Restorasi Kali Ini Pertahankan Bentuk Asli Warisan Abad ke-9
Pura Agung Menasa di Desa Adat Sinabun, Kecamatan Sawan, Buleleng Kembali Direstorasi
Pura Agung Menasa diempun krama dari tiga desa adat wilayah kecamatan berbeda di Buleleng, yakni Desa Adat Sinabun (Kecamatan Sawan), Desa Adat Suwug (Kecamatan Sawan), dan Desa Adat Bengkala (Kecamatan Kubutambahan)
SINGARAJA, NusaBali
Pura Agung Menasa di Banjar Menasa, Desa Sinabun, Kecamatan Sawan, Buleleng termasuk salah satu pura tua warisan abad ke-9. Pura yang diempon tiga desa adat ini kini sedang direnovasi, denga tetap memperatahkan bentuk aslinya sejak abad ke-9.
Tiga desa adat yang ngempon Pura Agung Menasa ini tersebar di dua kecamawan wilayah Buleleng. Rinciannya, Desa Adat Sinabun (Desa Sinabun, Kecamatan Sawan), Desa Adat Suwug (Desa Suwug, Kecamatan Sawan), dan Desa Adat Bengkala (Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan).
Menurut Ketua Panitia Restorasi Pura Agung Menasa, Putu Wahyu Pertama, 43, tiga desa adat wilayah Buleleng Timur ini memiliki keterikatan asal-usul leluhur di zaman silam. Mitos yang berkembang, daerah sekitar Pura Agung Menasa dulunya sempat diserang pasukan semut merah. Itu sebabnya, sebagian penduduk pilih hijrah ke Desa Suwug dan Desa Bengkala.
“Keterikatan garis keturunan itu masih bertahan higga sekarang, dengan keberadaan Pura Agung Menasa. Ketiga desa adat ini ngempon bersama Pura Agung Menasa,” ungkap Putu Wahyu Pertama saat ditemui NuaBali di areal Pura Agung Menasa, Desa Adat Sinabun, Rabu (4/12) lalu.
Putu Wahyu menyebutkan, namanya juga pura tua, beberapa bagian Pura Agung Menasa sudah dalam kondisi rapuh, sehingga kini dilakukan restorasi. Namun, dalam restorasi ini, krama pangempon hanya memperbaiki dan mengembalikan bangunan yang sudah rapuh di bagian pagar dan paduraksa yang keropos. Sementara bentuk dan arsitektur bangunan kuno tetap dilestarikan.
Berdasarkan catatan Desa Adat Sinabun, kata Putu Wahyu, perbaikan Pura Agung Menasa kali ini merupakan restorasi kelima yang pernah dilakukan. Restorasi pertama kali tercatat dilakukan tahun 1922-1923, di mana data tahunnya terpahat berhuruf Latin pada paduraksa sisi kiri. Habis itu, Pura Agung Menasa sempat direstorasi lagi pada 1976 dan 1984.
Perbaikan pura pertama tahun 1922-1923 diperkirakan dilakukan oleh penjajah Belanda, karena huruf yang dipahat menggunakan huruf Latin dan ejaan lama. Kuat diduga ada unsur politis Belanda di bagian atas paduraksa. Pasalnya, ujung atas bangunan terlihat jelas memiliki puncak berbentuk mahkota raja.
“Kalau dari beberapa kali tim ahli datang ke sini, diprediksi bangunan asli padukara hanya dari bagian tengah ke bawah. Kalau yang bagian atas mungkin dulu pernah rusak dan kemudian diganti bangunan baru, sehingga berisi mahkota di atasnya, yang memperlihatkan unsur sentuhan Belanda,” ucap Putu Wahyu, yang juga menjabat Ketua Saba Desa Adat Sinabun.
Meski demikian, paduraksa menuju Mandala Utama Pura Agung Menasa memiliki ciri khas. Bentuk ukirannya adalah khas Buleleng. Hal tersebut dilihat dari segi bentuk ukiran yang besar-besar, menyerupai bentuk daun dan bunga semangka yang merambat.
Ukiran di paduraksa Pura Agung Menasa pun banyak menyimpan relief unik. Ukiran Boma di bagian tengah atas paduraksa, tidak seperti ukiran umumnya. Ukiran Boma itu tidak simeteris dan menghadap ke depan, melainkan seperti menengok ke arah kiri. Keunikan relief paduraksa Pura Agung Menasa juga terlihat pada pahatan bentuk bintang, seperti cicak, kadal, burung, hingga kuda terbang.
Keunikan lainnya yang nampak mencolok adalah warna batu paras yang digunakan seba-gai tembok penyengker pura. Setelah dibongkar dan dibersihkan untuk dipasang kembali, batu paras tembok penyengker ini ternyata memiliki 9 warna berbeda. “Awalnya karena sudah lama dibersihkan dan digosok kembali, ternyata batu paras itu warna-warni,” tandas Putu Wahyu.
Putu Wahyu pun meyakini ukiran di paduraksa Pura Agung Menasa memang ukiran asli, bukan merupakan bagian dari restorasi yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Pintu kayu yang terpasang di tengah-tengah paduraksa juga tidak kalah menarik. Pintu kayu ini ditaksir berusia ratusan tahun, karena engesel pintunya menjadi satu dengan tembok paduraksa yang berbahan batu paras.
Sementara, dalam ukiran di paduraksa bagian sisi kanan dan kiri, terdapat ukiran Sing-hamandawa (singa bersayap). Meski belum diketahui pasti arti ukiran tersebut, namun disebut-sebut hal ini ada hubungannya dengan Kerajaan Singhamandawa yang berjaya sebelum kedatangan Mpu Kuturan ke Bali.
Menurut Putu Wahyu, hal tersebut dikuatkan dengan tatanan bangunan di Mandala Utama Pura Agung Menasa, dengan palinggih utamanya berupa Arca Ganaphati dan Linggayoni. Meski ada beberapa Palinggih Gedong, namun tak ada Palinggih Surya (Padmasana) di Pura Agung Menasa. Palinggih Padmasana merupakan ciri dari perkembangan Agama Hindu pasca kedatangan Mpu Kuturan.
Status Pura Agung Menasa sebagai pura tua juga dibuktikan dengan keberadaan bebaturan berupa punden berundak dan dolmen berbahan batu cadas di hulu palinggih utama. Babaturan tersebyt masih dipertahankan sampai saat ini.
“Para tetua kami sejak dulu memang komitemen mempertahankan apa yang sudah ada dan apa yang menjadi keyakinan kami. Hingga saat ini, proses restorasi Pura Agung Menasa masih mempertahankan bentuk aslinya, karena ini merupakan kekayaan kami di Banjar Menasa,” jelas Putu Wahyu.
Dalam proses restorasi Pura Agung Menasa, juga ditemukan pecahan keramik dan paras bertuliskan huruf Latin dan Bahasa Pali, yang terdiri dari tiga bagian. Keramik dan paras bertuliskan Bahasa Pali ini ditemukan di bawah tanah pada kedalaman 1,5 meter
Menurut Putu Wahyu, tulisan Bahasa Pali dalam paras itu berbunyi ‘Namo Tassa Arahato Samma Sambuddhassa’. Penggunaan Bahasa Pali ini menjadi indikasi kalau Pura Agung Menasa dibangun pada masa Kerajaan Hindu-Budda.
Sementara itu, Kasi Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Buleleng, Kadek Widiastra, mengatakan restorasi oleh krama pangempon Pura Agung Menasa sudah sesuai dengan upaya pelestraian cagar budaya yang dilakukan pemerintah. Pura Agung Menasa ini sudah masuk dalam register objek cagar budaya di Buleleng. *k23
Tiga desa adat yang ngempon Pura Agung Menasa ini tersebar di dua kecamawan wilayah Buleleng. Rinciannya, Desa Adat Sinabun (Desa Sinabun, Kecamatan Sawan), Desa Adat Suwug (Desa Suwug, Kecamatan Sawan), dan Desa Adat Bengkala (Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan).
Menurut Ketua Panitia Restorasi Pura Agung Menasa, Putu Wahyu Pertama, 43, tiga desa adat wilayah Buleleng Timur ini memiliki keterikatan asal-usul leluhur di zaman silam. Mitos yang berkembang, daerah sekitar Pura Agung Menasa dulunya sempat diserang pasukan semut merah. Itu sebabnya, sebagian penduduk pilih hijrah ke Desa Suwug dan Desa Bengkala.
“Keterikatan garis keturunan itu masih bertahan higga sekarang, dengan keberadaan Pura Agung Menasa. Ketiga desa adat ini ngempon bersama Pura Agung Menasa,” ungkap Putu Wahyu Pertama saat ditemui NuaBali di areal Pura Agung Menasa, Desa Adat Sinabun, Rabu (4/12) lalu.
Putu Wahyu menyebutkan, namanya juga pura tua, beberapa bagian Pura Agung Menasa sudah dalam kondisi rapuh, sehingga kini dilakukan restorasi. Namun, dalam restorasi ini, krama pangempon hanya memperbaiki dan mengembalikan bangunan yang sudah rapuh di bagian pagar dan paduraksa yang keropos. Sementara bentuk dan arsitektur bangunan kuno tetap dilestarikan.
Berdasarkan catatan Desa Adat Sinabun, kata Putu Wahyu, perbaikan Pura Agung Menasa kali ini merupakan restorasi kelima yang pernah dilakukan. Restorasi pertama kali tercatat dilakukan tahun 1922-1923, di mana data tahunnya terpahat berhuruf Latin pada paduraksa sisi kiri. Habis itu, Pura Agung Menasa sempat direstorasi lagi pada 1976 dan 1984.
Perbaikan pura pertama tahun 1922-1923 diperkirakan dilakukan oleh penjajah Belanda, karena huruf yang dipahat menggunakan huruf Latin dan ejaan lama. Kuat diduga ada unsur politis Belanda di bagian atas paduraksa. Pasalnya, ujung atas bangunan terlihat jelas memiliki puncak berbentuk mahkota raja.
“Kalau dari beberapa kali tim ahli datang ke sini, diprediksi bangunan asli padukara hanya dari bagian tengah ke bawah. Kalau yang bagian atas mungkin dulu pernah rusak dan kemudian diganti bangunan baru, sehingga berisi mahkota di atasnya, yang memperlihatkan unsur sentuhan Belanda,” ucap Putu Wahyu, yang juga menjabat Ketua Saba Desa Adat Sinabun.
Meski demikian, paduraksa menuju Mandala Utama Pura Agung Menasa memiliki ciri khas. Bentuk ukirannya adalah khas Buleleng. Hal tersebut dilihat dari segi bentuk ukiran yang besar-besar, menyerupai bentuk daun dan bunga semangka yang merambat.
Ukiran di paduraksa Pura Agung Menasa pun banyak menyimpan relief unik. Ukiran Boma di bagian tengah atas paduraksa, tidak seperti ukiran umumnya. Ukiran Boma itu tidak simeteris dan menghadap ke depan, melainkan seperti menengok ke arah kiri. Keunikan relief paduraksa Pura Agung Menasa juga terlihat pada pahatan bentuk bintang, seperti cicak, kadal, burung, hingga kuda terbang.
Keunikan lainnya yang nampak mencolok adalah warna batu paras yang digunakan seba-gai tembok penyengker pura. Setelah dibongkar dan dibersihkan untuk dipasang kembali, batu paras tembok penyengker ini ternyata memiliki 9 warna berbeda. “Awalnya karena sudah lama dibersihkan dan digosok kembali, ternyata batu paras itu warna-warni,” tandas Putu Wahyu.
Putu Wahyu pun meyakini ukiran di paduraksa Pura Agung Menasa memang ukiran asli, bukan merupakan bagian dari restorasi yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Pintu kayu yang terpasang di tengah-tengah paduraksa juga tidak kalah menarik. Pintu kayu ini ditaksir berusia ratusan tahun, karena engesel pintunya menjadi satu dengan tembok paduraksa yang berbahan batu paras.
Sementara, dalam ukiran di paduraksa bagian sisi kanan dan kiri, terdapat ukiran Sing-hamandawa (singa bersayap). Meski belum diketahui pasti arti ukiran tersebut, namun disebut-sebut hal ini ada hubungannya dengan Kerajaan Singhamandawa yang berjaya sebelum kedatangan Mpu Kuturan ke Bali.
Menurut Putu Wahyu, hal tersebut dikuatkan dengan tatanan bangunan di Mandala Utama Pura Agung Menasa, dengan palinggih utamanya berupa Arca Ganaphati dan Linggayoni. Meski ada beberapa Palinggih Gedong, namun tak ada Palinggih Surya (Padmasana) di Pura Agung Menasa. Palinggih Padmasana merupakan ciri dari perkembangan Agama Hindu pasca kedatangan Mpu Kuturan.
Status Pura Agung Menasa sebagai pura tua juga dibuktikan dengan keberadaan bebaturan berupa punden berundak dan dolmen berbahan batu cadas di hulu palinggih utama. Babaturan tersebyt masih dipertahankan sampai saat ini.
“Para tetua kami sejak dulu memang komitemen mempertahankan apa yang sudah ada dan apa yang menjadi keyakinan kami. Hingga saat ini, proses restorasi Pura Agung Menasa masih mempertahankan bentuk aslinya, karena ini merupakan kekayaan kami di Banjar Menasa,” jelas Putu Wahyu.
Dalam proses restorasi Pura Agung Menasa, juga ditemukan pecahan keramik dan paras bertuliskan huruf Latin dan Bahasa Pali, yang terdiri dari tiga bagian. Keramik dan paras bertuliskan Bahasa Pali ini ditemukan di bawah tanah pada kedalaman 1,5 meter
Menurut Putu Wahyu, tulisan Bahasa Pali dalam paras itu berbunyi ‘Namo Tassa Arahato Samma Sambuddhassa’. Penggunaan Bahasa Pali ini menjadi indikasi kalau Pura Agung Menasa dibangun pada masa Kerajaan Hindu-Budda.
Sementara itu, Kasi Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Buleleng, Kadek Widiastra, mengatakan restorasi oleh krama pangempon Pura Agung Menasa sudah sesuai dengan upaya pelestraian cagar budaya yang dilakukan pemerintah. Pura Agung Menasa ini sudah masuk dalam register objek cagar budaya di Buleleng. *k23
Komentar