Komika Hendra Gabeng, Menghibur Sambil Selipkan Ilmu Agama
I Wayan Hendra Purnawan, begitu nama lengkapnya. Sehari-harinya merupakan seorang penyuluh agama Hindu di Desa Tua, Kecamatan Marga, Tabanan.
DENPASAR, NusaBali
Siapa sangka, sosok bersahaja ini menjadi Juara I di Lomba Stand Up Comedy Bali di Festival Seni Bali Jani 2019, pada Jumat (1/11) lalu. Menurut para juri, yakni I Ketut Suanda alias Cedil, Abdul Hadi, dan Made Taro, dalam lomba Stand Up Comedy Bali ini satu hal yang diutamakan adalah etika dan cara penyampaian lawakan yang juga diselipi edukasi. Dan Hendra, berhasil merebut perhatian juri dengan lawakannya yang dikaitkan dengan ilmu agama dalam agama Hindu.
Sebuah fakta unik mengenai Hendra, lomba di Festival Bali Jani 2019 tersebut merupakan pertama kalinya ia mengikuti lomba Stand Up Comedy yang memiliki konsep lawakan modern. Sebelumnya, dirinya menggeluti dunia lawakan dalam ranah yang lebih tradisional, yakni dalam kelompok lawak Bondres ‘Takir Wangsuh’.
Hendra pertama kali melirik dunia Bondres saat dirinya merupakan mahasiswa semester 2 di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar pada tahun 2011 silam. Kala itu, dirinya terinspirasi oleh dosennya yang merupakan anggota grup lawak terkenal, Trio Celekontong Mas. Ide ini kemudian berkembang sehingga terbentuklah grup Takir Wangsuh yang beranggotakan tiga orang, bersama dengan dua mahasiswa lainnya.
“2011 itu pertama kalinya saya tampil dan belajar tentang panggung. Tapi tampilnya bukan di kampus, tapi di salah satu rumah teman di Bangli yang mempunyai sebuah acara. Kita coba tampil di sana, dan rasa-rasanya bagus, ada respon dari penonton. Akhirnya kami menekuni itu, sampai saat ini,” kenang suami Putu Wiwin Ekatrini ini.
Hingga saat ini, kelompok Takir Wangsuh sudah sering tampil di berbagai acara, bahkan hingga tampil di luar Bali, seperti Lombok dan Jawa Timur. Namun, Hendra tak berhenti di sana, dirinya ingin mencoba hal baru. Karena itulah kemudian dirinya terjun mengikuti lomba Stand Up Comedy.
Memiliki latar belakang sebagai bondres tak serta merta membuat Hendra dengan mudah melawak di panggung Stand Up Comedy. Perbedaan terbesar tentu saja ada pada saat berada di panggung, yakni dengan tampil tanpa riasan wajah. “Pada saat tampil di bondres, yang ditonjolkan adalah karakternya. Karena nama panggung saya Gabeng, jadi karakter gabeng itu saya tunjukkan. Kalau di Stand Up Comedy, saya tampilkan diri saya sendiri sebagai Hendra,”ujar pria kelahiran 8 Januari 1991 ini.
Selain itu, hal yang membuat lawakan bondres berbeda dengan stand up comedy adalah jumlah pelawak yang mempengaruhi bagaimana sebuah lawakan tersampaikan. Pada bondres yang terdiri dari dua atau tiga orang, terdapat sebuah kalimat umpan atau pemancing yang diucapkan oleh seorang pelawak, yang kemudian ditimpali oleh rekanannya. Nah, balasan inilah yangmenjadi poin lawakan dalam bondres. Namun, dalam stand up comedy, seorang pelawak harus membangun leluconnya sendiri.
Hendra yang sehari-harinya merupakan seorang penyuluh agama berpendapat, menyampaikan kuliah agama ada baiknya jika digabungkan dengan humor, untuk menarik minat para pendengar. Maka dari itu, dirinya memiliki trik untuk menyampaikan lawakan di awal ceramah, barulah setelah itu nilai agamanya diselipkan sebagai pencerahan. Hal ini mendasari pemikiran Hendra, bahwa Stand Up Comedy identik dengan intelektual. “Jadi orang yang berbicara harus memiliki intelektual sehingga bisa diterima di masyarakat sebagai sebuah tontonan dan tuntunan,” tuntas alumnus SMA Negeri 1 Marga, Tabanan ini.*
Sebuah fakta unik mengenai Hendra, lomba di Festival Bali Jani 2019 tersebut merupakan pertama kalinya ia mengikuti lomba Stand Up Comedy yang memiliki konsep lawakan modern. Sebelumnya, dirinya menggeluti dunia lawakan dalam ranah yang lebih tradisional, yakni dalam kelompok lawak Bondres ‘Takir Wangsuh’.
Hendra pertama kali melirik dunia Bondres saat dirinya merupakan mahasiswa semester 2 di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar pada tahun 2011 silam. Kala itu, dirinya terinspirasi oleh dosennya yang merupakan anggota grup lawak terkenal, Trio Celekontong Mas. Ide ini kemudian berkembang sehingga terbentuklah grup Takir Wangsuh yang beranggotakan tiga orang, bersama dengan dua mahasiswa lainnya.
“2011 itu pertama kalinya saya tampil dan belajar tentang panggung. Tapi tampilnya bukan di kampus, tapi di salah satu rumah teman di Bangli yang mempunyai sebuah acara. Kita coba tampil di sana, dan rasa-rasanya bagus, ada respon dari penonton. Akhirnya kami menekuni itu, sampai saat ini,” kenang suami Putu Wiwin Ekatrini ini.
Hingga saat ini, kelompok Takir Wangsuh sudah sering tampil di berbagai acara, bahkan hingga tampil di luar Bali, seperti Lombok dan Jawa Timur. Namun, Hendra tak berhenti di sana, dirinya ingin mencoba hal baru. Karena itulah kemudian dirinya terjun mengikuti lomba Stand Up Comedy.
Memiliki latar belakang sebagai bondres tak serta merta membuat Hendra dengan mudah melawak di panggung Stand Up Comedy. Perbedaan terbesar tentu saja ada pada saat berada di panggung, yakni dengan tampil tanpa riasan wajah. “Pada saat tampil di bondres, yang ditonjolkan adalah karakternya. Karena nama panggung saya Gabeng, jadi karakter gabeng itu saya tunjukkan. Kalau di Stand Up Comedy, saya tampilkan diri saya sendiri sebagai Hendra,”ujar pria kelahiran 8 Januari 1991 ini.
Selain itu, hal yang membuat lawakan bondres berbeda dengan stand up comedy adalah jumlah pelawak yang mempengaruhi bagaimana sebuah lawakan tersampaikan. Pada bondres yang terdiri dari dua atau tiga orang, terdapat sebuah kalimat umpan atau pemancing yang diucapkan oleh seorang pelawak, yang kemudian ditimpali oleh rekanannya. Nah, balasan inilah yangmenjadi poin lawakan dalam bondres. Namun, dalam stand up comedy, seorang pelawak harus membangun leluconnya sendiri.
Hendra yang sehari-harinya merupakan seorang penyuluh agama berpendapat, menyampaikan kuliah agama ada baiknya jika digabungkan dengan humor, untuk menarik minat para pendengar. Maka dari itu, dirinya memiliki trik untuk menyampaikan lawakan di awal ceramah, barulah setelah itu nilai agamanya diselipkan sebagai pencerahan. Hal ini mendasari pemikiran Hendra, bahwa Stand Up Comedy identik dengan intelektual. “Jadi orang yang berbicara harus memiliki intelektual sehingga bisa diterima di masyarakat sebagai sebuah tontonan dan tuntunan,” tuntas alumnus SMA Negeri 1 Marga, Tabanan ini.*
1
Komentar