Riset 17 Tahun, Cok Sawitri Pentaskan 'Pembelaan Dirah'
Dalam perspektif berbeda disebutkan bahwa Calonarang bukan orang yang benar-benar kotor dan buruk seperti yang dikenal selama ini.
SINGARAJA, NusaBali
Suasana mencekam dengan penerangan lampu yang minim mendadak menghipnotis seluruh penonton yang datang Minggu (3/11/2019) malam di kebun Lovina Shanti, Desa Kaliasem, Kecamatan Banjar, Buleleng. Sebuah pementasan berjudul ‘Pembelaan Dirah’ dipentaskan oleh pemain teater kawakan Cok Sawitri. Pementasan teater yang dilakukan dengan monolog itu merupakan hasil riset Cok Sawitri selama 17 tahun.
Cok Sawitri masuk ke kalangan pentasnya menggunakan busana serba putih dengan rambut panjangnya yang terurai. Dia memerankan Dirah, tokoh sentral dalam Calonarang. Selama pementasan 45 menit, membawakan cerita dekonstruksi dan rekontruksi dari cerita Calonarang yang diketahui khalayak umum. Dalam ‘Pembelaan Dirah’ itu, Cok Sawitri menyampaikan versi yang berbeda dalam diri Dirah yang kemudian dikenal sebagai Calonarang.Dirah sosok feminin yang mendapat ketidakadilan dari politik kekuasaan yang berjalan saat itu. Bahkan hingga Dirah memiliki keturunan yang bernama Ratna Manggali.
Dalam aksi teaternya yang juga menggandeng filmaker Raditya Pandet dalam pengaturan blok, pencahayaan hingga back sound yang mengiringi menerangkan sudut pandang Dirah yang mendapat perlakuan tidak adil atas ajaran Buda Tantra yang dianutnya. Cok Sawitri mengatakan pementasan Pembelaan Dirah yang diselenggarakan di Buleleng itu merupakan uji coba pementasan draf naskah yang ditulis pertama olehnya pada tahun 1992. Naskah Pembelaan Dirah itu pun pertama kali dipentaskan pada tahun 1999, merupakan sekuel pertama dari empat riset Calonarang yang dilakukannya. “Ini merupakan pementasan setelah 20 tahun pertamakali dipentaskan dengan pendekatan berbeda,” ujar dia dalam diskusi pasca pementasan kemarin malam.
Bahkan setelah 17 tahun melakukan riset dan menghasilkan naskah teater, dia juga sempat menuangkannya dalam terbitan buku yang berjudul ‘Janda Dari Dirah’. Pementasan Pembelaan Dirah pun sempat ditampilkan dalam gaya portable show dan juga sempat dibawakan melalui Arja Siki. “Sekali lagi bertujuan untuk mengembalikan prinsip pemanggungan politik tubuh,” imbuh dia.
Menurutnya memainkan Dirah mengingatkan pada penganut yang sangat rasional. Melalui hasil penelitiannya selama 17 tahun, dengan membaca prasasti, lontar dan berbagai kitab ia menemukan teka-teki atas cerita Calonarang yang selama ini dianggap mitologi itu tidaklah tepat. Nama Calonarang dan juga Ratna Manggali selaku keturunan satu-satunya disebut Cok Sawitri jika dicermati ada di setiap kitab, tersurat nama mereka yang membuatnya menyimpulkan bahwa Calonarang bukan orang yang benar-benar kotor dan buruk seperti yang dikenal selama ini. “Yang saya lakukan menyampaikan kebenaran yang tidak sampai. Jika dirunut babad di Bali, siapa ibunya Ratna Manggali? Calonarang bukan mitologi. Bali memang beberapa kali mengalami proses penamaan dan penyeragaman. Termasuk Nirarta yang menghilangkan jejak tantrisme.*k23
Cok Sawitri masuk ke kalangan pentasnya menggunakan busana serba putih dengan rambut panjangnya yang terurai. Dia memerankan Dirah, tokoh sentral dalam Calonarang. Selama pementasan 45 menit, membawakan cerita dekonstruksi dan rekontruksi dari cerita Calonarang yang diketahui khalayak umum. Dalam ‘Pembelaan Dirah’ itu, Cok Sawitri menyampaikan versi yang berbeda dalam diri Dirah yang kemudian dikenal sebagai Calonarang.Dirah sosok feminin yang mendapat ketidakadilan dari politik kekuasaan yang berjalan saat itu. Bahkan hingga Dirah memiliki keturunan yang bernama Ratna Manggali.
Dalam aksi teaternya yang juga menggandeng filmaker Raditya Pandet dalam pengaturan blok, pencahayaan hingga back sound yang mengiringi menerangkan sudut pandang Dirah yang mendapat perlakuan tidak adil atas ajaran Buda Tantra yang dianutnya. Cok Sawitri mengatakan pementasan Pembelaan Dirah yang diselenggarakan di Buleleng itu merupakan uji coba pementasan draf naskah yang ditulis pertama olehnya pada tahun 1992. Naskah Pembelaan Dirah itu pun pertama kali dipentaskan pada tahun 1999, merupakan sekuel pertama dari empat riset Calonarang yang dilakukannya. “Ini merupakan pementasan setelah 20 tahun pertamakali dipentaskan dengan pendekatan berbeda,” ujar dia dalam diskusi pasca pementasan kemarin malam.
Bahkan setelah 17 tahun melakukan riset dan menghasilkan naskah teater, dia juga sempat menuangkannya dalam terbitan buku yang berjudul ‘Janda Dari Dirah’. Pementasan Pembelaan Dirah pun sempat ditampilkan dalam gaya portable show dan juga sempat dibawakan melalui Arja Siki. “Sekali lagi bertujuan untuk mengembalikan prinsip pemanggungan politik tubuh,” imbuh dia.
Menurutnya memainkan Dirah mengingatkan pada penganut yang sangat rasional. Melalui hasil penelitiannya selama 17 tahun, dengan membaca prasasti, lontar dan berbagai kitab ia menemukan teka-teki atas cerita Calonarang yang selama ini dianggap mitologi itu tidaklah tepat. Nama Calonarang dan juga Ratna Manggali selaku keturunan satu-satunya disebut Cok Sawitri jika dicermati ada di setiap kitab, tersurat nama mereka yang membuatnya menyimpulkan bahwa Calonarang bukan orang yang benar-benar kotor dan buruk seperti yang dikenal selama ini. “Yang saya lakukan menyampaikan kebenaran yang tidak sampai. Jika dirunut babad di Bali, siapa ibunya Ratna Manggali? Calonarang bukan mitologi. Bali memang beberapa kali mengalami proses penamaan dan penyeragaman. Termasuk Nirarta yang menghilangkan jejak tantrisme.*k23
1
Komentar