Ditolak Warga, Proyek Perumahan Disegel
Dari pihak desa adat mengaku sudah memberikan peringatan sebanyak dua kali ke pengembang, namun pembangunan malah semakin digenjot.
DENPASAR, NusaBali
Tanah kapling seluas 40 are yang sedang dibangun perumahan di Jalan Trenggana Gang IV, Banjar Pelayan, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur, disegel petugas Satpol PP Kota Denpasar, Selasa (5/11) pukul 10.00 Wita. Tanah kapling ini diduga tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) dan melanggar Perda Nomor 5 Tahun 2005 tentang bangunan gedung. Selain itu, tanah kapling yang sudah mulai dibangun itu juga ditolak warga karena berdekatan dengan Pura Dalem dan Setra.
Dalam penyegelan tersebut diikuti puluhan warga setempat, pihak kelurahan, kepolisian, kejaksaan, dan prajuru adat. Bahkan pada lahan tersebut juga sudah dibangun pondasi dan bangunan yang sudah mulai proses penembokan.
Bendesa Poh Manis, Ketut Nesa, mengatakan pembangunan di tanah kapling tersebut hingga saat ini tidak pernah mendapat restu dari desa adat sejak tahun 2017 lalu, padahal pengembang sudah melakukan pembangunan jembatan. Sejak itu jembatan yang masuk dalam dua desa adat, yakni Desa Adat Taman Poh Manis dan Desa Adat Penatih Dangin Puri sudah tak setuju, karena berdekatan dengan setra dan Pura Dalem.
Karena tidak disetujui warga, pengembang pertama memilih tidak melanjutkan pembangunan. Namun, saat pergantian pengembang terjadi, pengembang yang kedua ini malah terus melakukan pembangunan dan tidak menghiraukan penolakan warga. Padahal peraturan sudah jelas jika melakukan pembangunan wajib untuk mendapat rekomendasi dari desa adat. Bahkan dari pihak desa adat mengaku sudah memberikan peringatan sebanyak dua kali, namun pembangunan malah semakin digenjot. "Sekarang sudah ada peraturan baru dari pemerintah. Kalau mau melakukan pembangunan harus ada rekomendasi dari desa adat. Ini dari awal untuk pengembang kedua tidak ada sosialisasi dulu, belum ada pendekatan pada masyarakat itu yang memicu protes," jelasnya.
Dengan tidak dihiraukannya penolakan tersebut, pihaknya memilih untuk melaporkan ke Satpol PP Denpasar. Pembangunan tersebut juga tanpa izin. Kata Nesa, sampai kapanpun pihaknya akan tetap menolak kendati ada mediasi dari pengembang untuk pembangunan di kawasan tersebut. "Kami tetap akan menolaknya," imbuhnya.
Sementara, Kasat Pol PP Kota Denpasar, I Dewa Anom Sayoga, saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya sudah pernah memberikan kesempatan mediasi dari pihak pengembang dengan desa adat tanggal 17 Oktober 2019 lalu. Namun mediasi tersebut gagal karena warga tetap menolak adanya pembangunan di kawasan tersebut.
Dalam mediasi tersebut Sayoga mengatakan pihaknya sudah sempat memberikan peringatan untuk tidak bertindak apapun dari pengembang. Bahkan, sudah masuk dalam proses tindak pidana ringan (tipiring). Namun, pihak pengembang malah terus melakukan pembangunan dan bahkan dikebut sehingga memicu kekesalan warga.
Pihaknya langsung melakukan penyegelan, karena pembangunan tersebut juga tidak memiliki izin. "Sudah pernah dilakukan mediasi, bahkan kami imbau untuk tidak melakukan kegiatan dulu. Kami sudah sempat sidang tipiring. Malah semakin dikebut pengerjaannya. Ini kan memicu kemarahan warga juga, jadi sudah melanggar tidak mendengarkan perintah. Jelas kami segel," ungkapnya.
Jika segel tersebut dibuka selama belum melengkapi izin, maka ranahnya masuk dalam pidana. Sehingga, dari segi aturan pihak pengembang wajib melengkapi izin terlebih dahulu. "Izin dulu dilengkapi baru ditinjau. Kalau sudah benar ada izin ya kami buka segelnya. Kalau ngeyel dibuka sendiri ranahnya ke pidana nanti. Kalau untuk jembatan itu bukan ranah kami, itu ranahnya Balai Wilayah Sungai (BWS)," ujarnya. Sementara situasi di lokasi kemarin tampak tak ada pekerja yang beraktivitas. Upaya konfirmasi ke pihak pengembang pun tak bisa dilakukan, karena tak ada yang bisa ditemui di lokasi. *mis
Dalam penyegelan tersebut diikuti puluhan warga setempat, pihak kelurahan, kepolisian, kejaksaan, dan prajuru adat. Bahkan pada lahan tersebut juga sudah dibangun pondasi dan bangunan yang sudah mulai proses penembokan.
Bendesa Poh Manis, Ketut Nesa, mengatakan pembangunan di tanah kapling tersebut hingga saat ini tidak pernah mendapat restu dari desa adat sejak tahun 2017 lalu, padahal pengembang sudah melakukan pembangunan jembatan. Sejak itu jembatan yang masuk dalam dua desa adat, yakni Desa Adat Taman Poh Manis dan Desa Adat Penatih Dangin Puri sudah tak setuju, karena berdekatan dengan setra dan Pura Dalem.
Karena tidak disetujui warga, pengembang pertama memilih tidak melanjutkan pembangunan. Namun, saat pergantian pengembang terjadi, pengembang yang kedua ini malah terus melakukan pembangunan dan tidak menghiraukan penolakan warga. Padahal peraturan sudah jelas jika melakukan pembangunan wajib untuk mendapat rekomendasi dari desa adat. Bahkan dari pihak desa adat mengaku sudah memberikan peringatan sebanyak dua kali, namun pembangunan malah semakin digenjot. "Sekarang sudah ada peraturan baru dari pemerintah. Kalau mau melakukan pembangunan harus ada rekomendasi dari desa adat. Ini dari awal untuk pengembang kedua tidak ada sosialisasi dulu, belum ada pendekatan pada masyarakat itu yang memicu protes," jelasnya.
Dengan tidak dihiraukannya penolakan tersebut, pihaknya memilih untuk melaporkan ke Satpol PP Denpasar. Pembangunan tersebut juga tanpa izin. Kata Nesa, sampai kapanpun pihaknya akan tetap menolak kendati ada mediasi dari pengembang untuk pembangunan di kawasan tersebut. "Kami tetap akan menolaknya," imbuhnya.
Sementara, Kasat Pol PP Kota Denpasar, I Dewa Anom Sayoga, saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya sudah pernah memberikan kesempatan mediasi dari pihak pengembang dengan desa adat tanggal 17 Oktober 2019 lalu. Namun mediasi tersebut gagal karena warga tetap menolak adanya pembangunan di kawasan tersebut.
Dalam mediasi tersebut Sayoga mengatakan pihaknya sudah sempat memberikan peringatan untuk tidak bertindak apapun dari pengembang. Bahkan, sudah masuk dalam proses tindak pidana ringan (tipiring). Namun, pihak pengembang malah terus melakukan pembangunan dan bahkan dikebut sehingga memicu kekesalan warga.
Pihaknya langsung melakukan penyegelan, karena pembangunan tersebut juga tidak memiliki izin. "Sudah pernah dilakukan mediasi, bahkan kami imbau untuk tidak melakukan kegiatan dulu. Kami sudah sempat sidang tipiring. Malah semakin dikebut pengerjaannya. Ini kan memicu kemarahan warga juga, jadi sudah melanggar tidak mendengarkan perintah. Jelas kami segel," ungkapnya.
Jika segel tersebut dibuka selama belum melengkapi izin, maka ranahnya masuk dalam pidana. Sehingga, dari segi aturan pihak pengembang wajib melengkapi izin terlebih dahulu. "Izin dulu dilengkapi baru ditinjau. Kalau sudah benar ada izin ya kami buka segelnya. Kalau ngeyel dibuka sendiri ranahnya ke pidana nanti. Kalau untuk jembatan itu bukan ranah kami, itu ranahnya Balai Wilayah Sungai (BWS)," ujarnya. Sementara situasi di lokasi kemarin tampak tak ada pekerja yang beraktivitas. Upaya konfirmasi ke pihak pengembang pun tak bisa dilakukan, karena tak ada yang bisa ditemui di lokasi. *mis
Komentar