Kerauhan Ida Betari Durga saat Pujawali di Pura Dalem Purwa, Pengelatan
Kadek Mestari sebelumnya kerap bermimpi tangkil ke Prajapati.
SINGARAJA, NusaBali
Ritual kerauhan menyerupai sosok Ida Batari Durga pada saat Wayonan Piodalan di Pura Dalem Purwa, Desa Adat Pengelatan, Desa Pengelatan, Kecamatan Buleleng, viral di media sosial beberapa hari terakhir. Ternyata sosok yang kerahuan Ida Betari Durga adalah seorang gadis yang masih kuliah bernama Kadek Mestari.
Gadis kelahiran 8 Maret 1997 ini, tidak menyangka bakal kerauhan menyerupai sosok Ida Betari Durga, meski sebelumnya meyakini akan ngiring menjadi salah satu sutri (seseorang yang disenangi Ida Sesuhunan dan kerap kerauhan saat Pujawali di pura,Red).
Ritual kerauhan di Pura Dalem Purwa, Desa Adat Penglatan ini viral di media sosial karena Mestari menari layaknya sosok Ida Betari Durga, mata melotot dengan lidah menjulur. Yang membuat banyak orang kagum dan percaya, karena Mestari saat kerauhan melakukan adegan kayang, badan dan tangan melengkung ke belakang hingga selutut.
Kadek Mestari yang ditemui di rumahnya di Banjar Dinas Dauh Tukad, Desa Pengelatan, mengaku sudah melihat video soal aksinya dalam ritual kerauhan di Pura Dalem Purwa. Saat melihat video-nya, dia mengaku sempat malu, terlebih banyak teman kuliahnya menanyakan kebenarannya. “Waktu itu banyak juga pamedek yang nunjuk-nujuk (ini yang kerahuan,Red). Teman-teman kuliah juga banyak yang menanyakan di Istagram. Ada yang saya jawab, ada pula yang tidak saya tanggapi,” ujarnya.
Kadek Mestari adalah anak ke-5 dari 6 bersaudara, pasangan Gede Ardika dan Wayan Suminten. Dari 6 bersaudara, hanya Mestari mampu melanjutkan sekolahnya hingga perguruan tinggi, karena keterbatasan biaya. Mestari kini tercatat sebagai mahasiswi Jurusan Destinasi Pariwisata semester VII, di Universitas Udayana. “Kalau ada upacara di rumah saya izin , tidak kuliah dulu. Hari ini saya izin tiga hari, kalau ada upacara piodalan di pura,” katanya.
Mestari mengaku tidak menyangka akan kerauhan dengan sosok Ida Betari Durga saat Wayonan Pujawali Pura Dalem Purwa. Diceritakan, sejatinya dia merasa yakin ngiring sudah dirasakan sejak hampir setahun, namun tidak tahu persis susuhan yang akan diiring. Kisahnya diawali mimpi yang berulangkali tangkil ke Pura Prajapati di Desa Adat Pengelatan. Namun mimpinya itu diabaikan karena dianggap sebagai mimpi biasa. Puncaknya, dia mengalami musibah kecelakaan lalulintas di jalan Bypass Jimbaran, Badung menuju kampus Unud. Kala itu, dia menabrak tumpukan sampah yang mendadak jatuh dari atas truk sampah, tepat di depan sepeda motornya. Beruntung dia selamat hanya mengalami luka lecet. Sejak kejadian itu, Mestari mengaku sadar untuk selalu berdoa dan rajin tangkil sembahyang setiap ada upacara keagamaan di kampung halaman. “Dalam mimpi, kecelakaan itu sebagai peringatan. Kalau saya ini masih kotor, jadi diminta malukat. Saya sampaikan pada keluarga, dan keluarga mendukung, saya untuk malukat di beberapa pura termasuk di segara (pantai,Red),” ungkapnya.
Setelah ritual malukat, dia pun kerap bermimpi lagi tangkil ke Pura Prajapati. Suatu saat dalam mimpi, Mestari mengaku melihat sosok Ida susuhunan di Pura Prajapati, dengan lidah menjulur cukup panjang. “Saya kaget, karena takut saya terbangun. Sekarang pun kalau disuruh tangkil sembahyang sendirian ke Prajapati saya tidak berani,” ujarnya sambil tertawa.
Merasa yakin ngiring, keluarga Mestari pun menghaturkan banten pejati di beberapa pura di Desa Adat Pengelatan, sebagai wujud kesiapan dan kesanggupan ngiring sebagai sutri. Nah, saat wayonan Piodalam Pura Dalem Purwa, Mestari pun berserah diri, duduk di deretan para sutri (orang-orang pilihan yang sering kerauhan saat piodalan,Red) saat Napak Ida Betara. Mestari pun kerauhan, menari seperti sosok Ida Batari Durga, hingga kemudian aksinya itu viral. “Sebelumnya, setelah malukat itu, saya bisa melihat makhluk-makhluk aneh. Kalau takut (melihat makhluk aneh,Red) tidak, cuma deg-degan saja. Tetapi sekarang sudah tidak bisa melihat lagi,” ungkapnya.
Mestari merasa ngiring sesuhunan adalah jalan hidupnya. Dia pun merasa banyak diberi jalan kemudahan begitu menghadapi masalah. Salah satunya, saat mengajukan proposal skripsi, dia sempat memohon kepada sesuhunan agar diberi kemudahan. Ternyata judul proposal yang diajukan langsung disetujui oleh dosen pembimbingnya. “Cobaan juga berat secara niskala, saya sempat didatangi makhluk yang aneh-aneh, tetapi saya pasrah dan minta sesuhunan melindungi. Dan semuanya berjalan normal,” imbuhnya.
Sementara, Bendesa Adat Pengelatan, Jero Wayan Susila yang ditemui di Pura Desa/Pura Bukit Kencana, Pengelatan, Minggu (17/11/2019) menerangkan, piodalan di Pura Dalem Purwa merupakan rangkaian piodalan setahun di Desa Adat Pengelatan, yang berlangsung pada Sasih Kalima. Piodalan itu dimulai dari Pura Dalem Purwa, pada Redite Wage Wayang, Minggu (10/11/2019), kemudian lanjut di Pura Dalem Alit, pada Some Kliwon Wayang, Senin (11/11/2019), lanjut Pura Dewa Ayu, pada Anggara Umanis Wayang, Selasa (12/11/2019), dan dilanjut Pura Bukit Kecana, pada Buda Paing Wayang, Rabu (13/11/2019). Setiap piodalan di masing-masing pura tersebut melaksanakan Wayonan. “Malamnya seperti biasa melaksanakan persembahyangan biasa. Nah wayonan itu dilaksanakan esok harinya pada sore hari. Setelah upacara wayonan selesai, malamnya dilanjutkan piodalan di pura lainnya. Terus seperti itu, sampai puncaknya di Pura Bukit. Nanti terakhir ada upacara ngelebar lagi enam hari,” terangnya.
Dijelaskan, ritual kerauhan dalam piodalan di Pura Dalem Purwa, dilaksanakan dalam prosesi Napak Linggih Ida Betara, saat wayonan. Dalam Napak Ida Betara itu, semua Sutri duduk berjajar di belakang para Jero Mangku. Para Sutri ini telah mendapat Uleman sebelumnya, karena tercatat sebagai Sutri. “Kami melestarikan yang sudah ada, wayonan dengan Napak Ida bagian dari tradisi kami yang perlu dilestarikan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, saya selalu mengingatkan agar jangan membuat-buat (seolah kerauhan,Red), karena ini tidak baik dan berbahaya. Agar yang kerauhan itu benar-benar Ida dan pare rencang Ida yang tedun upesaksi piodalan,” kata Jero Susila.
Dijelaskan, Napak Linggih tersebut bertujuan meminta petunjuk sekaligus sebagai bentuk pemberkatan terhadap pelaksanaan upacara yang sudah berlangsung. Bila ada kesalahan selama piodalan berlangsung, saat itu pula prajuru dan krama memohon maaf.*k19
Gadis kelahiran 8 Maret 1997 ini, tidak menyangka bakal kerauhan menyerupai sosok Ida Betari Durga, meski sebelumnya meyakini akan ngiring menjadi salah satu sutri (seseorang yang disenangi Ida Sesuhunan dan kerap kerauhan saat Pujawali di pura,Red).
Ritual kerauhan di Pura Dalem Purwa, Desa Adat Penglatan ini viral di media sosial karena Mestari menari layaknya sosok Ida Betari Durga, mata melotot dengan lidah menjulur. Yang membuat banyak orang kagum dan percaya, karena Mestari saat kerauhan melakukan adegan kayang, badan dan tangan melengkung ke belakang hingga selutut.
Kadek Mestari yang ditemui di rumahnya di Banjar Dinas Dauh Tukad, Desa Pengelatan, mengaku sudah melihat video soal aksinya dalam ritual kerauhan di Pura Dalem Purwa. Saat melihat video-nya, dia mengaku sempat malu, terlebih banyak teman kuliahnya menanyakan kebenarannya. “Waktu itu banyak juga pamedek yang nunjuk-nujuk (ini yang kerahuan,Red). Teman-teman kuliah juga banyak yang menanyakan di Istagram. Ada yang saya jawab, ada pula yang tidak saya tanggapi,” ujarnya.
Kadek Mestari adalah anak ke-5 dari 6 bersaudara, pasangan Gede Ardika dan Wayan Suminten. Dari 6 bersaudara, hanya Mestari mampu melanjutkan sekolahnya hingga perguruan tinggi, karena keterbatasan biaya. Mestari kini tercatat sebagai mahasiswi Jurusan Destinasi Pariwisata semester VII, di Universitas Udayana. “Kalau ada upacara di rumah saya izin , tidak kuliah dulu. Hari ini saya izin tiga hari, kalau ada upacara piodalan di pura,” katanya.
Mestari mengaku tidak menyangka akan kerauhan dengan sosok Ida Betari Durga saat Wayonan Pujawali Pura Dalem Purwa. Diceritakan, sejatinya dia merasa yakin ngiring sudah dirasakan sejak hampir setahun, namun tidak tahu persis susuhan yang akan diiring. Kisahnya diawali mimpi yang berulangkali tangkil ke Pura Prajapati di Desa Adat Pengelatan. Namun mimpinya itu diabaikan karena dianggap sebagai mimpi biasa. Puncaknya, dia mengalami musibah kecelakaan lalulintas di jalan Bypass Jimbaran, Badung menuju kampus Unud. Kala itu, dia menabrak tumpukan sampah yang mendadak jatuh dari atas truk sampah, tepat di depan sepeda motornya. Beruntung dia selamat hanya mengalami luka lecet. Sejak kejadian itu, Mestari mengaku sadar untuk selalu berdoa dan rajin tangkil sembahyang setiap ada upacara keagamaan di kampung halaman. “Dalam mimpi, kecelakaan itu sebagai peringatan. Kalau saya ini masih kotor, jadi diminta malukat. Saya sampaikan pada keluarga, dan keluarga mendukung, saya untuk malukat di beberapa pura termasuk di segara (pantai,Red),” ungkapnya.
Setelah ritual malukat, dia pun kerap bermimpi lagi tangkil ke Pura Prajapati. Suatu saat dalam mimpi, Mestari mengaku melihat sosok Ida susuhunan di Pura Prajapati, dengan lidah menjulur cukup panjang. “Saya kaget, karena takut saya terbangun. Sekarang pun kalau disuruh tangkil sembahyang sendirian ke Prajapati saya tidak berani,” ujarnya sambil tertawa.
Merasa yakin ngiring, keluarga Mestari pun menghaturkan banten pejati di beberapa pura di Desa Adat Pengelatan, sebagai wujud kesiapan dan kesanggupan ngiring sebagai sutri. Nah, saat wayonan Piodalam Pura Dalem Purwa, Mestari pun berserah diri, duduk di deretan para sutri (orang-orang pilihan yang sering kerauhan saat piodalan,Red) saat Napak Ida Betara. Mestari pun kerauhan, menari seperti sosok Ida Batari Durga, hingga kemudian aksinya itu viral. “Sebelumnya, setelah malukat itu, saya bisa melihat makhluk-makhluk aneh. Kalau takut (melihat makhluk aneh,Red) tidak, cuma deg-degan saja. Tetapi sekarang sudah tidak bisa melihat lagi,” ungkapnya.
Mestari merasa ngiring sesuhunan adalah jalan hidupnya. Dia pun merasa banyak diberi jalan kemudahan begitu menghadapi masalah. Salah satunya, saat mengajukan proposal skripsi, dia sempat memohon kepada sesuhunan agar diberi kemudahan. Ternyata judul proposal yang diajukan langsung disetujui oleh dosen pembimbingnya. “Cobaan juga berat secara niskala, saya sempat didatangi makhluk yang aneh-aneh, tetapi saya pasrah dan minta sesuhunan melindungi. Dan semuanya berjalan normal,” imbuhnya.
Sementara, Bendesa Adat Pengelatan, Jero Wayan Susila yang ditemui di Pura Desa/Pura Bukit Kencana, Pengelatan, Minggu (17/11/2019) menerangkan, piodalan di Pura Dalem Purwa merupakan rangkaian piodalan setahun di Desa Adat Pengelatan, yang berlangsung pada Sasih Kalima. Piodalan itu dimulai dari Pura Dalem Purwa, pada Redite Wage Wayang, Minggu (10/11/2019), kemudian lanjut di Pura Dalem Alit, pada Some Kliwon Wayang, Senin (11/11/2019), lanjut Pura Dewa Ayu, pada Anggara Umanis Wayang, Selasa (12/11/2019), dan dilanjut Pura Bukit Kecana, pada Buda Paing Wayang, Rabu (13/11/2019). Setiap piodalan di masing-masing pura tersebut melaksanakan Wayonan. “Malamnya seperti biasa melaksanakan persembahyangan biasa. Nah wayonan itu dilaksanakan esok harinya pada sore hari. Setelah upacara wayonan selesai, malamnya dilanjutkan piodalan di pura lainnya. Terus seperti itu, sampai puncaknya di Pura Bukit. Nanti terakhir ada upacara ngelebar lagi enam hari,” terangnya.
Dijelaskan, ritual kerauhan dalam piodalan di Pura Dalem Purwa, dilaksanakan dalam prosesi Napak Linggih Ida Betara, saat wayonan. Dalam Napak Ida Betara itu, semua Sutri duduk berjajar di belakang para Jero Mangku. Para Sutri ini telah mendapat Uleman sebelumnya, karena tercatat sebagai Sutri. “Kami melestarikan yang sudah ada, wayonan dengan Napak Ida bagian dari tradisi kami yang perlu dilestarikan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, saya selalu mengingatkan agar jangan membuat-buat (seolah kerauhan,Red), karena ini tidak baik dan berbahaya. Agar yang kerauhan itu benar-benar Ida dan pare rencang Ida yang tedun upesaksi piodalan,” kata Jero Susila.
Dijelaskan, Napak Linggih tersebut bertujuan meminta petunjuk sekaligus sebagai bentuk pemberkatan terhadap pelaksanaan upacara yang sudah berlangsung. Bila ada kesalahan selama piodalan berlangsung, saat itu pula prajuru dan krama memohon maaf.*k19
1
Komentar