Suguhkan Musikalisasi Puisi Bertema Alam dan Spritual
Penampilan Komunitas Mahima di Festival Seni Bali Jani
Komunitas Mahima, suatu rumah belajar seni dan budaya dari Singaraja, Kabupaten Buleleng, membawakan musikalisasi puisi inovatif dengan mengangkat unsur alam, manusia, dan spiritual dalam pementasan bertajuk ‘Interior Danau’ serangkaian dengan Festival Seni Bali Jani 2019.
DENPASAR, NusaBali
"Kali ini, kami menampilkan musikalisasi puisi bertajuk 'Interior Danau' untuk mewadahi ekspresi dan apresiasi terhadap alam, manusia, dan hal-hal spiritual yang terbentang di antaranya," kata pengarah produksi pementasan itu, Kadek Sonia Piscayanti, di sela-sela pementasan di Panggung Ayodya, Taman Budaya, Denpasar, Senin (28/10).
Ketika gitar mulai dipetik dan syair-syair puitis dilantunkan dengan melodi, sontak pengunjung Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2019 terdiam. Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali tempat komunitas seni itu pentas pun seakan terbius.
Puisi-puisi yang bertemakan alam, manusia, dan spiritual itu diekspresikan dengan gaya yang khas, indah, dan penuh penjiwaaan. Semua itu disajikan dengan apik dan dikemas sebagai pertunjukan seni sarat edukasi.
Sonia menambahkan tujuh puisi dibawakan dengan tema yang hampir sama, yaitu persoalan alam, manusia, dan spiritualitasnya. Semua puisi terpilih berdasarkan tema FSBJ 2019 yakni ‘Hulu-Teben: Dialektika Lokal-Global’. Hulunya adalah unsur spiritualitas alamnya dan Tebennya adalah bagaimana manusia meresponsnya.
Sebut saja pada puisi Dewi Padi, di mana hulunya adalah unsur spiritualitas padi, lalu bagaimana manusia meresponsnya adalah tebennya. "Demikian dengan puisi Margarana, semangat heroisme itu adalah hulunya dan cara kita merespons hari ini adalah tebennya. Puisi My Hair My Hair juga bercerita spiritualitas rambut lalu bagaimana manusia meresponsnya," ucap dosen Undiksha itu.
Menurut Kadek Sonia Piscayanti, puisi tidak bisa dipisahkan dari unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membangunnya. Instrinsik adalah pola struktur bangunan puisinya dan ekstrinsik adalah tema sosial yang lahir di masyarakat yang membangun pola itu, lalu meresponsnya. "Kami memang benar-benar menyiapkan musik puisi, sehingga ada yang baru dari pentas-pentas sebelumnya," ujarnya.
Komunitas Mahima yang didukung anak-anak muda kreatif itu, sedikitnya menyajikan tujuh puisi yang digarap menjadi musik puisi yang khas, yakni Nyanyian Hutan oleh Ajamuddin Tifani Dewi Padi dan Made Adnyana Ole, Interior Danau (Made Adnyana Ole), Prasida Antuk Titiang (Tuti Dirgha), Walau Hanya Sekali (Tuti Dirgha), My Hair My Hair (Kadek Sonia Piscayanti), Margarana (Wayan Rugeg Nataran).
Pimpinan produksi, AAN Anggara Surya, menambahkan sebagai keseriusan mendukung ajang seni kekinian itu, pihaknya menghadirkan pendukung yang telah memiliki pengalaman dalam urusan seni pentas ataupun sastra.
Sebagai pendukung vokal ada Rahatri Ningrat (Gek Ning), Gita Suami, Gek Santi, Mila Romana, serta pembaca puisi dipercayakan kepada Kadek Sonia Piscayanti dan Putu Putik Padi, sedangkan pendukung musik, Made Tantri (keyboard), Amel (biola), Kade Arie (gitar), Jagathdita (gitar), dan Gede Satria (kajon).
Anggara berpandangan pentas dalam ajang festival seni yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Bali selama 26 Oktober-8 November 2019 itu sebagai ajang kreativitas untuk mengekspresikan bakat seni, khususnya dalam seni modern. Hal tersebut sesuai dengan kegiatan yang selama ini dilakukannya. "Komunitas Mahima, sebagai komunitas seni budaya yang kegiatannya meliputi pementasan seni, teater, musikalisasi puisi, diskusi buku, penerbitan buku, dan 'workshop-workshop' literasi itu memang memiliki gaya yang khas dalam setiap penampilannya," katanya. *ant
Ketika gitar mulai dipetik dan syair-syair puitis dilantunkan dengan melodi, sontak pengunjung Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2019 terdiam. Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali tempat komunitas seni itu pentas pun seakan terbius.
Puisi-puisi yang bertemakan alam, manusia, dan spiritual itu diekspresikan dengan gaya yang khas, indah, dan penuh penjiwaaan. Semua itu disajikan dengan apik dan dikemas sebagai pertunjukan seni sarat edukasi.
Sonia menambahkan tujuh puisi dibawakan dengan tema yang hampir sama, yaitu persoalan alam, manusia, dan spiritualitasnya. Semua puisi terpilih berdasarkan tema FSBJ 2019 yakni ‘Hulu-Teben: Dialektika Lokal-Global’. Hulunya adalah unsur spiritualitas alamnya dan Tebennya adalah bagaimana manusia meresponsnya.
Sebut saja pada puisi Dewi Padi, di mana hulunya adalah unsur spiritualitas padi, lalu bagaimana manusia meresponsnya adalah tebennya. "Demikian dengan puisi Margarana, semangat heroisme itu adalah hulunya dan cara kita merespons hari ini adalah tebennya. Puisi My Hair My Hair juga bercerita spiritualitas rambut lalu bagaimana manusia meresponsnya," ucap dosen Undiksha itu.
Menurut Kadek Sonia Piscayanti, puisi tidak bisa dipisahkan dari unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membangunnya. Instrinsik adalah pola struktur bangunan puisinya dan ekstrinsik adalah tema sosial yang lahir di masyarakat yang membangun pola itu, lalu meresponsnya. "Kami memang benar-benar menyiapkan musik puisi, sehingga ada yang baru dari pentas-pentas sebelumnya," ujarnya.
Komunitas Mahima yang didukung anak-anak muda kreatif itu, sedikitnya menyajikan tujuh puisi yang digarap menjadi musik puisi yang khas, yakni Nyanyian Hutan oleh Ajamuddin Tifani Dewi Padi dan Made Adnyana Ole, Interior Danau (Made Adnyana Ole), Prasida Antuk Titiang (Tuti Dirgha), Walau Hanya Sekali (Tuti Dirgha), My Hair My Hair (Kadek Sonia Piscayanti), Margarana (Wayan Rugeg Nataran).
Pimpinan produksi, AAN Anggara Surya, menambahkan sebagai keseriusan mendukung ajang seni kekinian itu, pihaknya menghadirkan pendukung yang telah memiliki pengalaman dalam urusan seni pentas ataupun sastra.
Sebagai pendukung vokal ada Rahatri Ningrat (Gek Ning), Gita Suami, Gek Santi, Mila Romana, serta pembaca puisi dipercayakan kepada Kadek Sonia Piscayanti dan Putu Putik Padi, sedangkan pendukung musik, Made Tantri (keyboard), Amel (biola), Kade Arie (gitar), Jagathdita (gitar), dan Gede Satria (kajon).
Anggara berpandangan pentas dalam ajang festival seni yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Bali selama 26 Oktober-8 November 2019 itu sebagai ajang kreativitas untuk mengekspresikan bakat seni, khususnya dalam seni modern. Hal tersebut sesuai dengan kegiatan yang selama ini dilakukannya. "Komunitas Mahima, sebagai komunitas seni budaya yang kegiatannya meliputi pementasan seni, teater, musikalisasi puisi, diskusi buku, penerbitan buku, dan 'workshop-workshop' literasi itu memang memiliki gaya yang khas dalam setiap penampilannya," katanya. *ant
Komentar