Dilema Pasien Korban Kekerasan
Biaya Perawatan Tak Ditanggung BPJS
Dilema etik ini akan dibawa oleh dr Henky ke dalam seminar ‘Continuing Professional Development Ilmu Kedokteran’, Sabtu (30/11) hari ini.
DENPASAR, NusaBali
Perawatan medis untuk korban kekerasan baik KDRT maupun kekerasan anak seringkali menghadapi dilema etik ketika sudah dilaporkan. Pasalnya, biaya perawatan untuk korban kekerasan tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Keluarga pun juga mengalami dilema untuk melaporkan salah satu keluarganya, apalagi yang dilaporkan merupakan tulang punggung keluarga.
“Biaya perawatan untuk korban kekerasan ini tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Ada kasus KDRT, tidak ada yang menanggung biayanya. Lembaga perempuan dan anak juga tidak mampu sepenuhnya. Sedangkan rumah sakit terbentur pembiayaan BPJS Kesehatan. Sedangkan pelakunya, misalkan suaminya, adalah tulang punggung keluarga. Sekarang ditahan oleh penyidik, siapa yang akan membiayai kehidupan sehari-hari? Itu dilema yang kami sering temui di lapangan,” ungkap dokter forensik RSUP Sanglah, dr Henky, Jumat (29/11).
Ada juga keluarga yang mungkin ingin mengajukan fraud. Jadi, pihak keluarga yang mengalami kekerasan akan melaporkan bahwa kasusnya kecelakaan atau jatuh, sehingga bisa ditanggung BPJS Kesehatan. Akan tetapi, dokter harus jujur. Meski pengakuan keluarga akibat kecelakaan, namun kedokteran forensik yang tahu bagaimana pola luka akan memeriksa korban dengan jujur. Sehingga banyak kejadian keluarga korban akhirnya mengaku bahwa korban adalah korban kekerasan.
“Kami di forensik yang tahu bagaimana pola luka, sehingga ketahuan itu bukan kecelakaan atau jatuh, melainkan kekerasan yang disengaja. Setelah digali, barulah mengaku. Begitu dia mengaku, kami laporkan. Tapi lagi-lagi dilema, karena siapa yang akan membiayai perawatannya. Tidak ada yang nanggung,” katanya.
Dokter Henky mengungkapkan, jika melihat peraturan perudang-undangan yang ada, pelaporan tergantung pada kasusnya sendiri. Seandainya kasus kekerasan yang dialami adalah KDRT dengan korbannya orang dewasa, maka jika luka kekerasannya termasuk derajat ringan, itu masuk delik aduan. Artinya, korban sendiri yang harus melapor ke pihak berwenang.
Namun, jika derajat luka kekerasannya mencapai derajat III, dengan luka berat dan bahkan mengancam nyawa hingga mengakibatkan kematian, maka dalam UU PKDRT setiap orang wajib melaporkan. Prosedur di RSUP Sanglah adalah melalui Humas. “Namun jika subyeknya seorang anak, maka mengacu UU Perlindungan Anak, sudah jelas setiap orang wajib melaporkan kepada pihak penyidik. Tidak memandang lagi derajat luka, dan keluarga juga tidak berhak menghalang-halangi pelaporan tersebut,” tegas dr Henky.
Dilema etik ini akan dibawa oleh dr Henky ke dalam seminar ‘Continuing Professional Development Ilmu Kedokteran Forensik’ yang akan berlangsung di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Sabtu (30/11) hari ini. Dilema etik ini menjadi salah satu materi yang akan disampaikan berkaitan dengan tema ‘Clinical Forensik Medicine 101’ sebagai upaya mencari solusi atas dilema ini. Menurut dr Henky, dia menawarkan solusi agar dana CSR rumah sakit dialokasikan juga untuk biaya perawatan korban kekerasan ini. Intinya, bagaimana agar bisa berkolaborasi untuk biaya perawatan korban kekerasan.
“Di sini kita memerlukan kebijakan-kebijakan lebih lanjut untuk mengatasi masalah yang cukup pelik, sehingga kami juga mengundang direktur rumah sakit dalam seminar ini. Mungkin solusi yang saya tawarkan, adalah bisa pakai dana CSR. RS dengan profit yang cukup tinggi bisa mengalokasikan dana CSR-nya untuk membiayai perawatan korban kekerasan, sambil menunggu kebijakan yang lebih tinggi,” katanya.
Namun yang lebih penting adalah melakukan pencegahan agar tidak terjadi kekerasan. Sebab seringkali kasus ini berupa fenomena gunung es. Dalam memutus rantai setan kasus kekesaran ini, peran tenaga kesehatan terutama dokter juga penting. Pelayanan di puskesmas dan instalasi gawat darurat harus memiliki prinsip peka terhadap kasus-kasus yang diduga kekerasan baik KDRT maupun kekerasan pada anak.
Lebih lanjut dijelaskan, seminar seminar ‘Continuing Professional Development Ilmu Kedokteran Forensik’ yang akan diikuti oleh dokter umum dan perawat ini bertujuan untuk menyegarkan kembali pengetahuan dokter dan perawat dalam memberikan penanganan medical kepada korban hidup yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Sekaligus, seminar ini juga bertujuan untuk memperkenalkan bahwa kedokteran forensik tak hanya berperan dalam menangani jenazah, namun juga korban hidup yang mengalami kasus kekerasan.
“Seminar ini untuk menyegarkan pengetahuan dokter dan perawat dalam memberikan penanganan medical korban hidup yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual, seperti kasus KDRT, kekerasan anak anak. Tujuan lainnya adalah mengasah keterampilan para dokter untuk membuat visum et repertum korban hidup sesuai dengan fungsinya, serta meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan korban, baik yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual di sarana pelayanan kesehatan,” tandasnya, sembari mengatakan dalam acara tersebut juga akan dilakukan pelantikan Pengurus Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Cabang Bali Nusra Periode 2019-2022. *ind
“Biaya perawatan untuk korban kekerasan ini tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Ada kasus KDRT, tidak ada yang menanggung biayanya. Lembaga perempuan dan anak juga tidak mampu sepenuhnya. Sedangkan rumah sakit terbentur pembiayaan BPJS Kesehatan. Sedangkan pelakunya, misalkan suaminya, adalah tulang punggung keluarga. Sekarang ditahan oleh penyidik, siapa yang akan membiayai kehidupan sehari-hari? Itu dilema yang kami sering temui di lapangan,” ungkap dokter forensik RSUP Sanglah, dr Henky, Jumat (29/11).
Ada juga keluarga yang mungkin ingin mengajukan fraud. Jadi, pihak keluarga yang mengalami kekerasan akan melaporkan bahwa kasusnya kecelakaan atau jatuh, sehingga bisa ditanggung BPJS Kesehatan. Akan tetapi, dokter harus jujur. Meski pengakuan keluarga akibat kecelakaan, namun kedokteran forensik yang tahu bagaimana pola luka akan memeriksa korban dengan jujur. Sehingga banyak kejadian keluarga korban akhirnya mengaku bahwa korban adalah korban kekerasan.
“Kami di forensik yang tahu bagaimana pola luka, sehingga ketahuan itu bukan kecelakaan atau jatuh, melainkan kekerasan yang disengaja. Setelah digali, barulah mengaku. Begitu dia mengaku, kami laporkan. Tapi lagi-lagi dilema, karena siapa yang akan membiayai perawatannya. Tidak ada yang nanggung,” katanya.
Dokter Henky mengungkapkan, jika melihat peraturan perudang-undangan yang ada, pelaporan tergantung pada kasusnya sendiri. Seandainya kasus kekerasan yang dialami adalah KDRT dengan korbannya orang dewasa, maka jika luka kekerasannya termasuk derajat ringan, itu masuk delik aduan. Artinya, korban sendiri yang harus melapor ke pihak berwenang.
Namun, jika derajat luka kekerasannya mencapai derajat III, dengan luka berat dan bahkan mengancam nyawa hingga mengakibatkan kematian, maka dalam UU PKDRT setiap orang wajib melaporkan. Prosedur di RSUP Sanglah adalah melalui Humas. “Namun jika subyeknya seorang anak, maka mengacu UU Perlindungan Anak, sudah jelas setiap orang wajib melaporkan kepada pihak penyidik. Tidak memandang lagi derajat luka, dan keluarga juga tidak berhak menghalang-halangi pelaporan tersebut,” tegas dr Henky.
Dilema etik ini akan dibawa oleh dr Henky ke dalam seminar ‘Continuing Professional Development Ilmu Kedokteran Forensik’ yang akan berlangsung di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Sabtu (30/11) hari ini. Dilema etik ini menjadi salah satu materi yang akan disampaikan berkaitan dengan tema ‘Clinical Forensik Medicine 101’ sebagai upaya mencari solusi atas dilema ini. Menurut dr Henky, dia menawarkan solusi agar dana CSR rumah sakit dialokasikan juga untuk biaya perawatan korban kekerasan ini. Intinya, bagaimana agar bisa berkolaborasi untuk biaya perawatan korban kekerasan.
“Di sini kita memerlukan kebijakan-kebijakan lebih lanjut untuk mengatasi masalah yang cukup pelik, sehingga kami juga mengundang direktur rumah sakit dalam seminar ini. Mungkin solusi yang saya tawarkan, adalah bisa pakai dana CSR. RS dengan profit yang cukup tinggi bisa mengalokasikan dana CSR-nya untuk membiayai perawatan korban kekerasan, sambil menunggu kebijakan yang lebih tinggi,” katanya.
Namun yang lebih penting adalah melakukan pencegahan agar tidak terjadi kekerasan. Sebab seringkali kasus ini berupa fenomena gunung es. Dalam memutus rantai setan kasus kekesaran ini, peran tenaga kesehatan terutama dokter juga penting. Pelayanan di puskesmas dan instalasi gawat darurat harus memiliki prinsip peka terhadap kasus-kasus yang diduga kekerasan baik KDRT maupun kekerasan pada anak.
Lebih lanjut dijelaskan, seminar seminar ‘Continuing Professional Development Ilmu Kedokteran Forensik’ yang akan diikuti oleh dokter umum dan perawat ini bertujuan untuk menyegarkan kembali pengetahuan dokter dan perawat dalam memberikan penanganan medical kepada korban hidup yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Sekaligus, seminar ini juga bertujuan untuk memperkenalkan bahwa kedokteran forensik tak hanya berperan dalam menangani jenazah, namun juga korban hidup yang mengalami kasus kekerasan.
“Seminar ini untuk menyegarkan pengetahuan dokter dan perawat dalam memberikan penanganan medical korban hidup yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual, seperti kasus KDRT, kekerasan anak anak. Tujuan lainnya adalah mengasah keterampilan para dokter untuk membuat visum et repertum korban hidup sesuai dengan fungsinya, serta meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan korban, baik yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual di sarana pelayanan kesehatan,” tandasnya, sembari mengatakan dalam acara tersebut juga akan dilakukan pelantikan Pengurus Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Cabang Bali Nusra Periode 2019-2022. *ind
1
Komentar