Krisis Penonton Hingga Berat di Tema
Catatan dari Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2019
Kekuatan Bali adalah tradisi. Sedangkan teater modern itu adalah hal lain, yang digemari oleh sedikit generasi muda Bali.
DENPASAR, NusaBali
Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2019 yang digelar Pemprov Bali melalui Dinas Kebudayaan Bali, 26 Oktober – 8 Nopember 2019, berlangsung lancar. Sebagai festival yang baru pertama kali digelar, ada sejumlah catatan yang harus diperbaiki untuk pelaksanaan tahun depan.
Sejumlah seniman seni modern yang kebetulan ikut ambil bagian dalam festival tersebut memberikan masukan dan saran. Antara lain, Putu Satria, salah seorang sutradara mumpuni asal Buleleng. Di Festival Bali Jani, teaternya, ‘Untung Surapati’ tampil di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, 28 Oktober 2019. Dia menilai Festival Seni Bali Jani perlu dievaluasi lagi dan dilakukan pembenahan-pembenahan. Misalnya, dalam mengkondisikan penonton.
Menurutnya, dalam manajemen pertunjukan, utamanya memanage sisi penonton harus ada yang menggarap. “Kalau kesenian tradisional, itu bisa dimainkan di pura atau di manapun. Wayang Cenk Blonk misalnya, tidak usah diundang orang akan datang. Kalau kesenian modern, penontonnya harus benar-benar digarap. Istilahnya ‘dididik’ bahwa ini yang namanya teater, ini namanya seni modern,” ujarnya, usai pentasnya.
Tidak jauh berbeda dengan penuturan seniman teater lainnya, Abu Bakar. Dihubungi Sabtu (9/11), Abu Bakar mengatakan banyak hal yang bagus, namun tidak menutup kemungkinan juga ada yang harus dihapus atau dikurangi. Terkait penonton, menurut Abu Bakar, upaya yang dilakukan sekarang ini cukup baik untuk merangsang generasi muda mengenal dan mencintai seni modern. Namun, dia berharap suatu saat nanti bisa mendapatkan audiens yang datang sendiri karena memang ingin menonton.
“Sebenarnya saya sedikit berkhayal. Penonton ini sepengetahuan (dalam dunia seni kontemporer). Saya juga dengar, ada penonton diinstruksikan. Tapi upaya yang sekarang ini cukup baik lah, mencoba. Barangkali dari ratusan penonton kalangan siswa itu, ada satu dua orang yang suka. Mungkin suatu saat bisa mendapatkan penonton yang murni yang datang sendiri,” tuturnya. Abu Bakar mementaskn ‘Detik-detik Proklamasi’ yang ditampilkan oleh Teater Bumi Bali di ajang Festival Seni Bali Jani, 30 Oktober lalu.
Menurut Abu Bakar, ajang Festival Seni Bali Jani menjadi semacam pertaruhan setelah dihapusnya program Bali Mandara Mahalango dan Bali Mandara Nawanatya. Apakah setelah dihapusnya dua event tersebut bisa terjawab dengan adanya event Festival Seni Bali Jani? Syukurnya, kata Abu Bakar, Festival Seni Bali Jani ini bisa mengajak anak-anak sekolah yang notabene generasi muda Bali untuk melihat perkembangan seni di Bali tidak hanya sebatas seni tradisi. “Tapi saya juga tidak bisa membayangkan, apa yang terjadi kalau tanpa anak-anak itu,” katanya.
Upaya mengajak generasi muda untuk mencintai seni modern di Bali memang membutuhkan perjuangan. Sebab maklum saja, kekuatan Bali adalah tradisi. Sedangkan teater modern itu adalah hal lain, yang digemari oleh sedikit generasi muda Bali. “Sepertinya kalau bicara Bali, ya bicara seni tradisi. Bisa jadi memang bukan tempatnya di sini seni kontemporer. Bisa jadi begitu. Tapi ibu (istri Gubernur Bali Ny Suastini Koster, Red) adalah penggemar di luar tradisi. Dia sepertinya mencoba untuk mengembangkan seni modern. ‘’Nah, apakah even ini dapat respon yang memadai, atau mungkin bisa mati dengan sendirinya,” ucapnya.
Di sisi lain, Abu Bakar mengatakan, Bali tidak memiliki aktor dan sutradara yang baik. ‘PR’ untuk mengembangkan teater modern adalah mendidik aktor dan sutradaranya. Jika memungkinkan, dia berharap beberapa sutradara Bali bisa dikirim pemerintah untuk didik atau diberikan workshop khusus supaya belajar terus menerus. “Kadang-kadang yang menjengkelkan itu, kan yang tidak sepenuhnya menjadi sutradara, umumnya hasilnya tidak bagus. Dan yang tidak bagus itu yang akan menghancurkan semangat yang lain. Dari beberapa pementasan yang saya lihat, persoalannya bukan pada pemain, tapi pada sutradaranya. Ini yang perlu digodok,” imbuhnya.
Sementara Heri Widi Anggara, salah satu seniman yang ikut dalam pentas musikalisasi puisi mengevaluasi tema Festival Seni Bali Jani yang dinilai terlalu berat. Dialektika Lokal – Global, menurutnya seolah-olah memaksakan menuju ke global. Terlepas dari hal itu, dia mengapresiasi adanya wadah untuk kesenian selain tradisi ini. “Festival ini bagus untuk memotivasi anak muda dan komunitas-komunitas seni modern. Tapi yang saya sayangkan itu pada tema. Hulu Teben, Lokal - Global, seolah-olah memaksakan menuju ke global. Padahal belum siap. Jadinya terlalu berat dengan tema. Akan tetapi bagaimana cara panitia mengelola acara, kurator, hingga gubernur yang konsen dengan membuat acara ini, kami apresiasi,” tuturnya. *ind
Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2019 yang digelar Pemprov Bali melalui Dinas Kebudayaan Bali, 26 Oktober – 8 Nopember 2019, berlangsung lancar. Sebagai festival yang baru pertama kali digelar, ada sejumlah catatan yang harus diperbaiki untuk pelaksanaan tahun depan.
Sejumlah seniman seni modern yang kebetulan ikut ambil bagian dalam festival tersebut memberikan masukan dan saran. Antara lain, Putu Satria, salah seorang sutradara mumpuni asal Buleleng. Di Festival Bali Jani, teaternya, ‘Untung Surapati’ tampil di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, 28 Oktober 2019. Dia menilai Festival Seni Bali Jani perlu dievaluasi lagi dan dilakukan pembenahan-pembenahan. Misalnya, dalam mengkondisikan penonton.
Menurutnya, dalam manajemen pertunjukan, utamanya memanage sisi penonton harus ada yang menggarap. “Kalau kesenian tradisional, itu bisa dimainkan di pura atau di manapun. Wayang Cenk Blonk misalnya, tidak usah diundang orang akan datang. Kalau kesenian modern, penontonnya harus benar-benar digarap. Istilahnya ‘dididik’ bahwa ini yang namanya teater, ini namanya seni modern,” ujarnya, usai pentasnya.
Tidak jauh berbeda dengan penuturan seniman teater lainnya, Abu Bakar. Dihubungi Sabtu (9/11), Abu Bakar mengatakan banyak hal yang bagus, namun tidak menutup kemungkinan juga ada yang harus dihapus atau dikurangi. Terkait penonton, menurut Abu Bakar, upaya yang dilakukan sekarang ini cukup baik untuk merangsang generasi muda mengenal dan mencintai seni modern. Namun, dia berharap suatu saat nanti bisa mendapatkan audiens yang datang sendiri karena memang ingin menonton.
“Sebenarnya saya sedikit berkhayal. Penonton ini sepengetahuan (dalam dunia seni kontemporer). Saya juga dengar, ada penonton diinstruksikan. Tapi upaya yang sekarang ini cukup baik lah, mencoba. Barangkali dari ratusan penonton kalangan siswa itu, ada satu dua orang yang suka. Mungkin suatu saat bisa mendapatkan penonton yang murni yang datang sendiri,” tuturnya. Abu Bakar mementaskn ‘Detik-detik Proklamasi’ yang ditampilkan oleh Teater Bumi Bali di ajang Festival Seni Bali Jani, 30 Oktober lalu.
Menurut Abu Bakar, ajang Festival Seni Bali Jani menjadi semacam pertaruhan setelah dihapusnya program Bali Mandara Mahalango dan Bali Mandara Nawanatya. Apakah setelah dihapusnya dua event tersebut bisa terjawab dengan adanya event Festival Seni Bali Jani? Syukurnya, kata Abu Bakar, Festival Seni Bali Jani ini bisa mengajak anak-anak sekolah yang notabene generasi muda Bali untuk melihat perkembangan seni di Bali tidak hanya sebatas seni tradisi. “Tapi saya juga tidak bisa membayangkan, apa yang terjadi kalau tanpa anak-anak itu,” katanya.
Upaya mengajak generasi muda untuk mencintai seni modern di Bali memang membutuhkan perjuangan. Sebab maklum saja, kekuatan Bali adalah tradisi. Sedangkan teater modern itu adalah hal lain, yang digemari oleh sedikit generasi muda Bali. “Sepertinya kalau bicara Bali, ya bicara seni tradisi. Bisa jadi memang bukan tempatnya di sini seni kontemporer. Bisa jadi begitu. Tapi ibu (istri Gubernur Bali Ny Suastini Koster, Red) adalah penggemar di luar tradisi. Dia sepertinya mencoba untuk mengembangkan seni modern. ‘’Nah, apakah even ini dapat respon yang memadai, atau mungkin bisa mati dengan sendirinya,” ucapnya.
Di sisi lain, Abu Bakar mengatakan, Bali tidak memiliki aktor dan sutradara yang baik. ‘PR’ untuk mengembangkan teater modern adalah mendidik aktor dan sutradaranya. Jika memungkinkan, dia berharap beberapa sutradara Bali bisa dikirim pemerintah untuk didik atau diberikan workshop khusus supaya belajar terus menerus. “Kadang-kadang yang menjengkelkan itu, kan yang tidak sepenuhnya menjadi sutradara, umumnya hasilnya tidak bagus. Dan yang tidak bagus itu yang akan menghancurkan semangat yang lain. Dari beberapa pementasan yang saya lihat, persoalannya bukan pada pemain, tapi pada sutradaranya. Ini yang perlu digodok,” imbuhnya.
Sementara Heri Widi Anggara, salah satu seniman yang ikut dalam pentas musikalisasi puisi mengevaluasi tema Festival Seni Bali Jani yang dinilai terlalu berat. Dialektika Lokal – Global, menurutnya seolah-olah memaksakan menuju ke global. Terlepas dari hal itu, dia mengapresiasi adanya wadah untuk kesenian selain tradisi ini. “Festival ini bagus untuk memotivasi anak muda dan komunitas-komunitas seni modern. Tapi yang saya sayangkan itu pada tema. Hulu Teben, Lokal - Global, seolah-olah memaksakan menuju ke global. Padahal belum siap. Jadinya terlalu berat dengan tema. Akan tetapi bagaimana cara panitia mengelola acara, kurator, hingga gubernur yang konsen dengan membuat acara ini, kami apresiasi,” tuturnya. *ind
Komentar