Desa Bukti Kubutambahan, Dulu Tandus, Kini Budidayakan Perkebunan Pisang
Tanaman pisang ini sudah dikembangkan di atas lahan 2 hektare, dari total target pengembangan 60 hektare.
SINGARAJA, NusaBali
Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, sebagian wilayahnya, terutama di bagian atas merupakan daerah tandus. Namun perlahan, daerah tandus ini berhasil diolah menjadi tanah subur, dengan pengembangan komoditi perkebunan pisang. Rencananya, budidaya pohon pisang ini dikembangkan di atas lahan seluas 60 hektare.
Wilayah bagian atas Desa Bukti, sebagian lahannya agak berbatu dan cukup padat. Warga setempat hanya bisa mengolah beberapa bidang saja saat musim penghujan dengan menanam jagung. Di musim kemarau, praktis lahan tersebut tidak produktif, karena tidak memiliki sumber air.
Sejatinya Desa Bukti memiliki sumber air, yakni, Permandian Air Sanih. Namun karena lokasinya berada di bagian bawah, sehingga tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk wilayah di bagian atas. Sempat dimanfaatkan untuk wilayah bagian atas dengan pompa air, namun beban listrik yang cukup tinggi, warga tidak mampu membayar.
Kondisi itu tidak membuat warga di bagian atas patah arang. Mereka terus berusaha, agar lahan tandus bisa menghasilkan. Terbukti, warga berhasil mengembangkan perkebunan pisang. Tercatat ada enam jenis pisang yang sudah dikembangkan, yakni, pisang kepok, barangan kuning, cavendis, pisang raja, pisang sari, dan ambon kuning. Tanaman pisang ini sudah dikembangkan di atas lahan 2 hektare, dari total target pengembangan 60 hektare.
Untuk lahan seluas 2 hektare, telah berisi sebanyak 2.200 pohon pisang dengan usia hampir setahun. Kini beberapa jenis sudah mulai keluar tandan, pertanda pohon pisang mulai berbuah. “Penanaman perdana itu pada Januari 2019, sekarang mendekati setahun, sudah ada beberapa batang pohon pisang yang mulai berbuah,” terang Made Parta, Ketua Kelompok Ternak Kerti Winangun, Desa Bukti, yang ditemui di kebun pisang, Sabtu (9/11/2019).
Dijelaskan, pengembangan tanaman pisang hasil kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui program Banana Smart Vilage yang diluncurkan sejak awal tahun 2019. Kerja sama tersebut berawal dari sukses Kelompok Ternak Kerti Winangun, membuat bio urine dan pupuk organik guna menyuburkan tanah dari kotoran sapi. Kelompok Kerti Winangun tadinya pelihara sapi sebanyak 87 ekor sapi dari program Simantri yang diluncurkan Pemprov Bali. Kini jumlah sapi itu telah berkembang menjadi 203 ekor. Dari pengeolahan kotoran sapi itulah kemudian dipakai menyuburkan lahan yang ada. Awalnya begitu membuat lubang tanam, langsung diberi bio urine bercampur air. Setelah masa tanam, secara rutin pemberian bio urine setiap tiga bulan sekali. Setelah bio urin, penggunaan pupuk organik dilakukan setiap enam bulan sekali. “Lahan tandus itu karena unsur haranya yang kurang. Dengan teknologi pemanfaatan kotoran sapi, unsur hara itu bisa dikembalikan, sehingga tanah mulai bisa diolah,” kata Made Parta yang kini menjabat Sekretaris Desa Bukti.
Masih kata Made Parta, meski telah berhasil mengembalikan kesuburan tanah dengan memanfaatkan pengolahan kotoran sapi, ketersediaan air menjadi hal utama. Karena kebutuhan air kebun pisang dengan luas tanam 60 hektar, minimal 1.141 meterkubik perhari.
Saat ini, pihaknya masih memanfaatkan sumber air dari Tukad Daya, yang berlokasi di Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan. Sumber air itu diambil melalui jaringan pipa berukuran 2 dim, sejauh 17 kilometer, kemudian ditampung di bak penampungan. Tercatat ada tiga bak penampungan masing-masing berkapasitas 500 meter kubik, 200 meter kubik dan 97 meter kubik. “Jumlah bak ini belum cukup bagi kami, apalagi nanti luas tanam sudah mencapai 60 hektare. Sehingga kami perlu ada tambahan bak penampungan yang lebih besar lagi, sampai 43 ribu meter kubik,” akunya.
Dikatakan, pada saat musim kemarau, air masih bisa ditampung di bak-bak penampungan yang sudah ada. Tetapi pada musim penghujan, kami tidak bisa menampung air yang lebih banyak, sehingga air terbuang percuma. “Kalau air di musim penghujan ini bisa kami tampung lebih banyak, tentu kami masih bisa memanfaatkan cadangan air itu saat musim kemarau. Kalau dengan 43 ribu meter kubik, kebutuhan air pada musim kemarau sudah sangat mencukupi,” terang Made Parta. *k19
Wilayah bagian atas Desa Bukti, sebagian lahannya agak berbatu dan cukup padat. Warga setempat hanya bisa mengolah beberapa bidang saja saat musim penghujan dengan menanam jagung. Di musim kemarau, praktis lahan tersebut tidak produktif, karena tidak memiliki sumber air.
Sejatinya Desa Bukti memiliki sumber air, yakni, Permandian Air Sanih. Namun karena lokasinya berada di bagian bawah, sehingga tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk wilayah di bagian atas. Sempat dimanfaatkan untuk wilayah bagian atas dengan pompa air, namun beban listrik yang cukup tinggi, warga tidak mampu membayar.
Kondisi itu tidak membuat warga di bagian atas patah arang. Mereka terus berusaha, agar lahan tandus bisa menghasilkan. Terbukti, warga berhasil mengembangkan perkebunan pisang. Tercatat ada enam jenis pisang yang sudah dikembangkan, yakni, pisang kepok, barangan kuning, cavendis, pisang raja, pisang sari, dan ambon kuning. Tanaman pisang ini sudah dikembangkan di atas lahan 2 hektare, dari total target pengembangan 60 hektare.
Untuk lahan seluas 2 hektare, telah berisi sebanyak 2.200 pohon pisang dengan usia hampir setahun. Kini beberapa jenis sudah mulai keluar tandan, pertanda pohon pisang mulai berbuah. “Penanaman perdana itu pada Januari 2019, sekarang mendekati setahun, sudah ada beberapa batang pohon pisang yang mulai berbuah,” terang Made Parta, Ketua Kelompok Ternak Kerti Winangun, Desa Bukti, yang ditemui di kebun pisang, Sabtu (9/11/2019).
Dijelaskan, pengembangan tanaman pisang hasil kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui program Banana Smart Vilage yang diluncurkan sejak awal tahun 2019. Kerja sama tersebut berawal dari sukses Kelompok Ternak Kerti Winangun, membuat bio urine dan pupuk organik guna menyuburkan tanah dari kotoran sapi. Kelompok Kerti Winangun tadinya pelihara sapi sebanyak 87 ekor sapi dari program Simantri yang diluncurkan Pemprov Bali. Kini jumlah sapi itu telah berkembang menjadi 203 ekor. Dari pengeolahan kotoran sapi itulah kemudian dipakai menyuburkan lahan yang ada. Awalnya begitu membuat lubang tanam, langsung diberi bio urine bercampur air. Setelah masa tanam, secara rutin pemberian bio urine setiap tiga bulan sekali. Setelah bio urin, penggunaan pupuk organik dilakukan setiap enam bulan sekali. “Lahan tandus itu karena unsur haranya yang kurang. Dengan teknologi pemanfaatan kotoran sapi, unsur hara itu bisa dikembalikan, sehingga tanah mulai bisa diolah,” kata Made Parta yang kini menjabat Sekretaris Desa Bukti.
Masih kata Made Parta, meski telah berhasil mengembalikan kesuburan tanah dengan memanfaatkan pengolahan kotoran sapi, ketersediaan air menjadi hal utama. Karena kebutuhan air kebun pisang dengan luas tanam 60 hektar, minimal 1.141 meterkubik perhari.
Saat ini, pihaknya masih memanfaatkan sumber air dari Tukad Daya, yang berlokasi di Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan. Sumber air itu diambil melalui jaringan pipa berukuran 2 dim, sejauh 17 kilometer, kemudian ditampung di bak penampungan. Tercatat ada tiga bak penampungan masing-masing berkapasitas 500 meter kubik, 200 meter kubik dan 97 meter kubik. “Jumlah bak ini belum cukup bagi kami, apalagi nanti luas tanam sudah mencapai 60 hektare. Sehingga kami perlu ada tambahan bak penampungan yang lebih besar lagi, sampai 43 ribu meter kubik,” akunya.
Dikatakan, pada saat musim kemarau, air masih bisa ditampung di bak-bak penampungan yang sudah ada. Tetapi pada musim penghujan, kami tidak bisa menampung air yang lebih banyak, sehingga air terbuang percuma. “Kalau air di musim penghujan ini bisa kami tampung lebih banyak, tentu kami masih bisa memanfaatkan cadangan air itu saat musim kemarau. Kalau dengan 43 ribu meter kubik, kebutuhan air pada musim kemarau sudah sangat mencukupi,” terang Made Parta. *k19
Komentar