Mamunjung, Tradisi ‘Makan Bersama’ di Kuburan Masyarakat Singaraja
Tradisi mamunjung adalah tradisi melakukan persembahyangan bagi leluhur yang sudah meninggal di setra atau kuburan.
SINGARAJA, NusaBali.com
Perayaan Hari Raya Pagerwesi di Singaraja tak hanya terasa berbeda karena perayaannya yang lebih meriah dibandingkan di daerah lain di Bali. Di Hari Pagerwesi yang jatuh pada Rabu (11/12/2019), masyarakat Singaraja di beberapa desa juga melaksanakan tradisi mamunjung, yaitu tradisi untuk melakukan persembahyangan bagi leluhur atau kerabat yang sudah meninggal di setra atau kuburan. Fenomena ini dapat ditemui di beberapa setra di seputar Singaraja, seperti Setra di Banjar Adat Peguyangan, Singaraja.
Kata mamunjung ini berasal dari jenis banten yang digunakan, yaitu banten punjung, yang merupakan salah satu jenis banten yang digunakan sebagai persembahan kepada leluhur. Jenis banten ini pun, secara khusus ditujukan sebagai persembahan kepada kerabat yang telah meninggal namun belum dituntaskan melalui ngaben. Untuk leluhur yang telah diaben, digunakan banten penek, sehingga nama upacaranya pun menjadi mamenek.
“Sebenarnya antara punjung, penek, dan ajengan ini hampir sama. Sekarang peruntukkannya yang berbeda, kalau untuk punjung itu adalah untuk leluhur kita yang meninggal tapi belum diberikan upacara, kalau penek itu untuk leluhur kita yang meninggal dan sudah diaben, dan sampun malinggih. Kalau canang ajengan, ya untuk Ida Betara,” ungkap Nyoman Suardika, Dosen Agama Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang juga melaksanakan tradisi ini.
Tak hanya menghaturkan banten punjung, dalam tradisi ini, pihak keluarga yang berziarah juga melakukan makan bersama keluarga di sekeliling pusara keluarga tersebut setelah menghaturkan banten. “Dalam hal ini, yang mengikuti perayaan hari itu tidak hanya keluarga sekala, jadi masih ada keterkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal,” lanjut dosen sekaligus pemilik sanggar seni Nong Nong Kling ini.
Biasanya, para keluarga yang melakukan mamunjung ini datang ke setra sehari sebelum hari raya untuk membersihkan kuburan keluarganya. Barulah pada saat hari raya, para keluarga ini datang kembali ke setra setelah menyelesaikan persembahyangan di tempat lainnya, seperti di merajan keluarga dan Pura Kahyangan Tiga setempat. Sehingga, mamunjung menjadi agenda terakhir oleh keluarga sekaligus merupakan momen untuk ‘reuni’, baik dengan keluarga yang baru saja pulang dari rantauan maupun dengan keluarga yang sudah tiada.
Namun ternyata, upacara ini sendiri tak mesti selalu dikaitkan dengan Hari Raya Pagerwesi. “Upacara ini juga dilakukan di hari-hari lain, tak mesti pada saat Pagerwesi. Ketika ada odalan di Pura Dalem juga keluarga akan melakukan mamunjung. Galungan Kuningan juga, malah biasanya lebih ramai saat Galungan,” tuntas Nyoman Suardika.*yl
1
Komentar