Memaknai Arti Hari Raya Pagerwesi di Singaraja
Di Singaraja, Pagerwesi dianggap sebagai Galungannya orang Buleleng.
SINGARAJA, NusaBali.com
Sudah menjadi adat dan tradisi, perayaan Hari Raya Pagerwesi yang jatuh pada Buda (Rabu) Kliwon wuku Sinta di Kota Singaraja, Buleleng selalu dirayakan lebih meriah dibandingkan di wilayah lainnya di Bali. Bentuk perayaan Pagerwesi di Singaraja disebut-sebut semeriah Galungan, dimulai dengan kesibukan umat Hindu di hari penyajaan (dua hari sebelum hari raya) dan penampahan (sehari sebelum hari raya) umat disibukan dengan beragam kesibukan, seperti majejaitan dan masak-memasak atau ngelawar. Yang membedakannya dari kemeriahan Galungan hanyalah ketidakadaan penjor yang wajib ada saat Galungan.
Perayaan Hari Raya Pagerwesi yang pada kali ini jatuh pada Rabu (11/12/2019) pun tak berbeda. Di hari ini, umat Hindu memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru (guru dari semua alam semesta). Hari Pagerwesi dimaksudkan sebagai simbol keteguhan iman, dari kata pager yang berarti pagar, dan wesi yang berarti besi. Maka, Pagerwesi sendiri menyimbolkan keteguhan iman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia.
Lalu kenapa perayaan di Singaraja berbeda, padahal bagi seluruh umat Hindu memiliki makna yang sama?
Tidak ada sejarah yang pasti mengenai perbedaan tata cara merayakan Hari Raya Pagerwesi ini, namun jika kita sebagai umat Hindu menilik kembali pada kitab Manawa Dharmasastra, maka kita akan tahu bahwa semua ini kembali pada konsep yang tertuang pada Manawa Dharmasastra II.6, yang didalamnya termuat sistem dan asas hukum menurut Hindu, yaitu Sruti (Weda sebagai sumber utama), Smerti (hasil ingatan Dharmasastra yang menjadi pedoman), Sila (tingkah laku orang suci), Acara (tradisi), dan Atmanastuti (rasa puas diri).
"Acara inilah yang menjadikan atau menentukan umat Hindu mengaplikasikan ajaran Wedanya berbeda-beda. Karena Acara itu ada Purwa Dresta, yaitu Dresta yang dilakukan turun-temurun yang tak tertulis, tapi kita tidak berani tidak melakoni itu. Kemudian ada Sastra Dresta, yaitu pentunjuk melalui sumber sastra. Ada pula yang lebih kecil, yaitu Desa Dresta dan Loka Dresta, yang berlaku di suatu wilayah atau pun keluarga. Kemudian kenapa di Singaraja, perayaan Pagerwesi berbeda seperti Galungan? Karena berlaku dalam Loka Dresta ini,” jelas Nyoman Suardika, dosen Agama Hindu di STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Dengan konsep ini, maka jelaslah bahwa perayaan Hari Raya Pagerwesi di Singaraja merupakan tradisi yang telah dilaksanakan secara turun temurun. Namun meski tradisi ini memang mengakar di Singaraja, bagi seluruh umat Hindu ini merupakan momentum yang bertujuan untuk mengingatkan kembali pentingnya seorang Guru ini merupakan dasar yang kuat bagi pengetahuan dan agama. “Jika dasarnya sudah kuat, apapun pengaruh yang masuk dari luar, tidak akan bisa masuk, karena kita sudah dipagari dengan kebenaran,” lanjutnya.
Adanya perayaan Pagerwesi yang merupakan ‘Galungannya orang Buleleng’ ini juga dimanfaatkan sebagai momen berkumpul keluarga. Anggota keluarga asal Singaraja yang merantau di daerah lain akan pulang kampung, tak ingin melewatkan momen reuni ini. Bahkan, mereka juga memiliki ritual tersendiri, yakni ritual mamunjung.*yl
Komentar