Krama Sempat Bersitegang, Akses Jalan Ditutup
Konflik Lahan di Perbatasan Desa Bungkulan-Kubutambahan
Dua krama adat dari dua desa bertetangga, Desa/Kecamatan Kubutambahan dan Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, sempat bersitegang masalah akses jalan.
SINGARAJA, NusaBali
Ketegangan muncul ketika krama Banjar Adat Alasarum, Desa Bungkulan menutup akses jalan bagi krama Desa Adat Kubutambahan menuju Pura Alas Agung, Senin (16/12) pagi. Penutupan ini sebagai reaksi atas penutupan lahan yang selama ini dijadikan fasilitas umum bagi warga Alasarum oleh Desa Adat Kubutambahan.
Pantauan NusaBali, Senin pagi di lokasi, penutupan akses jalan oleh krama Alasarum dilakukan sejak pukul 07.00 Wita. Penutupan dengan tembok batako berada persis di gapura pintu masuk menuju Banjar Alasarum. Akses yang ditutup tersebut, juga menjadi akses bagi krama Kubutambahan menuju Pura Alas Agung yang lokasinya berada di Banjar Alasarum. Aksi krama Banjar Alasarum ini sebagai bentuk protes atas pembangunan tembok panyengker oleh Desa Adat Kubutambahan, yang dinilai menutup akses kepentingan sosial mereka.
Selain menutup akses jalan, krama Alasarum juga membentangkan spanduk bentuk penolakan pembangunan tembok panyengker oleh Desa Adat Kubutambahan. Informasi dihimpun, pembangunan tembok panyengker oleh Desa Adat Kubutambahan sudah berjalan hampir sebulan. Tembok panyengker sepanjang kurang lebih 15 meter tersebut sudah hampir rampung dengan ketinggian tembok sekitar 2 meter.
Lokasi pembangunan tembok panyengker ini diklaim oleh Desa Adat Kubutambahan sebagai tanah Pamekang wewidangan Desa Adat Kubutambahan. Lokasi tanah Pamekang ini berada persis di depan gapura pintu masuk menuju pemukiman krama Banjar Adat Alasarum, Bungkulan. Selama ini, tanah Pamekang ini dipakai bersama-sama oleh krama Kubutambahan dan krama Banjar Adat Alasarum, sebagai akses jalan. Oleh krama Alasarum, lahan tersebut kerap dijadikan fasilitas umum seperti parkir kendaraan pribadi, bahkan tempat mandi karena ada sungai dan kegiatan lainnya.
Nah, kini pembangunan tembok panyengker oleh Desa Adat Kubutambahan tujuannya menjaga kesucian pura, karena di lokasi tanah Pamekang tersebut ada Pura Dalem Purwa dan Pura Celagi yang disungsung krama Desa Adat Kubutambahan. Dalam pembangunan tembok panyengker tersebut, pihak Desa Adat Kubutambahan, tetap memberikan akses jalan masuk menuju pemukiman warga Alasarum selebar 4 meter. Posisinya berada di sisi timur dekat dengan Tukad Bangka dan menjadi batas dengan bangunan Kantor Camat Kubutambahan.
Namun, oleh krama Banjar Adat Alasarum meski diberikan akses masuk, mereka tetap tidak menerima. Aksinya ditunjukkan dengan menutup akses jalan masuk tersebut tepat di gapura pintu masuk. “Setahu kami dari turun-temurun tanah ini digunakan bersama. Baik oleh warga Kubutambahan maupun Alasarum. Sekarang dengan adanya pembatas ini, masyarakat tidak bisa lagi menggunakan untuk kegiatan lain. Termasuk kegiatan sosial,” kata Sekretaris Tim Peduli Alasarum, Gusti Ngurah Sudiardana di lokasi.
“Kami hanya ingin ini kembali seperti sediakala dan tetap untuk fasilitas umum. Apalagi sudah ada perjanjian tahun 2017 lalu yang ditandatangani aparat kedua desa,” imbuh Ngurah Sudiardana.
Menyikapi persoalan tersebut, Pemkab Buleleng langsung mengambil alih dengan memediasi kedua belah pihak sekitar pukul 10.00 Wita, kemarin. Pertemuan yang digelar di ruang Asisten Administrasi Pemerintahan Setda Kabupaten Buleleng, dipimpin oleh Kabag Pemerintahan Setda Buleleng, Dewa Made Ardika, menghadirkan kedua belah pihak. Pertemuan yang berlangsung hampir 3 jam tersebut menghasilkan beberapa poin kesepakatan, di antaranya akses tembok yang dibangun oleh krama Banjar Adat Alasarum segera dibongkar.
Kemudian pihak Desa Adat Kubutambahan berkewajiban meninggikan senderan aliran Tukad Bangke agar air saat musim penghujan tidak meluap hingga menutup akses jalan menuju pemukiman krama Banjar Adat Alasarum.
Kelian Banjar Adat Alasarum, Ketut Carik, mengatakan persoalan penutupan jalan itu terjadi karena adanya misskomunikasi dari sejumlah warga. Pasalnya, dia selaku panglingsir sudah pernah melakukan sosialisasi kepada warga, terkait dengan rencana Desa Adat Kubutambahan membangun tembok panyengker pada lahan tersebut. Namun, ada beberapa warga yang kurang paham, sehingga dirinya tidak bisa menghentikan aksi warga tersebut.
“Kalau tembok penutup akses jalan itu, pasti dibongkar, Tiyang akan menyuruh krama. Karena itu jalan Alasarum, kalau tidak dibongkar kan kami rugi,” ujarnya. Kabarnya pembongkaran tembok penutup akses menuju Pura Alas Agung sudah dilakukan usai pertemuan oleh krama Banjar Adat Alasarum.
Sementara, Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, menjelaskan tanah Pamekang adalah wewidangan dari Desa Adat Kubutambahan, yang telah disertifikatkan sebagai tanah Duwen Pura. Alasan pembangunan tembok panyengker itu untuk memberikan batas terkait dengan kawasan suci untuk pemedal Pura Dalem Purwa dan Pura Celagi.
“Saya kira ini misskomunikasi saja. Kami juga sudah sosialisasi, termasuk dengan Penjabat Perbekel Bungkulan waktu itu. Kecuali kalau kami yang tutup jalan itu, ya jelas kami salah. Memang perbatasan itu saling seluk (beririsan, Red). Intinya sudah klir dan jalan itu bisa digunakan untuk bersama,” tegas Warkadea. *k19
Pantauan NusaBali, Senin pagi di lokasi, penutupan akses jalan oleh krama Alasarum dilakukan sejak pukul 07.00 Wita. Penutupan dengan tembok batako berada persis di gapura pintu masuk menuju Banjar Alasarum. Akses yang ditutup tersebut, juga menjadi akses bagi krama Kubutambahan menuju Pura Alas Agung yang lokasinya berada di Banjar Alasarum. Aksi krama Banjar Alasarum ini sebagai bentuk protes atas pembangunan tembok panyengker oleh Desa Adat Kubutambahan, yang dinilai menutup akses kepentingan sosial mereka.
Selain menutup akses jalan, krama Alasarum juga membentangkan spanduk bentuk penolakan pembangunan tembok panyengker oleh Desa Adat Kubutambahan. Informasi dihimpun, pembangunan tembok panyengker oleh Desa Adat Kubutambahan sudah berjalan hampir sebulan. Tembok panyengker sepanjang kurang lebih 15 meter tersebut sudah hampir rampung dengan ketinggian tembok sekitar 2 meter.
Lokasi pembangunan tembok panyengker ini diklaim oleh Desa Adat Kubutambahan sebagai tanah Pamekang wewidangan Desa Adat Kubutambahan. Lokasi tanah Pamekang ini berada persis di depan gapura pintu masuk menuju pemukiman krama Banjar Adat Alasarum, Bungkulan. Selama ini, tanah Pamekang ini dipakai bersama-sama oleh krama Kubutambahan dan krama Banjar Adat Alasarum, sebagai akses jalan. Oleh krama Alasarum, lahan tersebut kerap dijadikan fasilitas umum seperti parkir kendaraan pribadi, bahkan tempat mandi karena ada sungai dan kegiatan lainnya.
Nah, kini pembangunan tembok panyengker oleh Desa Adat Kubutambahan tujuannya menjaga kesucian pura, karena di lokasi tanah Pamekang tersebut ada Pura Dalem Purwa dan Pura Celagi yang disungsung krama Desa Adat Kubutambahan. Dalam pembangunan tembok panyengker tersebut, pihak Desa Adat Kubutambahan, tetap memberikan akses jalan masuk menuju pemukiman warga Alasarum selebar 4 meter. Posisinya berada di sisi timur dekat dengan Tukad Bangka dan menjadi batas dengan bangunan Kantor Camat Kubutambahan.
Namun, oleh krama Banjar Adat Alasarum meski diberikan akses masuk, mereka tetap tidak menerima. Aksinya ditunjukkan dengan menutup akses jalan masuk tersebut tepat di gapura pintu masuk. “Setahu kami dari turun-temurun tanah ini digunakan bersama. Baik oleh warga Kubutambahan maupun Alasarum. Sekarang dengan adanya pembatas ini, masyarakat tidak bisa lagi menggunakan untuk kegiatan lain. Termasuk kegiatan sosial,” kata Sekretaris Tim Peduli Alasarum, Gusti Ngurah Sudiardana di lokasi.
“Kami hanya ingin ini kembali seperti sediakala dan tetap untuk fasilitas umum. Apalagi sudah ada perjanjian tahun 2017 lalu yang ditandatangani aparat kedua desa,” imbuh Ngurah Sudiardana.
Menyikapi persoalan tersebut, Pemkab Buleleng langsung mengambil alih dengan memediasi kedua belah pihak sekitar pukul 10.00 Wita, kemarin. Pertemuan yang digelar di ruang Asisten Administrasi Pemerintahan Setda Kabupaten Buleleng, dipimpin oleh Kabag Pemerintahan Setda Buleleng, Dewa Made Ardika, menghadirkan kedua belah pihak. Pertemuan yang berlangsung hampir 3 jam tersebut menghasilkan beberapa poin kesepakatan, di antaranya akses tembok yang dibangun oleh krama Banjar Adat Alasarum segera dibongkar.
Kemudian pihak Desa Adat Kubutambahan berkewajiban meninggikan senderan aliran Tukad Bangke agar air saat musim penghujan tidak meluap hingga menutup akses jalan menuju pemukiman krama Banjar Adat Alasarum.
Kelian Banjar Adat Alasarum, Ketut Carik, mengatakan persoalan penutupan jalan itu terjadi karena adanya misskomunikasi dari sejumlah warga. Pasalnya, dia selaku panglingsir sudah pernah melakukan sosialisasi kepada warga, terkait dengan rencana Desa Adat Kubutambahan membangun tembok panyengker pada lahan tersebut. Namun, ada beberapa warga yang kurang paham, sehingga dirinya tidak bisa menghentikan aksi warga tersebut.
“Kalau tembok penutup akses jalan itu, pasti dibongkar, Tiyang akan menyuruh krama. Karena itu jalan Alasarum, kalau tidak dibongkar kan kami rugi,” ujarnya. Kabarnya pembongkaran tembok penutup akses menuju Pura Alas Agung sudah dilakukan usai pertemuan oleh krama Banjar Adat Alasarum.
Sementara, Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, menjelaskan tanah Pamekang adalah wewidangan dari Desa Adat Kubutambahan, yang telah disertifikatkan sebagai tanah Duwen Pura. Alasan pembangunan tembok panyengker itu untuk memberikan batas terkait dengan kawasan suci untuk pemedal Pura Dalem Purwa dan Pura Celagi.
“Saya kira ini misskomunikasi saja. Kami juga sudah sosialisasi, termasuk dengan Penjabat Perbekel Bungkulan waktu itu. Kecuali kalau kami yang tutup jalan itu, ya jelas kami salah. Memang perbatasan itu saling seluk (beririsan, Red). Intinya sudah klir dan jalan itu bisa digunakan untuk bersama,” tegas Warkadea. *k19
Komentar