Nasib Janda Bali
MENJANDA lebih sering dianggap sebagai takdir, nasib, tinimbang sebagai pilihan.
Seorang perempuan, kendati dengan tegar memilih bercerai daripada hidup dimadu, sekali tempo dia mungkin berujar pada sahabatnya, “Jelek sekali nasibku. Kalau tahu begini, lebih baik aku tak menikah seumur hidup.”
Banyak orang bersikap mendua terhadap nasib janda. Mereka kasihan, tapi juga suka mempermainkan dan menggunjingkan. Tak seorang janda pun bisa bebas dari gunjingan. Gosip itu semakin gencar manakala dia janda menawan. Kita punya julukan jitu untuk itu: janda kembang. Maka nasib perempuan yang menjanda jauh lebih menderita tinimbang duda.
Kalau seorang perempuan Bali menjanda karena ditinggal mati suaminya, derita semakin bertubi-tubi mendera. Tanggung jawabnya sangat besar, karena harus mengurus merajan yang tujuh bulan sekali melangsungkan odalan dengan biaya tidak kecil. Dia juga harus menghidupi anak-anaknya, terlibat dalam dinamika banjar. Jika saatnya tiba, dia harus melangsungkan upacara ngaben untuk suaminya. Mungkin, tak ada janda lebih menderita dibanding janda Bali.
Di sebuah banjar di Desa Sanur, Denpasar, seorang suami meninggalkan begitu saja keluarganya, karena kepincut sama seorang pelacur. Dia pergi tak kembali, hingga kini, setelah bertahun-tahun, dan tak seorang pun tahu ke mana dia pergi. Krama banjar kemudian memberi kelonggaran kewajiban tugas-tugas (ayahan banjar) pada istri yang ditinggalkan, karena anak-anaknya masih kecil. Kini, ketika anak-anak itu sudah dewasa, siap masuk ke perguruan tinggi, baru krama mewajibkan mereka melaksanakan tugas-tugas banjar.
Beban derita perempuan Bali kian berat jika dia seorang janda bukan sebagai istri pertama, tanpa anak kandung. Anak-anak tiri tentu sulit menerimanya sebagai ibu kandung. Jika dia menjadi istri tidak karena dimadu, misalnya diperistri oleh seorang duda, dan sang suami sudah meninggal, maka tugasnya sebagai janda tanpa anak sangat berat. Syukur jika anak-anak tirinya mengerti posisinya sebagai janda, tak akan banyak masalah muncul. Padahal, sebagai seorang janda, dia bertanggungjawab mengurus dinamika natah (pekarangan) tempat dia hidup dan bernaung. Dialah, kendati sebagai ibu tiri, yang bertanggungjawab ngodalin sanggah, dan mengurus warisan-warisan suaminya.
Di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, janda mendapat perlakuan khusus. Di desa yang dikepung bukit ini, tak ditemukan janda cerai. Di desa ini siapa pun dilarang mengawini janda yang ditinggal mati suaminya. Aturan adat ini berwajah ganda. Di satu sisi awig-awig ini seperti menjaga kemuliaan perempuan dengan mengharuskan mereka monogami. Tetapi ini juga berarti mengekang kebebasan wanita untuk memulai rumah tangga baru. Ini menutup kemungkinan seorang wanita Tenganan menemukan kebahagiaan lain. Jika seorang janda Tenganan melanggar awig-awig itu, dia dikeluarkan dari desa. Bukankah ini nasib sungguh memilukan?
Di Desa Penglipuran, Bangli, kaum wanitanya dilindungi oleh awig-awig agar tidak begitu gampang menjadi janda. Di desa ini seorang lelaki dibuat untuk tidak mudah menceraikan istrinya. Jika dia berniat kawin lagi, dia harus bercerai terlebih dulu. Jika dia tak bisa menceraikan istrinya, dia dilarang kawin lagi. Jika dia ngotot kawin, dia akan dikucilkan ke karang memadu, sebuah pekarangan seluas 13 are, dan diharuskan tinggal di tanah itu sampai dia berhasil menceraikan istri pertama. Dia dilarang memasuki tempat-tempat suci, dianggap mengotori desa, dan menyebarkan leteh (malapetaka).
Namun kelak, jika si lelaki sudah tak lagi suka sama istrinya yang kedua, dia boleh kawin lagi, sepanjang dia sudah menceraikan sang istri. Artinya, seorang lelaki Penglipuran boleh saja berkali-kali kawin-cerai. Sementara si janda, masih diberi kebebasan kawin lagi. Jika mau dan tak malu, janda Penglipuran boleh kawin berulang-ulang, tanpa khawatir diusir dari desa. Yang penting, sebiduk rumah tangga harus diurus oleh seorang lelaki (suami) dan seorang perempuan (istri).
Orang Bali memang sangat memuliakan kaum wanita, tentu juga begitu menghormati perempuan yang menjanda. Tetapi banyak juga orang Bali yang lupa akan kodrat seorang janda. Mereka acap menggunjingkan, menjelek-jelekkan, atau menyudutkannya, sehingga nasib janda-janda itu semakin terpuruk, dan terkatung-katung karena sakit hati.
Di banyak belahan bumi, termasuk di Bali tentu, nasib perempuan acap kali lebih buruk tinimbang kaum laki-laki kalau menyangkut urusan adat. Tidak hanya janda yang sulit ketika berhadapan dengan lingkungannya, juga wanita-wanita yang setelah berusia lanjut tidak kunjung menikah. Padahal tidak menikah itu pilihan hidup, bukan karena tidak laku.
Wanita yang masih gadis di usia tua itu sering dianggap menjadi penghalang bagi saudara-saudara mereka yang laki-laki, karena pembagian harta waris menjadi tidak mulus. Sebab, para wanita yang menikah tidak mendapat hak waris. Jika dia tetap melajang, dia tetap di rumah, menjadi tanggung jawab keluarga dan saudara-saudaranya yang laki.
Berbeda jika yang melajang itu kaum lelaki. Dia punya hak dan kuasa atas harta peninggalan leluhur mereka. Kaum wanita yang tidak menikah cuma menjadi juru timbang saja, penasihat. Yang berkuasa tetap para lelaki.
Jika seorang wanita bercerai, pergi dari rumah bekas suaminya, dia akan kembali ke rumah asal. Orang Bali menyebutnya sebagai mulih bajang, kembali ulang seperti semasa sebelum menikah. Banyak keluarga yang menerima dengan tulus kehadiran saudara perempuan mereka kembali, namun banyak pula keluarga yang diam-diam menolaknya. Tapi, harus mereka terima, karena memang si wanita berhak untuk kembali.
Kehadiran kembali si janda ke rumah asal sering dianggap menjadi kerikil sandungan oleh saudara-saudara yang laki. Karena itu, banyak janda yang mengaku lebih baik memilih hidup mandiri saja. Tapi, bagaimana hidup mandiri jika mereka tidak punya pegangan hidup, tak ada anak, apalagi karier, yang memadai? *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar