Bakat Alam Manusia Bali
KETIKA Hari Guru pekan lalu, Mendikbud Nadiem Makarim berpidato tentang nasib guru yang lebih sibuk mengurus administrasi, laporan birokratif, sampai kurang waktu mengurus anak didik.
Menteri juga menyinggung nasib guru yang harus mendidik secara seragam di tengah anak-anak yang punya kemampuan dan bakat yang beraneka ragam. Tentu banyak guru yang melihat kelebihan dan perbedaan seorang anak didik, namun tidak bisa dikembangkan, karena keseragaman mengalahkan keberagaman.
Kemampuan yang dibawa seseorang sejak lahir, berbeda satu sama lain, sering disebut sebagai bakat alam. Bawaan ini semestinya disyukuri, karena kalau dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan mulia bisa menjadi ciri khas pribadi, jati diri, yang membanggakan. Karena itu, bakat alam haruslah digali, terus menerus diupayakan, sehingga seseorang bisa tampil maksimal dalam hidupnya. Jika tak digubris, dibiarkan terbengkalai, bakat alam itu dijuluki sebagai bakat terpendam.
Lalu, seperti apa bakat alam manusia Bali? Apakah orang Bali punya beraneka bakat, atau cuma satu? Apakah mereka punya bakat sebagai pedagang? Sebagai birokrat? Politikus? Ilmuwan? Ahli teknik atau olahragawan? Atau jangan-jangan orang Bali cuma punya satu bakat: sebagai seniman. Artinya, jika manusia Bali sudi menekuni dan mengembangkan diri dalam bidang kesenian, kemungkinan besar mereka unggul, dan menuai sukses.
Dunia mengenal orang Bali terdepan dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan atau kesenian. Sebagai seniman, manusia Bali sangat dihargai, dipuji-puji. Berkat kesenian jua orang Bali sangat dihormati. Di mana-mana orang mengakui, kalau sudah menyangkut urusan berkesenian, manusia Bali itu tiada duanya. Bakat mereka di bidang kesenian luar biasa.
Di Bali, dulu kala, kesenian tidak pernah ditekuni sebagai profesi, karena sehari-hari mereka berkesenian. Kehidupan itu sendiri adalah kesenian. Tentu tidak keliru jika muncul komentar, bakat alam manusia Bali adalah seni. Mereka sejak di kandungan bunda, lahir, sudah berpembawaan seni. Pendek kata, soal berkesenian, jangan main-main dengan orang Bali. Seperti halnya acap muncul kesan, kalau urusan berdagang, janganlah coba-coba menandingi kecerdikan orang China.
Jika bakat alam manusia Bali berkesenian, tentu lucu jika semua orang Bali jadi seniman. Mereka juga harus tampil sebagai pedagang, politikus, birokrat, ilmuwan. Artinya, jika orang Bali ingin unggul, mereka harus memanfaatkan dan bersiasat bersama seni. Sayangnya, kesenian, sejak lama, di Bali, acap kali selalu dikaitkan dengan seni pertunjukan, seni kriya, atau seni yang berhubungan dengan kegiatan adat dan agama. Karena seni di Bali tumbuh seirama dengan kegiatan keagamaan, dulu, jarang seni dihayati dan diarahkan untuk tujuan profesi. Di Bali, dulu, terasa ganjil jika seniman dibayar. Tak heran jika kemudian tidak ada orangtua merestui anaknya jadi seniman. Mereka menganggap hasil menjadi penari, pelukis, sastrawan, penyanyi yang mengalunkan kidung atau kekawin, tak mencukupi untuk hidup.
Mungkin itu sebabnya, bakat alam manusia Bali di bidang seni menjadi sesuatu yang mengalir begitu saja, kurang dimanfaatkan semestinya. Padahal di zaman modern kini, bakat alam seni berperan besar. Jika manusia Bali sudi menekuni seni arsitektur, tentu bisa jadi arsitek besar, bukan cuma undagi yang mengerjakan bangunan Bali. Seorang Bali dengan bakat besar sebagai pelukis bisa mengembangkan diri jadi pembuat gambar animasi. Mereka bisa menekuni seni desain grafis, tata panggung, dalam industri pop dan hiburan.
Sekarang, sekolah tinggi informatika sedang digandrungi anak muda Bali. Banyak orangtua menganggap, komputer adalah masa depan dunia, sehingga mereka mendorong anak-anaknya menimba ilmu di perguruan tinggi teknologi informasi. Di bidang ini manusia Bali akan unggul jika mengembangkan bakat alam mereka dengan menciptakan program-program yang berkaitan dengan seni grafis. Ilmu ekonomi, statistik, matematik, membutuhkan sentuhan seni lewat penuangan kreativitas membuat grafik atau chart untuk memudahkan presentasi. Dunia kedokteran, otomotif, mesin, membutuhkan cita rasa seni dan ergonomi. Di sini bakat alam manusia Bali bisa berperan tanpa mereka harus jadi ahli mesin atau dokter.
Bakat seni itu bermanfaat besar dalam pemasaran barang lewat iklan yang membutuhkan orang-orang cakap dan berbakat di bidang sastra, untuk menyusun kalimat-kalimat menggugah daya beli. Dalam gemerlap dunia fashion, misalnya, orang Bali tentu lebih pas kalau menjadi perancang mode tinimbang menjual kain. Atau, lebih jitu jadi pelukis dibanding menjual kanvas, cat, atau pigura. Dalam industri perumahan, lebih cocok sebagai perencana, arsitek, tinimbang jadi pemborong atau pedagang bahan bangunan. Rumah yang nyaman, indah, seni, anggun, harganya mahal, tentu punya keunggulan karena digarap oleh arsitek dengan bakat alam seni, misalnya.
Tapi, jika manusia Bali terlanjur jadi birokrat, jadi jenderal, sebagai direktur bank, dokter, atau rektor, apakah bakat alam seni yang dibawa sejak dalam kandungan itu masih punya arti? Kenapa tidak? Bukankah ada istilah seni memimpin? Untuk menyentuh perasaan seseorang, kelompok, masyarakat yang dipimpin, butuh seni berbicara, seni bertindak, seni berperilaku, sehingga si pemimpin tampil penuh pesona. Seorang dokter penting memiliki seni berkomunikasi demi membangkitkan semangat pasien untuk sembuh, tanpa menyepelekan penyakit yang dideritanya.
Jika orang Bali jadi politikus, ilmuwan, pedagang, prajurit, niscaya mereka akan unggul kalau memanfaatkan bakat alam seni untuk berkarir dan berprestasi. Dalam ilmu bela diri dikenal seni berkelit, seni menyerang, sehingga lawan terkecoh, ibarat memainkan bidak-bidak di atas papan catur. Pertarungan pun, seperti dalam kungfu, tampil menjadi keindahan, sebuah pergelaran seni.
Sayangnya, zaman yang serba praktis dan teknis acap kali menelantarkan bakat alam, sehingga sifat dasar, pembawaan, terbengkalai.
Keluhan tentang betapa masyarakat masa kini tumpul rasa, cepat terlibat dalam amuk dan kekerasan, adalah satu contoh betapa bakat alam seni, yang bersumber pada hati nurani, diabaikan. Maka bersyukurlah manusia Bali yang tidak membiarkan bakat alam seni mereka terpendam. Dan terus menerus mengasahnya. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar