Industri Arak Bali Sejak Zaman Belanda
Maka wajar Gubernur Bali Wayan Koster kini menyiapkan Pergub yang intinya untuk melindungi ribuan perajin arak Bali di Bali.
AMLAPURA, NusaBali
Bicara tentang arak Bali, orang tak akan bisa menjauh dari arak Sidemen, Karangasem. Karena rasa arak Sidemen khas; pahit segar menyengat, juga wilayah ini menghasilkan banyak arak dibandingkan wilayah lain di Bali. Di Balik itu, industrialisasi arak Sidemen sudah ada sejak zaman Belanda.
Sesungguhnya produksen arak terbanyak ada di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem, yakni 470 perajin arak dari 600 KK. Mereka mempekerjakan 903 tenaga kerja. Desa ini mewilayahi Banjar Telun Wayah Duuran, Banjar Telun Wayah Betenan, dan Banjar Pungutan. Sedangkan di Kecamatan Sidemen, tercatat 763 perajin arak dengan mempekerjakan 1.343 tenaga kerja. Di Karangasem tercatat 1.116 perajin arak dengan mempekerjakan 1.884 tenaga kerja. Data ini menunjukkan, industri arak Bali telah memberikan kesejahteraan hidup banyak perajin. Maka wajar Gubernur Bali Wayan Koster kini menyiapkan Pergub yang intinya untuk melindungi ribuan perajin arak Bali di Bali.
Belum ada data, kapan kerajinan arak Bali mulai berkembang di Bali. Namun di Banjar Telun Wayah Duuran, Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem, masih ada salah seorang perajin yang bias membuat arak sejak zaman penjajahan Belanda.
Dia adalah Jro Mangku Dirka,90, masih eksis sebagai perajin arak Bali hingga kini. Hanya saja, sejak umurnya telah lanjut tidak kuat lagi memanjat kelapa untuk menyadap tongkol kelapa agar meneteskan tuak. Namun mengolah tuak jadi arak Bali yang khas Telun Wayah tetap dijalaninya setiap hari. Sebab, kegiatan itu satu-satunya dimiliki karena mendatangkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya.
Ditemui NusaBali di rumahnya, Banjar Telun Wayah Duuran, Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem, Sabtu (2/11), Jro Mangku Dirka menuturkan, sejak umur 12 tahun telah terbiasa memanjat kelapa menyadap tuak. Biasanya, dia selama empat hari mengumpulkan tuak hingga mampu menampung 110 liter, barulah dimasak menggunakan kekeg berbahan stainless. Memasak tuak membutuhkan waktu dari pukul 05.00 Wita - 13.00 Wita, mampu menghasilkan sekitar 15 liter arak. Hasil produksinya dijual per liter Rp 50.000, ke pengepul sehingga berpenghasilan setiap empat hari Rp 750.000.
Hanya saja ngirisin tongkol (mengiris pangkal) bunga kelapa, dihentikan sejak 15 tahun lalu. Kegiatan ini digantikan anaknya, I Wayan Niria. Selama ini, Jro Mangku seharian kerjanya di dapur menunggui tuak yang disuling jadi arak, sambil mengontrol bara apinya agar terus membara.
Jro Mangku Dirka menduda sejak setahun lalu. Istrinya, Jro Mangku Istri Nengah Dirka meninggal setelah perkawinan mereka dikaruniai 6 anak, 15 cucu, dan 14 cicit. “Secara fisik saya masih kuat beraktivitas, saya mengolah tuak jadi arak sejak zaman Belanda,” katanya.
Jro Mangku Dirka lahir tahun 1929. Mulai usia sekitar sembilan tahun aktif besentuhan dengan pohon kelapa. Sejak itu, dia kerap dimintai bantuan memetik kelapa dan sekali-sekali ngirisin atau menyadap tuak. Kegiatan sadap tuak lazim di daerahnya. Karena para tetua menjadikan tuak sebagai minuman favorit mereka.
Jro Mangku Dirka, atas dorongan orang tua dan tetangganya mulai menyuling tuak agar menjadi arak. “Membuat arak merupakan bagian terpenting dalam hidup saya. Karena dengan memproduksi arak, saya bisa memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari,” kata Jro Mangku Dirka.
Dia memaparkan teknik memproduksi arak. Diawali dari ngirisin tongkol kelapa. Dia memilih pohon kelapa yang dun (subur), pelepah, dan tongkol bunga kelapa yang lembut. Dengan kondisi ini akan lebih mudah mendapatkan tuak. Setelah terkumpul tuak minimal 110 liter, baru direbus dalam gentong selama tiga hari. Rebusan ini menjadikan tuak mengental. “Untuk mengetahui arak berkualitas atau kurang bagus, mesti dicoba dengan meminumnya sedikit. Sekarang tidak perlu dengan cara seperti itu. Karena sudah ada alat untuk mengetes kadar alkohol arak,” lanjut Jro Mangku Dirka. Guna mendapatkan tuak yang cukup untuk diolah jadi arak, setidaknya Jro Mangku Dirka, menyadap 19 pohon kelapa.*nant
Sesungguhnya produksen arak terbanyak ada di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem, yakni 470 perajin arak dari 600 KK. Mereka mempekerjakan 903 tenaga kerja. Desa ini mewilayahi Banjar Telun Wayah Duuran, Banjar Telun Wayah Betenan, dan Banjar Pungutan. Sedangkan di Kecamatan Sidemen, tercatat 763 perajin arak dengan mempekerjakan 1.343 tenaga kerja. Di Karangasem tercatat 1.116 perajin arak dengan mempekerjakan 1.884 tenaga kerja. Data ini menunjukkan, industri arak Bali telah memberikan kesejahteraan hidup banyak perajin. Maka wajar Gubernur Bali Wayan Koster kini menyiapkan Pergub yang intinya untuk melindungi ribuan perajin arak Bali di Bali.
Belum ada data, kapan kerajinan arak Bali mulai berkembang di Bali. Namun di Banjar Telun Wayah Duuran, Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem, masih ada salah seorang perajin yang bias membuat arak sejak zaman penjajahan Belanda.
Dia adalah Jro Mangku Dirka,90, masih eksis sebagai perajin arak Bali hingga kini. Hanya saja, sejak umurnya telah lanjut tidak kuat lagi memanjat kelapa untuk menyadap tongkol kelapa agar meneteskan tuak. Namun mengolah tuak jadi arak Bali yang khas Telun Wayah tetap dijalaninya setiap hari. Sebab, kegiatan itu satu-satunya dimiliki karena mendatangkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya.
Ditemui NusaBali di rumahnya, Banjar Telun Wayah Duuran, Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem, Sabtu (2/11), Jro Mangku Dirka menuturkan, sejak umur 12 tahun telah terbiasa memanjat kelapa menyadap tuak. Biasanya, dia selama empat hari mengumpulkan tuak hingga mampu menampung 110 liter, barulah dimasak menggunakan kekeg berbahan stainless. Memasak tuak membutuhkan waktu dari pukul 05.00 Wita - 13.00 Wita, mampu menghasilkan sekitar 15 liter arak. Hasil produksinya dijual per liter Rp 50.000, ke pengepul sehingga berpenghasilan setiap empat hari Rp 750.000.
Hanya saja ngirisin tongkol (mengiris pangkal) bunga kelapa, dihentikan sejak 15 tahun lalu. Kegiatan ini digantikan anaknya, I Wayan Niria. Selama ini, Jro Mangku seharian kerjanya di dapur menunggui tuak yang disuling jadi arak, sambil mengontrol bara apinya agar terus membara.
Jro Mangku Dirka menduda sejak setahun lalu. Istrinya, Jro Mangku Istri Nengah Dirka meninggal setelah perkawinan mereka dikaruniai 6 anak, 15 cucu, dan 14 cicit. “Secara fisik saya masih kuat beraktivitas, saya mengolah tuak jadi arak sejak zaman Belanda,” katanya.
Jro Mangku Dirka lahir tahun 1929. Mulai usia sekitar sembilan tahun aktif besentuhan dengan pohon kelapa. Sejak itu, dia kerap dimintai bantuan memetik kelapa dan sekali-sekali ngirisin atau menyadap tuak. Kegiatan sadap tuak lazim di daerahnya. Karena para tetua menjadikan tuak sebagai minuman favorit mereka.
Jro Mangku Dirka, atas dorongan orang tua dan tetangganya mulai menyuling tuak agar menjadi arak. “Membuat arak merupakan bagian terpenting dalam hidup saya. Karena dengan memproduksi arak, saya bisa memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari,” kata Jro Mangku Dirka.
Dia memaparkan teknik memproduksi arak. Diawali dari ngirisin tongkol kelapa. Dia memilih pohon kelapa yang dun (subur), pelepah, dan tongkol bunga kelapa yang lembut. Dengan kondisi ini akan lebih mudah mendapatkan tuak. Setelah terkumpul tuak minimal 110 liter, baru direbus dalam gentong selama tiga hari. Rebusan ini menjadikan tuak mengental. “Untuk mengetahui arak berkualitas atau kurang bagus, mesti dicoba dengan meminumnya sedikit. Sekarang tidak perlu dengan cara seperti itu. Karena sudah ada alat untuk mengetes kadar alkohol arak,” lanjut Jro Mangku Dirka. Guna mendapatkan tuak yang cukup untuk diolah jadi arak, setidaknya Jro Mangku Dirka, menyadap 19 pohon kelapa.*nant
Komentar