Wayang Ental, Ide ‘Orang-orangan’ dari Daun Ental
The Show Must Go On. Hujan tak mengendurkan pertunjukan Wayang Ental. Dan penonton pun menikmati wayang kontemporer ini.
DENPASAR, NusaBali.com
Penampilan Wayang Kontemporer di Festival Seni Bali Jani pada Sabtu (2/11/2019) malam diisi oleh Sanggar Seni Kuta Kumara Agung yang menampilkan seni Wayang Ental, yakni seni wayang kontemporer dimana badan wayang terbuat dari jalinan daun ental yang membentuk boneka orang-orangan. Tak seperti wayang kulit yang ditampilkan melalui bayangan, wayang ini menampilkan badan wayang secara utuh dan bisa digerakkan di bagian tangan, kaki, dan kepala.
Seni wayang dari tumbuhan ental ini pertama kali diciptakan pada tahun 2016 oleh I Gusti Made Dharma Putra, Ketua Sanggar Seni Kuta Agung sekaligus Art Director dari penampilan wayang ental ini. Konsep awal Wayang Ental ini merupakan ide Gusti Dharma yang merupakan produk untuk ujian kelulusan sarjananya di Institut Seni Indonesia Denpasar.
“Ketika itu saya mencoba untuk mengolah bahan yang memang di luar dari keberadaan wayang kulit yang memakai kulit sapi. Lalu kita coba bahan lain, yaitu ental. Ental juga memiliki kaitan dengan dalang, di mana lontar-lontar itu ditulis di atas daun ental,” ujar pria alumnus ISI Denpasar jurusan Pedalangan ini.
Pementasan yang berlangsung di halaman Gedung Kriya ini menampilkan kisah fiktif berjudul ‘Manu dan Tala’, dimana tokoh Manu dan Tala merupakan kakak beradik yang hidup berdua setelah ditinggal oleh orangtuanya. Tanpa disadari oleh sang kakak (Manu), sang adik mengidap penyakit keras dan akhirnya meninggal dunia.
“Sebelumnya, dipertunjukkan wayang ental ini kami menampilkan cerita biografi seseorang yang terkenal di daerah, seperti waktu ini kami menampilkan cerita tentang dalang pertama di Kuta. Di sini kami menampilkan genre yang bisa lebih diterima oleh semua kalangan,” lanjut pria yang akrab dengan sapaan Gung Ade Dalang ini.
Wayang Ental ini, digerakkan oleh dua orang dalang alias pemain yang bertugas menggerakkan si wayang. Untuk menggerakkan sebuah wayang, diperlukan dua orang pemain, yang satunya memegang bagian kaki dan satunya lagi menggerakkan bagian tangan dan kepala. Hal ini berarti kedua pemain tersebut harus terkoordinasi agar si wayang dapat bergerak selaras.
“Tantangannya yaitu koordinasi antara atas dan bawah, lalu bagaimana membuat wayangnya terkesan ‘hidup’, karena kan wayangnya sedikit berekspresi tapi dia ada banyak adegan, dimana dia harus senang, di mana harus sedih,” ujar pemain penggerak wayang, Made Georgiana Triwinadi.
Selama pementasan berlangsung, beberapa kali hujan gerimis turun, yang akhirnya menjadi hujan lebat tepat ketika pementasan berakhir. Namun, hujan ini tidak menyurutkan minat penonton untuk beranjak dari tempat duduknya yang berada di tempat terbuka itu. “Ini pertama kalinya saya lihat Wayang Ental, karena itu saya merasa harus melihat sampai selesai,” komentar Acin Ari Saputra, penonton pementasan ini yang merupakan siswa dari SMK Ganesha Ubud.
Pun demikian dengan para pemain yang berperan sebagai dalang, alias pemain yang membantu menggerakkan wayang ental ini. “Cukup menegangkan sih, karena pas mulai langsung gerimis. Dari tadi saya berdoa terus, tapi seperti yang disepakati, apapun yang terjadi, the show must go on,” tuntas Made Georgiana.*yl
Komentar