Kenaikan UMP Disarankan Tak Sama Rata
Pelaku usaha menyarankan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tidak dipatok sama rata di setiap wilayah.
JAKARTA, NusaBali
Pasalnya, beberapa wilayah telah memiliki patokan upah tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Bahkan, pengusaha mengisyaratkan agar wilayah dengan upah tinggi disetop sementara kenaikannya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengungkapkan kenaikan upah secara serentak di semua wilayah dinilai membuat selisih upah yang diterima buruh semakin berjarak.
Soalnya, beberapa wilayah sudah memiliki patokan upah tinggi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam PP tersebut, formulasi kenaikan upah dihitung berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Apakah memungkinkan untuk daerah yang sudah tinggi ini, istilahnya disetop dulu kenaikannya? Atau kenaikannya tidak setinggi yang lain," sarannya, seperti dilansir cnnindonesia, Jumat (22/11).
Lebih lanjut ia mencontohkan untuk UMP sebesar Rp4 juta, kenaikannya 5 persen. "Lalu, yang masih Rp1,6 juta, mungkin boleh naik 8,5 persen," katanya.
Rosan melanjutkan jarak upah yang kelewat lebar antara wilayah dengan UMP tinggi dan UMP rendah berpotensi membuat pengusaha merelokasi kegiatan usaha mereka ke daerah dengan UMP yang lebih rendah.
Ujung-ujungnya, ia memprediksi wilayah dengan UMP tinggi akan semakin ditinggalkan pelaku usaha.
Pun demikian, Rosan menyebut formula kenaikan upah berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi sudah tepat. Dengan catatan upah antara wilayah satu dengan wilayah lainnya tidak terpaut jauh.
Sekadar mengingatkan, pemerintah mengerek UMP pada 2020 sebesar 8,51 persen. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah meminta pengusaha maupun buruh menerima kenaikan tersebut.
Menurut Ida, peraturan angka kenaikan UMP tersebut sudah mengakomodir kepentingan pengusaha dan para pekerja. "Kami berharap diterima dengan baik, oleh pengusaha maupun buruh," tandasnya.*
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengungkapkan kenaikan upah secara serentak di semua wilayah dinilai membuat selisih upah yang diterima buruh semakin berjarak.
Soalnya, beberapa wilayah sudah memiliki patokan upah tinggi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam PP tersebut, formulasi kenaikan upah dihitung berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Apakah memungkinkan untuk daerah yang sudah tinggi ini, istilahnya disetop dulu kenaikannya? Atau kenaikannya tidak setinggi yang lain," sarannya, seperti dilansir cnnindonesia, Jumat (22/11).
Lebih lanjut ia mencontohkan untuk UMP sebesar Rp4 juta, kenaikannya 5 persen. "Lalu, yang masih Rp1,6 juta, mungkin boleh naik 8,5 persen," katanya.
Rosan melanjutkan jarak upah yang kelewat lebar antara wilayah dengan UMP tinggi dan UMP rendah berpotensi membuat pengusaha merelokasi kegiatan usaha mereka ke daerah dengan UMP yang lebih rendah.
Ujung-ujungnya, ia memprediksi wilayah dengan UMP tinggi akan semakin ditinggalkan pelaku usaha.
Pun demikian, Rosan menyebut formula kenaikan upah berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi sudah tepat. Dengan catatan upah antara wilayah satu dengan wilayah lainnya tidak terpaut jauh.
Sekadar mengingatkan, pemerintah mengerek UMP pada 2020 sebesar 8,51 persen. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah meminta pengusaha maupun buruh menerima kenaikan tersebut.
Menurut Ida, peraturan angka kenaikan UMP tersebut sudah mengakomodir kepentingan pengusaha dan para pekerja. "Kami berharap diterima dengan baik, oleh pengusaha maupun buruh," tandasnya.*
1
Komentar