Darma Putra Inovasi Daun Ental Jadi Wayang
Varian baru dalam dunia pewayangan coba diketengahkan oleh I Gusti Made Darma Putra, mahasiswa semester akhir Jurusan Pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
DENPASAR, NusaBali
Jika biasanya wayang terbuat dari kulit sapi, begitu juga wayang golek dari kayu, dan wayang suket dari rumput, kini dia mencoba menciptakan wayang yang terbuat dari daun ental.
Wayang ental ini merupakan karya tugas akhir yang dipentaskan di Gedung Natya Mandala kampus setempat pada Selasa (26/7) malam. Di hadapan penonton dan tim penguji, Darma Putra dengan apik membawakan lakon ‘Purusadha Santa’ menceritakan takluknya raksasa Purusadha di hadapan Raja Sutasoma.
Darma Putra menuturkan, sejatinya wayang ental terinspirasi dari fungsi ental sebagai bagian utama dari diri dalang. “Semua karya sastra tergores di dalam ental. Karya sastra itu kemudian dipelajari oleh sang dalang. Artinya satu kesatuan antara wayang dan ental itu tidak bisa dipisahkan. Tapi sejauh ini belum ada yang memvisualkan ental itu ke dalam wayang,” ungkapnya saat ditemui usai pentas.
Lanjutnya, wayang ental ini dianggap memiliki keistimewaan. Dari segi bentuk, sekilas tak ada yang berbeda, tetap sama dengan khasanah wayang Bali. Namun dari wayang ini dirajut sedemikian rupa dengan dua ulatan yakni ulatan sumpe dan ulatan Jepang. Ulatan sumpe dipakai untuk wayang tokoh, sedangkan ulatan Jepang digunakan untuk punakawan. “Dua ulatan ini memang susah, karena membutuhkan orang yang punya keahlian khusus untuk membuatnya. Tidak sembarang orang bisa membuat,” katanya.
Total ada 8 wayang yang dipentaskan yakni tokoh Sutasoma, Purusadha dan Dasabahu. Sedangkan punakawan, masing-masing, Mredah, Delem, Sangut, dan Tualen serta satu buah kayonan. Lama pembuatan kata Darma Putra, tergantung jenis ulatannya. Satu wayang dengan ulatan sumpe selesai dalam waktu dua minggu. Sedangkan dengan ulatan Jepang bisa diselesaikan dalam satu minggu.
Selain dari segi wayang yang diinovasi dengan berbahan ental, garapan yang disajikan kemarin juga diinovasi. Tanpa kelir (kain putih yang digunakan sebagai layar), sang dalang dengan apik membawakan cerita sembari menggerakan wayang sesuai alur cerita. Selain ngewayang, garapan juga ditambahkan dengan tarian yang mendukung alur ceritanya. Hal ini bertujuan untuk menyuguhkan sesuatu yang baru dalam pementasan wayang, sehingga menarik perhatian penonton. “Inovatif karena disisipkan tarian dan wayang tradisi dipadukan agar lebih menarik. Jadi prinsip sata tidak ingin meninggalkan tradisi, namun saya mengajak tradisi itu untuk berinovasi,” tuturnya.
Tentunya, dengan membawakan wayang ental dia berharap anak muda makin banyak mencintai dunia wayang sebab di era sekarang kesenian wayang sudah mulai kurang diminati. Munculnya Wayang Cenk Blonk diakui sudah menunjukkan perkembangan wayang. “Setelah ujian ini saya akan mengembangkan lagi garapan ini, sebab pasti banyak ada kekurangan. Tugas Akhir ini saya anggap sebagai tugas awal sesungguhnya dalam berkesenian,” tandasnya. * i
Jika biasanya wayang terbuat dari kulit sapi, begitu juga wayang golek dari kayu, dan wayang suket dari rumput, kini dia mencoba menciptakan wayang yang terbuat dari daun ental.
Wayang ental ini merupakan karya tugas akhir yang dipentaskan di Gedung Natya Mandala kampus setempat pada Selasa (26/7) malam. Di hadapan penonton dan tim penguji, Darma Putra dengan apik membawakan lakon ‘Purusadha Santa’ menceritakan takluknya raksasa Purusadha di hadapan Raja Sutasoma.
Darma Putra menuturkan, sejatinya wayang ental terinspirasi dari fungsi ental sebagai bagian utama dari diri dalang. “Semua karya sastra tergores di dalam ental. Karya sastra itu kemudian dipelajari oleh sang dalang. Artinya satu kesatuan antara wayang dan ental itu tidak bisa dipisahkan. Tapi sejauh ini belum ada yang memvisualkan ental itu ke dalam wayang,” ungkapnya saat ditemui usai pentas.
Lanjutnya, wayang ental ini dianggap memiliki keistimewaan. Dari segi bentuk, sekilas tak ada yang berbeda, tetap sama dengan khasanah wayang Bali. Namun dari wayang ini dirajut sedemikian rupa dengan dua ulatan yakni ulatan sumpe dan ulatan Jepang. Ulatan sumpe dipakai untuk wayang tokoh, sedangkan ulatan Jepang digunakan untuk punakawan. “Dua ulatan ini memang susah, karena membutuhkan orang yang punya keahlian khusus untuk membuatnya. Tidak sembarang orang bisa membuat,” katanya.
Total ada 8 wayang yang dipentaskan yakni tokoh Sutasoma, Purusadha dan Dasabahu. Sedangkan punakawan, masing-masing, Mredah, Delem, Sangut, dan Tualen serta satu buah kayonan. Lama pembuatan kata Darma Putra, tergantung jenis ulatannya. Satu wayang dengan ulatan sumpe selesai dalam waktu dua minggu. Sedangkan dengan ulatan Jepang bisa diselesaikan dalam satu minggu.
Selain dari segi wayang yang diinovasi dengan berbahan ental, garapan yang disajikan kemarin juga diinovasi. Tanpa kelir (kain putih yang digunakan sebagai layar), sang dalang dengan apik membawakan cerita sembari menggerakan wayang sesuai alur cerita. Selain ngewayang, garapan juga ditambahkan dengan tarian yang mendukung alur ceritanya. Hal ini bertujuan untuk menyuguhkan sesuatu yang baru dalam pementasan wayang, sehingga menarik perhatian penonton. “Inovatif karena disisipkan tarian dan wayang tradisi dipadukan agar lebih menarik. Jadi prinsip sata tidak ingin meninggalkan tradisi, namun saya mengajak tradisi itu untuk berinovasi,” tuturnya.
Tentunya, dengan membawakan wayang ental dia berharap anak muda makin banyak mencintai dunia wayang sebab di era sekarang kesenian wayang sudah mulai kurang diminati. Munculnya Wayang Cenk Blonk diakui sudah menunjukkan perkembangan wayang. “Setelah ujian ini saya akan mengembangkan lagi garapan ini, sebab pasti banyak ada kekurangan. Tugas Akhir ini saya anggap sebagai tugas awal sesungguhnya dalam berkesenian,” tandasnya. * i
1
Komentar