Keswan Jembrana Serahkan Bantuan Desinfektan
Kucit Mati di Manistutu Dipastikan Bukan ASF
Peristiwa matinya 4 ekor kucit (bibit babi) bantuan dari Pemerintah Desa Manistutu, Kecamatan Melaya, Jembrana, dipastikan bukan karena virus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika.
NEGARA, NusaBali
Jika benar terjangkit virus yang spesifik menyerang babi itu, sebanyak 140 ekor kucit yang dibagikan Pemerintah Desa Manistutu ke masyarakat pada akhir November lalu, itu dipastikan seluruhnya ikut mati.
Hal tersebut ditegaskan Kepala Seksi (Kasi) Kesehatan Hewan (Keswan) Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Keswan-Kesmavet) Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana drh I Gusti Ngurah Bagus Rai Mulyawan, ketika memberikan bantuan desinfektan ke pihak Desa Manistutu, Rabu (11/12) sore. Penyerahan bantuan desinfektan sekaligus mengajarkan penyemprotan desinfektan kepada sejumlah pemilik kandang babi, ini dilakukan menyusul kematian 4 ekor kucit bantuan Pemerintah Desa Manitutu, yang disebabkan penyakit diare.
Menurut drh Rai Mulyawan, saat mendengar kematian 4 ekor kucit di Manistutu, jajaran petugas Medik Veteriner dari Kecamatan Melaya, sudah langsung turun melakukan pengecekan. Dari hasil pemeriksaan klinis maupun anamnesis petugas, kematian 4 ekor kucit itu dipastikan bukan karena virus. Terlebih virus ASF yang sangat mematikan pada babi.
“Kalau betul ASF, angka kesakitan dan kematian sudah pasti 100 persen. Sudah pasti mati semua. Tetapi yang mati ini hanya 4 ekor dari 140 ekor babi. Yang pasti bukan ASF,” tandasnya.
Meski tidak sampai dicek lab, sambung drh Rai Mulyawan, kematian 4 ekor kucit itu sudah dipastikan akibat diare, atau lebih mengarah ke penyakit colibacillosis yang disebabkan bakteri Escherichia coli (E.coli). Selain diare, kematian sejumlah kucit yang dipelihara secara terpisah di masing-masing kandang masyarakat penerima bantuan, juga terungkap dipelihara di kandang yang tidak dilengkapi atap, sehingga babi yang sudah deman karena diare, itu semakin kepanasan. “Sudah demam karena diare, ditambah lagi kepanasan, jelas semakin fatal. Apalagi musim panas begini. Jadi waktu turun sebelumnya, kami juga sudah minta biar disampaikan kepada penerima bantuan, supaya menaruh babi merek di tempat teduh,” ujarnya.
Menurutnya, terkait virus ASF yang diketahui telah menyebar di beberapa negara Asia, dan belakangan juga terindikasi ditemukan di Medan, Sumatera Utara, juga menjadi perhatian di Bali. Sesuai informasi, virus ASF itu diketahui menyebar lewat peredaran daging, serta pemberian pakan campuran olahan sisa-sisa makanan dari moda kapal laut ataupun pesawat (swill feeding).
“Kalau dari hasil koordinasi di Dinas Peternakan Provinsi beberapa waktu lalu, gejala klinis virus ASF ini hampir sama dengan virus Hog Cholera (kolera babi) yang bisa menyebabkan kematian babi secara massal. Gejala virus ASF, itu ya demam, dan ada tanda merah kebiruan di seluruh tubuhnya, karena pembuluh darah pecah. Beda dengan Hog Cholera, yang tanda-tanda merah kebiruannya terjadi pada ujung-ujung tubuh, seperti telinga, dan bagian-bagian tertentu,” ujarnya.
Sampai saat ini, kata drh Rai Mulyawan, belum ada obat maupun vaksin untuk ASF. Sedangkan Hog Cholera, juga belum ada obatnya, dan yang ada hanya vaksin. “Selain pembatasan lalu lintas ternak, untuk mencegah penyakit-penyakit itu ya perlu sanitasi dan desinfeksi kandang secara rutin. Sebelumnya, kami di kabupaten juga sudah mengumpulkan para pengusaha ternak babi di Jembrana untuk mengingatkan itu. Sekalian kami berusaha mendata apa ada pengusaha ternak yang memberi swill feeding, dan dipastikan tidak ada,” ujar drh Rai Mulyawan, yang mendata saat ini ada sebanyak 66 pengusaha ternak babi se-Jembrana. *ode
Hal tersebut ditegaskan Kepala Seksi (Kasi) Kesehatan Hewan (Keswan) Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Keswan-Kesmavet) Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana drh I Gusti Ngurah Bagus Rai Mulyawan, ketika memberikan bantuan desinfektan ke pihak Desa Manistutu, Rabu (11/12) sore. Penyerahan bantuan desinfektan sekaligus mengajarkan penyemprotan desinfektan kepada sejumlah pemilik kandang babi, ini dilakukan menyusul kematian 4 ekor kucit bantuan Pemerintah Desa Manitutu, yang disebabkan penyakit diare.
Menurut drh Rai Mulyawan, saat mendengar kematian 4 ekor kucit di Manistutu, jajaran petugas Medik Veteriner dari Kecamatan Melaya, sudah langsung turun melakukan pengecekan. Dari hasil pemeriksaan klinis maupun anamnesis petugas, kematian 4 ekor kucit itu dipastikan bukan karena virus. Terlebih virus ASF yang sangat mematikan pada babi.
“Kalau betul ASF, angka kesakitan dan kematian sudah pasti 100 persen. Sudah pasti mati semua. Tetapi yang mati ini hanya 4 ekor dari 140 ekor babi. Yang pasti bukan ASF,” tandasnya.
Meski tidak sampai dicek lab, sambung drh Rai Mulyawan, kematian 4 ekor kucit itu sudah dipastikan akibat diare, atau lebih mengarah ke penyakit colibacillosis yang disebabkan bakteri Escherichia coli (E.coli). Selain diare, kematian sejumlah kucit yang dipelihara secara terpisah di masing-masing kandang masyarakat penerima bantuan, juga terungkap dipelihara di kandang yang tidak dilengkapi atap, sehingga babi yang sudah deman karena diare, itu semakin kepanasan. “Sudah demam karena diare, ditambah lagi kepanasan, jelas semakin fatal. Apalagi musim panas begini. Jadi waktu turun sebelumnya, kami juga sudah minta biar disampaikan kepada penerima bantuan, supaya menaruh babi merek di tempat teduh,” ujarnya.
Menurutnya, terkait virus ASF yang diketahui telah menyebar di beberapa negara Asia, dan belakangan juga terindikasi ditemukan di Medan, Sumatera Utara, juga menjadi perhatian di Bali. Sesuai informasi, virus ASF itu diketahui menyebar lewat peredaran daging, serta pemberian pakan campuran olahan sisa-sisa makanan dari moda kapal laut ataupun pesawat (swill feeding).
“Kalau dari hasil koordinasi di Dinas Peternakan Provinsi beberapa waktu lalu, gejala klinis virus ASF ini hampir sama dengan virus Hog Cholera (kolera babi) yang bisa menyebabkan kematian babi secara massal. Gejala virus ASF, itu ya demam, dan ada tanda merah kebiruan di seluruh tubuhnya, karena pembuluh darah pecah. Beda dengan Hog Cholera, yang tanda-tanda merah kebiruannya terjadi pada ujung-ujung tubuh, seperti telinga, dan bagian-bagian tertentu,” ujarnya.
Sampai saat ini, kata drh Rai Mulyawan, belum ada obat maupun vaksin untuk ASF. Sedangkan Hog Cholera, juga belum ada obatnya, dan yang ada hanya vaksin. “Selain pembatasan lalu lintas ternak, untuk mencegah penyakit-penyakit itu ya perlu sanitasi dan desinfeksi kandang secara rutin. Sebelumnya, kami di kabupaten juga sudah mengumpulkan para pengusaha ternak babi di Jembrana untuk mengingatkan itu. Sekalian kami berusaha mendata apa ada pengusaha ternak yang memberi swill feeding, dan dipastikan tidak ada,” ujar drh Rai Mulyawan, yang mendata saat ini ada sebanyak 66 pengusaha ternak babi se-Jembrana. *ode
1
Komentar