers Festival 2019
UWRF 2019
Lingkungan Hidup
Perubahan Iklim
Buku anak-anak memiliki kekuatan untuk mendeskripsikan masalah yang rumit, menjadi lebih mudah dipahami, sehingga dapat menginspirasi masyarakat.
GIANYAR, NusaBali.com
Saat ini, terdapat berbagai pergerakan untuk menyelamatkan lingkungan demi mencegah terjadinya perubahan iklim. Mulai dari gerakan zero waste, gerakan stop penggunaan tas plastik belanja sekali pakai, dan gerakan-gerakan lainnya. Belum lagi untuk menyelamatkan hutan tropis kita yang kian hari kian menipis. Selain sebagai pasokan oksigen terbesar, hutan tropis Indonesia juga merupakan rumah bagi ribuan, bahkan jutaan satwa. Lalu, langkah apa yang sebenarnya paling efektif dilakukan untuk menanamkan kesadaran masyarakat?
Nirwan Dewanto, Saras Dewi, dan Nirarta Samadhi dalam sesi Precious Peatland UWRF 2019 pada Sabtu (26/10/2019) di Neka Museum, sepakat bahwa sastra merupakan salah satu media yang ampuh untuk menanamkan kesadaran masyarakat akan lingkungan. Menurut Nirwan Dewanto, buku anak-anak memiliki kekuatan untuk mendeskripsikan masalah yang rumit menjadi lebih mudah dipahami, sehingga dapat menginspirasi gerakan dan perubahan di masyarakat.
“Hari ini, dalam panel ini saya menyadari bahwa literatur terbaik untuk mengatasi masalah krisis iklim sebetulnya buku anak-anak. Betapa kuatnya buku anak-anak dapat menghidupkan kembali masalah lingkungan dalam tulisannya ke benak anak-anak. Ini adalah cara terbaik,” ujar Nirwan.
Pernyataan ini disepakati oleh Saras Dewi, Dosen Filsafat Universitas Indonesia, yang menjelaskan bahwa dalam menjelaskan ke orang dewasa, dikenal adanya ‘sastra terlibat’, yang juga dikenal sebagai ‘sastra bergerak’. Menurut dia, sastra terlibat menunjukan bagaimana seni dan sastra di Indonesia dapat menggerakan individu dan kelompok untuk melawan persoalan lingkungan dan krisis iklim.
“Ini adalah persoalan mengintepretasi data, misalnya soal gambut, dan menjadikannya lebih halus sehingga bisa masuk ke kesadaran indidvidu sebagai sesuau yang dekat di hati, sesuatu yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ini adalah kekuatan narasi dari sastra yang tidak dimiliki oleh sains,” ujar Saras Dewi
Namun tentu saja, baik sastra dan sains tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Riset dan data ilmiah memang sangat penting, namun dalam penyampaiannya ke masyarakat, sains membutuhkan sastra. “Sains dan sastra harus berjalan bersama-sama. Sains saja tidak cukup untuk menginspirasi dan menggerakan masyarakat, sementara, sastra saja tanpa data akurat dari hasil riset, juga dapat mengantarkan pembaca kepada informasi yang salah. Sebab itu keduanya harus bergerak bersama,” tegas Nirarta Samadhi. *yl
Komentar