nusabali

Kritikus Seni di Bali Masih Minim

  • www.nusabali.com-kritikus-seni-di-bali-masih-minim

Sebuah karya seni yang dibuat tidak hanya berbuah pujian, namun juga membutuhkan kritik sebagai ‘vitamin’ untuk terus mengevaluasi karyanya menjadi lebih baik.

DENPASAR, NusaBali

Namun sayangnya, kritik seni seringkali dianggap sebagai sesuatu yang menjatuhkan atau membuat down, sehingga bisa jadi menimbulkan masalah baru. Hal tersebut terungkap dalam acara Workshop Penulisan Kritik Seni serangkaian Festival Seni Bali Jani 2019, di Taman Budaya Provinsi Bali, Senin (28/10).

“Akhir-akhir ini seakan ada sekat-sekat dan ewuh-pakewuh masyarakat untuk mengkritisi karya seni, sehingga kritik seni di Bali sangat minim. Terkadang orang berpikir untuk mengkritik, jangan-jangan nanti itu menjadi masalah. Beda dengan di Yogyakarta, suasananya enak betul, demokratis. Tetapi di Bali, ketika ada yang mengkritik langsung dimusuhi,” tutur salah satu seniman teater, Abu Bakar.

Situasi ini dianggap tidak sehat. Di satu sisi penikmat seni enggan menyampaikan apresiasinya terhadap karya-karya seni yang telah disaksikan. Namun, kritik seni dari penonton kadang tak hanya dituangkan melalui tulisan, tetapi juga bisa ditunjukkan masyarakat dengan perilaku. Misalnya, karena kurang tertarik dengan pementasan seni yang ditonton, mereka sudah meninggalkan lokasi sebelum pementasan usai.

Di sisi lain, seniman atau penggarap pun terkesan ‘cari aman’ agar tidak dikritik. Karena mencari aman, penggarap pun tidak berani berekspresi secara bebas. “Supaya tidak dikritik, seniman menjadi kurang berani berekspresi atau menghindari ending yang tidak biasa. Kalau sudah biasa, apalagi yang harus dikritik?” katanya.

Akademisi ISI Denpasar, Kadek Suartaya juga mengatakan hal senada. Tidak saja kritik seni yang kurang sehat, menurutnya para kritikus seni juga kurang mendapat tempat yang layak. Penghargaan untuk para kritikus seni sangat kecil. Contohnya saja, untuk tulisan kritik seni di media cetak lokal, ada yang diapresiasi hanya Rp100 ribu, bahkan malah ada yang tidak dibayar. Belum lagi ruang di media cetak untuk kritik seni juga masih sangat minim.

Workshop Penulisan Kritik Seni menghadirkan dua narasumber yakni Hartanto dan Putu Wirata Dwikora. Narasumber Hartanto mengatakan, kesenian tanpa kritik akan stagnan. Untuk menumbuhkan dan menggairahkan kritik seni diantaranya dapat dilakukan melalui kompetisi penulisan kritik seni, dengan menghadirkan juri-juri yang objektif. “Untuk mengkritik, modal dasarnya itu adalah kejujuran terhadap keilmuan yang dimiliki,” katanya.

Kritik seni menjadi salah satu sarana memberi nilai pada kualitas karya seni secara subjektif. Penulis yang kerap mengkritisi karya seni rupa ini mengakui untuk mengubah mindset atau pola pikir masyarakat secara mendadak itu tidak mudah karena mungkin sudah telanjur apatis terhadap seni. Apalagi pada kesenian-kesenian serius yang jarang penikmatnya.

Sedangkan narasumber lainnya, Putu Wirata Dwikora mengatakan, gaya mengkritik para kritikus seni itu berbeda-beda, ada yang memang murni melihat dari sisi kekurangannya, namun tidak sedikit kritik seni yang memuji-muji. Pria yang mantan jurnalis Tempo tersebut melanjutkan, ada seniman yang ketika dikritik langsung down, tetapi ada juga yang menjadikan kritik untuk berproses yang lebih baik. “Sebenarnya jangan takut konfrontasi di awal karena itu untuk perbaikan seni juga. Memang sekarang penulis kritik seni itu berkurang, karena mungkin penghargaannya yang tidak ada,” katanya.

Dalam acara workshop tersebut, para peserta juga langsung diajak mempraktikkan penyampaian kritik seni dengan sebelumnya melihat-lihat sejumlah pameran seni rupa yang dipajang di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar. Para peserta yang mayoritas dari kalangan mahasiswa itu nampak antusias menyampaikan kritiknya. *ind

Komentar