Paruman Agung Dharma Ghosana Se-Nusantara Dihadiri 500 Sulinggih dan 700 Angga Walaka
Paruman Agung Dharma Ghosana se-Nusantara tahun 2019 dilaksanakan di Kabupaten Badung, bertempat di Balai Budaya Giri Nata Mandala, Puspem Badung, Minggu (27/10).
MANGUPURA, NusaBali
Paruman Agung Dharma Ghosana se-Nusantara yang dibuka oleh Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta tersebut dihadiri Ida Pedanda Siwa dan Buda Kabupaten/Kota se-Bali, panglisir puri se-Bali, Dharma Ghosana Lombok, dan Dharma Ghosana Jabodetabek.
Bupati Giri Prasta didampingi Ketua DPRD Badung I Putu Parwata, Ketua Harian Dharma Gosana Dharmopadesa Pusat Ida Pedanda Gede Jelantik Dwaja, Ketua Harian Dharma Prawerti Sabha Dharmopadesa Kabupaten Badung Ida Pedanda Putra Pasuruan, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Badung AA Manguningrat, PHDI Badung, dan para tokoh umat sedharma.
Ketua Panitia Ida Bagus Purbanegara, mengatakan acara ini adalah Paruman Dharma Upadesa yaitu sebuah organisasi Ida Pedanda Siwa Buda se-Nusantara. Kegiatan ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali pada wuku Bala dan bergilir di setiap kabupaten/kota. “Pelaksanaannya kali ini digelar di Kabupaten Badung,” ujarnya.
Dikatakannya, kegiatan ini dihadiri 500-an sulinggih dari Bali, Lombok, dan Jabodetabek serta 700 angga walaka, sehingga keseluruhan diikuti oleh 1.200 orang peserta. “Kami menyampaikan terima kasih kepada Bupati Badung yang telah mendukung penuh kegiatan ini, sehingga dapat terselenggara sesuai dengan harapan bersama,” ucapnya.
Dalam paruman ini, menurut Purbanegara, dibahas masalah pengaskaraan yang paling alit atau yang paling kecil dengan maksud apakah pengaskaraan itu perlu ada di setiap pengabenan, termasuk bagaimana tata caranya, sehingga nantinya dalam pelaksanaannya berdasarkan sastra agama. Karena Ida Pedanda selaku sulinggih memberikan konsep-konsep agama berdasarkan sastra yang ada. “Pengaskaraan itu penting karena pengaskaraan itu merupakan hal yang paling eksensial dalam pengabenan. Tetapi selama ini mungkin dianggap bahwa pengaskaraan itu upacara yang harus besar, padahal dalam agama Hindu ada tingkatannya yaitu nista, madya, dan utama sehingga tujuannya sekarang biar tidak ada keraguan dalam pelaksanan beragama, namun semua dikaji berdasarkan sastra yang ada,” tuturnya.
Bupati Giri Prasta pada kesempatan itu mengucapkan terima kasih kepada Ida Pedanda Siwa Buda se-Nusantara yang sudah hadir pada paruman. Diharapkan dalam paruman ini ada penyempurnaan-penyempurnaan berkenaan dengan pelaksanaan yadnya khususnya Pitra Yadnya. Bupati mengatakan paruman ini merupakan langkah cerdas agar umat Hindu dalam melaksanakan upacara, baik dan benar sesuai dengan sastra maupun lontar.
Bupati Giri Prasta menyatakan, pada masa penjajahan dahulu banyak lontar kuno diambil oleh penjajah dan sampai ada di Den Haag, Belanda. “Astungkara ada beberapa lontar yang bisa diambil kembali, salah satunya lontar Ida Pedanda Made Sidemen Geria Sanur yang selanjutnya dapat kita padukan sebagai dasar dalam penyempurnaan dan pelaksanaan upacara yadnya,” kata Bupati.
Sebagai bentuk bakti terhadap sulinggih Bupat Giri Prasta secara simbolis menyerahkan punia berupa kampuh kepada sulinggih. *asa
Bupati Giri Prasta didampingi Ketua DPRD Badung I Putu Parwata, Ketua Harian Dharma Gosana Dharmopadesa Pusat Ida Pedanda Gede Jelantik Dwaja, Ketua Harian Dharma Prawerti Sabha Dharmopadesa Kabupaten Badung Ida Pedanda Putra Pasuruan, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Badung AA Manguningrat, PHDI Badung, dan para tokoh umat sedharma.
Ketua Panitia Ida Bagus Purbanegara, mengatakan acara ini adalah Paruman Dharma Upadesa yaitu sebuah organisasi Ida Pedanda Siwa Buda se-Nusantara. Kegiatan ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali pada wuku Bala dan bergilir di setiap kabupaten/kota. “Pelaksanaannya kali ini digelar di Kabupaten Badung,” ujarnya.
Dikatakannya, kegiatan ini dihadiri 500-an sulinggih dari Bali, Lombok, dan Jabodetabek serta 700 angga walaka, sehingga keseluruhan diikuti oleh 1.200 orang peserta. “Kami menyampaikan terima kasih kepada Bupati Badung yang telah mendukung penuh kegiatan ini, sehingga dapat terselenggara sesuai dengan harapan bersama,” ucapnya.
Dalam paruman ini, menurut Purbanegara, dibahas masalah pengaskaraan yang paling alit atau yang paling kecil dengan maksud apakah pengaskaraan itu perlu ada di setiap pengabenan, termasuk bagaimana tata caranya, sehingga nantinya dalam pelaksanaannya berdasarkan sastra agama. Karena Ida Pedanda selaku sulinggih memberikan konsep-konsep agama berdasarkan sastra yang ada. “Pengaskaraan itu penting karena pengaskaraan itu merupakan hal yang paling eksensial dalam pengabenan. Tetapi selama ini mungkin dianggap bahwa pengaskaraan itu upacara yang harus besar, padahal dalam agama Hindu ada tingkatannya yaitu nista, madya, dan utama sehingga tujuannya sekarang biar tidak ada keraguan dalam pelaksanan beragama, namun semua dikaji berdasarkan sastra yang ada,” tuturnya.
Bupati Giri Prasta pada kesempatan itu mengucapkan terima kasih kepada Ida Pedanda Siwa Buda se-Nusantara yang sudah hadir pada paruman. Diharapkan dalam paruman ini ada penyempurnaan-penyempurnaan berkenaan dengan pelaksanaan yadnya khususnya Pitra Yadnya. Bupati mengatakan paruman ini merupakan langkah cerdas agar umat Hindu dalam melaksanakan upacara, baik dan benar sesuai dengan sastra maupun lontar.
Bupati Giri Prasta menyatakan, pada masa penjajahan dahulu banyak lontar kuno diambil oleh penjajah dan sampai ada di Den Haag, Belanda. “Astungkara ada beberapa lontar yang bisa diambil kembali, salah satunya lontar Ida Pedanda Made Sidemen Geria Sanur yang selanjutnya dapat kita padukan sebagai dasar dalam penyempurnaan dan pelaksanaan upacara yadnya,” kata Bupati.
Sebagai bentuk bakti terhadap sulinggih Bupat Giri Prasta secara simbolis menyerahkan punia berupa kampuh kepada sulinggih. *asa
Komentar