Rela Tinggalkan Gelimang Dolar Demi Kelola Sampah di Desa
Kisah I Wayan Wardika, Mantan Pekerja Kapal Pesiar Asal Desa Taro, Kecamatan Tegallalang
Empat kali dalam sehari, Wayan Wardika keliling desa untuk mengambil sampah warga dengan imbalan hanya Rp 30.000 per bulan. Bagi warga yang bersedia memilah sendiri sampahnya di rumah, dikasi pelayanan gratis
GIANYAR, NusaBali
Tokoh muda Banjar Taro Kaja, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, I Wayan Wardika, 41, termasuk salah satu sosok panutan yang berjasa mengembangkan pengolahan sampah di desanya. Demi mengembangkan pengolahan sampah sejak 2018, dia rela meninggalkan zona nyaman sebagai pekerja kapal pesiar yang berlimpah gemerincing dolar. Empat kali dalam sepekan, Wayan Wardika rutin keliling desa untuk menjemput sampah warga.
Setiap warga di Desa Taro yang menikmati jasa layanan sampah Wayan Wardika, hanya dibebani kewajiban membayar sebesar Rp 30.000 per bulan. Bahkan, Wayan Wardika memberi layanan jemput gratis kepada warga Desa Taro yang bersedia memilah sampahnya sendiri dalam kelompok organik dan non organik.
Wayan Wardika sendiri merupakan lulusan D4 Pariwisata Fakultas Pariwisata Unud. Dia awalnya bekerja di kapal pesiar sejak tahun 2006. Berselang 12 tahun kemudian, tepatnya pada 2018, Wardika memutuskan berhenti dari pekerjaan bergelimang dolar sebagai pekerja kapal pesiar.
Tokoh kelahiran Gianyar, 7 Juni 1978, ini pilih mewujudkan mimpinya tentang pengelolaan sampah masyarakat di Desa Taro, selain juga ingin memiliki akomodasi wisata. Wardika justru berhenti sebagai pekerja Kapal Pesiar Disney Cruise ketika kariernya sedang melejit.
“Saya tinggalkan kapal pesiar dan berkomitmen pulang kampung, demi mewujudkan mimpi membangun desa melalui pengelolaan sampah dan membangun akomodasi wisata,” ungkap Wardika saat ditemui NusaBali di tempat usaha akomodasi wisata ‘Tegal Dukuh Camp’, Desa Taro, akhir pekan lalu.
Menurut Wardika, dia sudah 12 tahun bekerja di kapal pesiar. Selama 9 tahun terakhir, dia bekerja di Kapal Pesiar Disney Cruise. “Disney Cruise ini menjadi dambaan setiap pekerja kapal pesiar, karena suasana kerja enak, duit lumayan kenceng, dan kontrak kerjanya pendek. Saya sudah masuk zona yang sangat nyaman itu. Tapi, saya rela tinggalkan zona nyaman itu demi mengabdi kepada bumi pertiwi,” terang ayah dua anak dari pernikahannya dengan Andi Ipa Kartina ini.
Wardika menyebutkan, ketika masih bekerja di kapal pesiar, setiapkali pulang kampung, dirinya suka jalan-jalan dan mandi di sungai. Dia prihatin melihat sampah plastik banyak nyangkut di sana sini. “Saya terus kepikiran, apa sih yang bisa saya lakukan? Makanya, saya putuskan pulang dan berhenti dari kapal pesiar. Saya ingin abadikan diri sekecil apa pun untuk lingkungan," kenang Wardika.
Begitu pulang dari kapal pesiar dan tiba di rumahnya kawasan Banjar Taro Kaja, Desa Taro, yang pertama kali ditata Wardika adalah kebun aren (jaka) seluas 22 are milik orangtuanya, pasangan I Ketut Suba, 80, dan Ni Wayan Nunas, 70. "Sekitar 20 tahun lalu, Nanang (sebutan untuk bapaknya, Red) yang menanam pohon aren ini. Awalnya, kayak hutan. Kemudian, hutan aren mulai saya bersihkan. Karena saking rindangnya pohon aren si sini, tanaman apa pun di bawahnya tidak bisa tumbuh. Maka, biar bermanfaat, saya jadikan kebun aren ini sebagai tempat camp (perkemahan)," katanya.
Sembari berproses membangun perkemahan, Wardika juga rutin membersihkan areal sungai menuju Air Terjun Pikat dari sampah plastik. "Belakangan, saya ketahui panjang tukad (sungai) yang saya bersihkan itu sekitar 3 kilometer."
Aksi sosialnya membersihkan sungai dari sampah plastik, bukannya menggugah warga lain untuk ikut menjaga kebersihan. Mereka justru masih ada yang membuang sampah ke sungai. "Saya sempat kecewa, karena ketika saya sibuk membersihkan sampau, justru ada warga yang buang sampah sembarangan," cerita Wardika.
Wardika pun berkali-kali mengimbau warga sekampungnya agar tidak membuang sampah sembarangan. Mereka diminta memilah sampah dari rumah, dengan memanfaatkan sampah plastik yang bisa didaur ulang dan menjadikan sampah organik sebagai kompos (pupuk organik).
Namun, imbauan Wardika tidak digubris. Dia justrtu dicibir warga. “Kalau tidak buang sampah ke sungai, lantas ke mana harus membuangnya?” teriak warga sebagaimana ditirukan Wardika. Seketika Wardika termenung dan terus berusaha mencari cara agar warga tidak buang sampah ke sungai. "Saya coba riset kecil-kecilan. Bagaimana kalau sampah warga saya kelola? Tujuan awalnya bagaimana supaya sampah tidak dibuang ke sungai," beber Wardika.
Wardika kemudian menawarkan kepada warga di Desa Taro bahwa dia akan menjemput sampah mereka setiap hari. Pada awalnya, banyak warga yang mencibir aksi sosialnya yang mirip petugas kebersihan. Apalagi, di awal dia menawarkan tarif Rp 50.000 per bulan untuk jasa jemput sampah.
"Kata warga, nominal itu terlalu mahal. Sebaliknya, saya perlu biaya untuk operasional armada dan jasa petugas pemilah sampah. Akhirnya, warga sepakat bayar jasa pelayanan jemput sampah Rp 30.000 per bulan," papar Wardika.
Pada awalnya, hanya 24 KK dari total 470 KK di Banjar Taro Kaja, Desa Taro yang mau berlangganan. Seiring berjalannya waktu, Wardika mampu meyakinkan warga sekitar soal dampak positif pemilahan sampah. Hingga November 2019 ini, sudah 177 KK warga Taro Kaja yang jadi pelanggan Wardoka untuk urusan angkut sampah.
Wardika menargetkan 5.000 KK warga Desa Tari yang berjumlah 10.883 jiwa nantinya jadi pelanggan urusan pengelolaan sampah, Ribuan KK warga tersebut tersebar di 14 banjar. Gayung pun bersambut, Wardika bertemu dengan satu komunitas peduli lingkungan dan sosial yang tergugah membantunya mengelola sampah dalam skala besar. Sekitar dua minggu lalu, dilakukan tandatangan MoU pengolahan sampah akan berada di bawah BUMDes. “Didampingi setahun, setelah itu jalan mandiri," katanya.
Program pengelolaan sampah di Desa Taro ditangani BUMDes ini rencananya akan berjalan mulai tahun 2020 depan. Nantinya, 117 KK pelanggan Wardika ototamtis akan diambil-alih BUMDes.
“Saya bercita-cita agar sampah di Desa Taro dikelola dengan baik. Saya punya rencana besar menggaet para pelanggan dari korporasi, hotel, maupun akomodasi wisata lainnya. Termasuk korporasi terdiri dari 30 hotel se-Bali, yang 11 hotel di antaranya sudah saya jangkau, antara lain, Capung Sebali dan The Kayon Resort," papar ayah dari I Wayan Agus Krisna Brahmantika, 17, dan I Made Ramananda Mahaputra, 13, ini.
Untuk memastikan sampah hotel dipilah dan diolah dengan konsep ramah lingkungan, Wardika mengundang pihak hotel untuk melihat langsung rumah komposnya di Desa Taro. Wardika sendiri menyediakan kantong sampah berbahan kain seukuran plastik polibag warna hitam, yang biasa dipakai menampung segala jenis sampah. *nvi
Setiap warga di Desa Taro yang menikmati jasa layanan sampah Wayan Wardika, hanya dibebani kewajiban membayar sebesar Rp 30.000 per bulan. Bahkan, Wayan Wardika memberi layanan jemput gratis kepada warga Desa Taro yang bersedia memilah sampahnya sendiri dalam kelompok organik dan non organik.
Wayan Wardika sendiri merupakan lulusan D4 Pariwisata Fakultas Pariwisata Unud. Dia awalnya bekerja di kapal pesiar sejak tahun 2006. Berselang 12 tahun kemudian, tepatnya pada 2018, Wardika memutuskan berhenti dari pekerjaan bergelimang dolar sebagai pekerja kapal pesiar.
Tokoh kelahiran Gianyar, 7 Juni 1978, ini pilih mewujudkan mimpinya tentang pengelolaan sampah masyarakat di Desa Taro, selain juga ingin memiliki akomodasi wisata. Wardika justru berhenti sebagai pekerja Kapal Pesiar Disney Cruise ketika kariernya sedang melejit.
“Saya tinggalkan kapal pesiar dan berkomitmen pulang kampung, demi mewujudkan mimpi membangun desa melalui pengelolaan sampah dan membangun akomodasi wisata,” ungkap Wardika saat ditemui NusaBali di tempat usaha akomodasi wisata ‘Tegal Dukuh Camp’, Desa Taro, akhir pekan lalu.
Menurut Wardika, dia sudah 12 tahun bekerja di kapal pesiar. Selama 9 tahun terakhir, dia bekerja di Kapal Pesiar Disney Cruise. “Disney Cruise ini menjadi dambaan setiap pekerja kapal pesiar, karena suasana kerja enak, duit lumayan kenceng, dan kontrak kerjanya pendek. Saya sudah masuk zona yang sangat nyaman itu. Tapi, saya rela tinggalkan zona nyaman itu demi mengabdi kepada bumi pertiwi,” terang ayah dua anak dari pernikahannya dengan Andi Ipa Kartina ini.
Wardika menyebutkan, ketika masih bekerja di kapal pesiar, setiapkali pulang kampung, dirinya suka jalan-jalan dan mandi di sungai. Dia prihatin melihat sampah plastik banyak nyangkut di sana sini. “Saya terus kepikiran, apa sih yang bisa saya lakukan? Makanya, saya putuskan pulang dan berhenti dari kapal pesiar. Saya ingin abadikan diri sekecil apa pun untuk lingkungan," kenang Wardika.
Begitu pulang dari kapal pesiar dan tiba di rumahnya kawasan Banjar Taro Kaja, Desa Taro, yang pertama kali ditata Wardika adalah kebun aren (jaka) seluas 22 are milik orangtuanya, pasangan I Ketut Suba, 80, dan Ni Wayan Nunas, 70. "Sekitar 20 tahun lalu, Nanang (sebutan untuk bapaknya, Red) yang menanam pohon aren ini. Awalnya, kayak hutan. Kemudian, hutan aren mulai saya bersihkan. Karena saking rindangnya pohon aren si sini, tanaman apa pun di bawahnya tidak bisa tumbuh. Maka, biar bermanfaat, saya jadikan kebun aren ini sebagai tempat camp (perkemahan)," katanya.
Sembari berproses membangun perkemahan, Wardika juga rutin membersihkan areal sungai menuju Air Terjun Pikat dari sampah plastik. "Belakangan, saya ketahui panjang tukad (sungai) yang saya bersihkan itu sekitar 3 kilometer."
Aksi sosialnya membersihkan sungai dari sampah plastik, bukannya menggugah warga lain untuk ikut menjaga kebersihan. Mereka justru masih ada yang membuang sampah ke sungai. "Saya sempat kecewa, karena ketika saya sibuk membersihkan sampau, justru ada warga yang buang sampah sembarangan," cerita Wardika.
Wardika pun berkali-kali mengimbau warga sekampungnya agar tidak membuang sampah sembarangan. Mereka diminta memilah sampah dari rumah, dengan memanfaatkan sampah plastik yang bisa didaur ulang dan menjadikan sampah organik sebagai kompos (pupuk organik).
Namun, imbauan Wardika tidak digubris. Dia justrtu dicibir warga. “Kalau tidak buang sampah ke sungai, lantas ke mana harus membuangnya?” teriak warga sebagaimana ditirukan Wardika. Seketika Wardika termenung dan terus berusaha mencari cara agar warga tidak buang sampah ke sungai. "Saya coba riset kecil-kecilan. Bagaimana kalau sampah warga saya kelola? Tujuan awalnya bagaimana supaya sampah tidak dibuang ke sungai," beber Wardika.
Wardika kemudian menawarkan kepada warga di Desa Taro bahwa dia akan menjemput sampah mereka setiap hari. Pada awalnya, banyak warga yang mencibir aksi sosialnya yang mirip petugas kebersihan. Apalagi, di awal dia menawarkan tarif Rp 50.000 per bulan untuk jasa jemput sampah.
"Kata warga, nominal itu terlalu mahal. Sebaliknya, saya perlu biaya untuk operasional armada dan jasa petugas pemilah sampah. Akhirnya, warga sepakat bayar jasa pelayanan jemput sampah Rp 30.000 per bulan," papar Wardika.
Pada awalnya, hanya 24 KK dari total 470 KK di Banjar Taro Kaja, Desa Taro yang mau berlangganan. Seiring berjalannya waktu, Wardika mampu meyakinkan warga sekitar soal dampak positif pemilahan sampah. Hingga November 2019 ini, sudah 177 KK warga Taro Kaja yang jadi pelanggan Wardoka untuk urusan angkut sampah.
Wardika menargetkan 5.000 KK warga Desa Tari yang berjumlah 10.883 jiwa nantinya jadi pelanggan urusan pengelolaan sampah, Ribuan KK warga tersebut tersebar di 14 banjar. Gayung pun bersambut, Wardika bertemu dengan satu komunitas peduli lingkungan dan sosial yang tergugah membantunya mengelola sampah dalam skala besar. Sekitar dua minggu lalu, dilakukan tandatangan MoU pengolahan sampah akan berada di bawah BUMDes. “Didampingi setahun, setelah itu jalan mandiri," katanya.
Program pengelolaan sampah di Desa Taro ditangani BUMDes ini rencananya akan berjalan mulai tahun 2020 depan. Nantinya, 117 KK pelanggan Wardika ototamtis akan diambil-alih BUMDes.
“Saya bercita-cita agar sampah di Desa Taro dikelola dengan baik. Saya punya rencana besar menggaet para pelanggan dari korporasi, hotel, maupun akomodasi wisata lainnya. Termasuk korporasi terdiri dari 30 hotel se-Bali, yang 11 hotel di antaranya sudah saya jangkau, antara lain, Capung Sebali dan The Kayon Resort," papar ayah dari I Wayan Agus Krisna Brahmantika, 17, dan I Made Ramananda Mahaputra, 13, ini.
Untuk memastikan sampah hotel dipilah dan diolah dengan konsep ramah lingkungan, Wardika mengundang pihak hotel untuk melihat langsung rumah komposnya di Desa Taro. Wardika sendiri menyediakan kantong sampah berbahan kain seukuran plastik polibag warna hitam, yang biasa dipakai menampung segala jenis sampah. *nvi
Komentar