Dosen UI Gugat Kampusnya Rp 5 Miliar
Tak Lulus Ujian Doktor
Seorang dosen Universitas Indonesia (UI) menggugat kampusnya sebesar Rp 5 miliar karena tidak lulus ujian doktor.
JAKARTA, NusaBali
Kejadian serupa juga terjadi pada SMA Gonzaga yang digugat orangtua murid Rp 500 juta karena anaknya tinggal kelas.
Sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung (MA) yang dilansir websitenya, Rabu (30/10), gugatan itu dilayangkan dosen FISIP UI, Ari Harsono. Ia menggugat Ketua Departemen Filsafat dan Ketua Penguji Disertasi Prof Riris Toha Sarumpaet. Ikut digugat pula kopromotor dan penguji Prof Soejanto Poesowardojo dan Selu Margaretha Kushendrawati. Penguji ujian doktor juga ikut digugat, yaitu Gadis Arivia, Alexander Seran dan Mikael Dua.
Siapakah Ari? Ia merupakan dosen tetap UI sejak 1990. Pada 2010 menjadi mahasiswa S3 UI dan meraih IPK 3,68.
Pada 3 Juni 2015, Ari menjalani ujian disertasi di Gedung VII lantai 1 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dengan judul disertasi 'Paradigma Kepemimpinan Pendapat dalam Masyarakat-Kuminkatif Berbasis Rasionalitas Komunikatif Jurgen Habermas'.
Hasilnya, Ari dinilai penguji tidak lulus, tapi tidak disertai alasan tidak lulus. Disertasi itu diberi nilai 48,3 (D), sementara batas nilai lulus adalah 70 (B). Satu penguji yaitu Donny Gahrail Adian memberi nilai 75 (B+) atau lulus.
Atas hasil ujian itu, Ari mencoba mencari tahu kejanggalan mengapa dirinya tidak lulus disertasi. Surat menyurat ia layangkan ke Dekan FIB UI, Rektor UI serta Ketua Dewan Guru Besar YI. Namun balasannya tidak ada yang bisa menjawab mengapa dirinya tidak lulus.
Beranjak dari fakta di atas, Ari memilih mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Depok. Ia menggugat kampusnya sebesar Rp 5 miliar.
Pada 27 Oktober 2018, PN Depok memutuskan menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Ari tidak terima dan mengajukan banding. Pada 4 September 2019, Pengadilan Tinggi (PT) Bandung juga menolak gugatan itu. Duduk sebagai ketua majelis Muchtadi Rivaie dan anggota Joko Siswanto dan Yulisman.
Sebelumnya, Ari juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada 30 Maret 2017, PTUN Jakarta menyatakan tidak menerima gugatan tersebut. Putusan itu dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
Sementara itu, kejadiran serupa juga terjadi pada SMA Gonzaga. Orang tua murid menggugat SMA Gonzaga, Jakarta Selatan, karena anaknya tidak naik kelas. Ibu siswa, Yustina menggugat guru, Kepala Sekolah hingga Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kepala Dinas Pendidikan Menengah Dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta.
"Menyatakan keputusan para tergugat bahwa anak penggugat tidak berhak melanjutkan proses belajar ke jenjang kelas 12 SMA Kolese Gonzaga adalah cacat hukum. Menyatakan anak Penggugat memenuhi syarat dan berhak untuk melanjutkan proses belajar ke jenjang kelas 12 di SMA Kolese Gonzaga," demikian isi gugatan tersebut.
Karena merasa dirugikan, Yustina meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 51.683.000 dan ganti rugi immateril sebesar Rp 500.000.000. Sidang pertama sudah digelar pada Senin (28/10) kemarin. Sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkan lagi 2 pekan ke depan.
Dinas Pendidikan DKI Jakarta menilai uang ganti rugi Rp 551 juta yang diajukan orang tua murid tidak perlu dilakukan. Persoalan tidak naik kelas itu dinilai bisa diselesaikan dengan musyawarah.
"Itu kan perdata istilahnya. Kan pasalnya kalau melawan hukum ke sana arahnya. Cuma saya pikir nggak demikian lah. Kan semua tidak selalu dengan uang," kata Kepala Seksi Peserta Didik dan Pengembangan Karakter Peserta Didik Disdik DKI Jakarta Taga Radja Gah saat dihubungi, Rabu (30/10). *
Sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung (MA) yang dilansir websitenya, Rabu (30/10), gugatan itu dilayangkan dosen FISIP UI, Ari Harsono. Ia menggugat Ketua Departemen Filsafat dan Ketua Penguji Disertasi Prof Riris Toha Sarumpaet. Ikut digugat pula kopromotor dan penguji Prof Soejanto Poesowardojo dan Selu Margaretha Kushendrawati. Penguji ujian doktor juga ikut digugat, yaitu Gadis Arivia, Alexander Seran dan Mikael Dua.
Siapakah Ari? Ia merupakan dosen tetap UI sejak 1990. Pada 2010 menjadi mahasiswa S3 UI dan meraih IPK 3,68.
Pada 3 Juni 2015, Ari menjalani ujian disertasi di Gedung VII lantai 1 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dengan judul disertasi 'Paradigma Kepemimpinan Pendapat dalam Masyarakat-Kuminkatif Berbasis Rasionalitas Komunikatif Jurgen Habermas'.
Hasilnya, Ari dinilai penguji tidak lulus, tapi tidak disertai alasan tidak lulus. Disertasi itu diberi nilai 48,3 (D), sementara batas nilai lulus adalah 70 (B). Satu penguji yaitu Donny Gahrail Adian memberi nilai 75 (B+) atau lulus.
Atas hasil ujian itu, Ari mencoba mencari tahu kejanggalan mengapa dirinya tidak lulus disertasi. Surat menyurat ia layangkan ke Dekan FIB UI, Rektor UI serta Ketua Dewan Guru Besar YI. Namun balasannya tidak ada yang bisa menjawab mengapa dirinya tidak lulus.
Beranjak dari fakta di atas, Ari memilih mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Depok. Ia menggugat kampusnya sebesar Rp 5 miliar.
Pada 27 Oktober 2018, PN Depok memutuskan menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Ari tidak terima dan mengajukan banding. Pada 4 September 2019, Pengadilan Tinggi (PT) Bandung juga menolak gugatan itu. Duduk sebagai ketua majelis Muchtadi Rivaie dan anggota Joko Siswanto dan Yulisman.
Sebelumnya, Ari juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada 30 Maret 2017, PTUN Jakarta menyatakan tidak menerima gugatan tersebut. Putusan itu dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
Sementara itu, kejadiran serupa juga terjadi pada SMA Gonzaga. Orang tua murid menggugat SMA Gonzaga, Jakarta Selatan, karena anaknya tidak naik kelas. Ibu siswa, Yustina menggugat guru, Kepala Sekolah hingga Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kepala Dinas Pendidikan Menengah Dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta.
"Menyatakan keputusan para tergugat bahwa anak penggugat tidak berhak melanjutkan proses belajar ke jenjang kelas 12 SMA Kolese Gonzaga adalah cacat hukum. Menyatakan anak Penggugat memenuhi syarat dan berhak untuk melanjutkan proses belajar ke jenjang kelas 12 di SMA Kolese Gonzaga," demikian isi gugatan tersebut.
Karena merasa dirugikan, Yustina meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 51.683.000 dan ganti rugi immateril sebesar Rp 500.000.000. Sidang pertama sudah digelar pada Senin (28/10) kemarin. Sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkan lagi 2 pekan ke depan.
Dinas Pendidikan DKI Jakarta menilai uang ganti rugi Rp 551 juta yang diajukan orang tua murid tidak perlu dilakukan. Persoalan tidak naik kelas itu dinilai bisa diselesaikan dengan musyawarah.
"Itu kan perdata istilahnya. Kan pasalnya kalau melawan hukum ke sana arahnya. Cuma saya pikir nggak demikian lah. Kan semua tidak selalu dengan uang," kata Kepala Seksi Peserta Didik dan Pengembangan Karakter Peserta Didik Disdik DKI Jakarta Taga Radja Gah saat dihubungi, Rabu (30/10). *
1
Komentar