Angkat Derajat Kopi Lokal Badung Utara hingga ke Luar Negeri
Nyoman Sudana-Wayan Sari, Pasutri Petani Sukses Asal Banjar Lawak, Desa Bilok Sidan, Kecamatan Petang
Pasutri Nyoman Sudana dan Wayan Sari pertama kali ekspor Kopi Arabica produksi petani Desa Bilok Sidan dan sekitarnya ke Uni Emirat Arab tahun 2014. Kopi sebanyak 2 ton itu baru tiba di tujuan setelah sebulan perjalanan dari Bali
MANGUPURA, NusaBali
Pasangan Nyoman Sudana, 70, dan Wayan Sari, 60, termasuk pasutri petani yang sukses. Pasutri petani yang tinggal di Banjar Lawak, Desa Belok Sidan, Kecamatan Petang, Badung ini sukses mengangkat derajat kopi asli kawasan Badung Utara hingga ke luar negeri.
Pasutri Nyoman Sudana dan Wayan Sari selama ini dikenal getol mengekspor Kopi Arabica hasil lahan perkebunan di Desa Belok Sidan dan sekitarnya ke Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, dan Inggris. Ekspor Kopi Arabica ini dilakukan sejak tahun 2014, dengan memberdayakan para petani kopi di desa Bilok Sidan dan sekitarnya.
Sebelum menggerakkan petani lokal untuk ekspor, pasutri Nyoman Sudana dan Wayan Sari memulai usahanya menanam Kopi Arabica sejak tahun 1980. Awalnya, pasutri yang telah dikaruniai 4 anak ini bertani padi dan jagung di Banjar Lawak, Desa Bilok Sidan. Kemudian, mereka beralih ke tanaman Kopi Arabica.
Menurut Wayan Sari, semua berawal ketika ada seorang pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur sukses mengembangkan Kopi Arabica dengan menyewa lahan milik warga di kawasan pegunungan Kecamatan Kintamani, Bangli. “Saya berpikir, saya punya lahan sendiri, kenapa saya tidak coba menanam kopi juga? Dari situ saya mulai menanam kopi bersama suami,” kenang Wayan Sari saat ditemui NusaBali di rumahnya kawasan Banjar Lawak, Desa Bilok Sidan, Selasa (3/12) lalu.
Singkat cerita, pasutri Nyoman Sudana dan Wayan Sari kemudian membeli bibit tanaman Kopi Arabica dari di Kintamani. “Saya ingat betul, awalnya kami membli 500 bibit kopi, per batang harganya Rp 100. Lama kelamaan, kami menanam kopi sampai 1.500 pohon,” tutur perempuan kelahiran Badung, 1 Juli 1959 ini.
Menurut Wayan Sari, semula hasil perkebunan kopinya masih dalam skala kecil. Hasilnya dijual ke beberapa darah di Bali, seperti Bulelang dan Denpasar. Namun, seiring perjalanan waktu, produk Kopi Arabica dari Desa Belok Sidan bisa merambah ke pasar luar negeri. Luas lahan perkebunan kopi pun terus bertambah.
Wayan Sari menyebutkan, luas lahan perkebunan kopi miliknya saja saat ini mencapai 2 hektare. “Sekarang lahan perkebunan kopi saya luasnya 2 hektare. Sebagian tanaman kopi sudah berusia 40 tahun, ada pula yang baru 25 tahun. Semuanya santat produktif, berbuah lebat,” beber Wayan Sari diamini suaminya, Nyoman Sudana.
Ekspor Kopi Arabica dari Desa Bilok Sidan pertama kali dilakukan pasutri Nyoman Sedana dan Wayan Sari tahun 2014 ke Dubai, Uni Emirat Arab. “Kebetulan, salah satu anak saya kerja di Dubai. Nah, lewat anak saya pula, kopi dari Badung Utara masuk ke Dubai,” terang perempuan yang tak tamat SD ini.
Versi Wayan Sari, ekspor pertama ke Dubai mencapai 2 ton Kopi Arabcia. Saat itu, dalam kurun sebulan barulah kopi yang dikirim dari Bali sampai ke Dubai. “Waktu itu, kopi saya berubah warna, sehingga belum bisa dijual ke mana-mana. Setelah kopinya dirosting, barulah ada yang berminat,” katanya.
Sejak itu, pasutri Nyoman Sedana-Wayan Sari rutin ekspor kopi dari Badung Utara ke Dubai. Saat ini, mereka rutin mengirim 2 ton Kopi Arabica produksi Desa Bilok Sudan dan sekitarnya per tahun ke Dubai. “Selain ke Dubai, sejak tahun 2017 kami juga ekspor kopi ke Amerika Serikat dan Inggris,” beber Wayan Sari.
Dalam ekspor Kopi Arabica produksi Desa Bilok Sidan dan sekitarnya ini, pasutri Nyoman Sudana-Wayan Sari didukung oleh Kelompok Tani Sari Sedana, yang beranggotakan 20 petani setempat. Selain itu, mereka juga didukung oleh krama Subak Abian, Desa Bilok Sidang. Kopi hasil panen Kelompok Tani Sari Sedana dan Subak Abian dikumpulkan pasutri Nyoman Sudana-Wayan Sari untuk diekspor ke luar negeri.
Untuk menjaga kualitas ekspor, kata Wayan Sari, petani setempat memperhatikan betul pohon perindang. Jika ditanam tanpa pohon perindang, dalam 6 bulan saja kopinya sudah merah. Kalai ada perindang, buah kopi akan memerah dalam waktu 8 bulan. “Lebih lama merahnya, lebih bagus rasa dan aromanya.”
Bukan hanya itu, proses pemetikan (panen) kopi juga tidak boleh asal-asalan, agar kualitas terjamin. “Waktu memetik kopi, tidak boleh ada campran hijau sedikit pun. Hanya yang sudah merah yang dipetik,” cerita Nyoman Sudana.
Kemudian dari segi pengolahan, lanjut dia, juga harus memperhatikan kualitas kopi itu sendiri. Biasanya, setiapkali panen, kopi dicuci bersih dengan air. Nah, kopi yang mengambang di air, tidak masuk ke tahap pengolahan selanjutnya.
Setelah dicuci bersih, proses berikutnya adalah memisahkan kulit dari bijinya. Setelah dikupas pun, kopi tidak lantas dijemur begitu saja, melainkan harus difermentasi lagi selama beberapa jam. Barulah setelah itu, kopi dijemur di bawah terik sinar matahari hingga kering.
Menurut Nyoman Sudana, harga kopi tingkat pasar lokal berbeda-beda. “Untuk yang kita produksi dengan merk Sudana Family, harganya Rp 120.000 per kilogram. Sedangkan untuk Kopi Pelaga, harganya lebih murah yakni Rp 100.000 per kilo-gram,” papar petani kelahiran Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem, 1 Juli 1949 asal, yang merantau ke Desa Bilok Sidan ini.
Berkat kerja kerasnya hingga mampu mengangkat derajat kopi lokal Badung Utara ke luar negeri ini, Nyoman Sudana kerap diundang oleh Pemkab Badung maupun Pemprov Bali untuk mengikuti kegiatan pameran. Bahkan, tak jarang petani berusia 70 tahun ini diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai seminar tentang masalah kopi.
Salah satunya, diundang sebagai pembicara dalam ‘Pelatihan Inovasi dan Kreasi Baru dalam Pengolahan Kopi sebagai Hasil Perkebunan Desa Pelaga’ yang digelar Universitas Udayana tahun 2016. “Saya juga pernah diundang jadi pembicara di Kampus Universitas Udayana (Unud) tahun 2016 lalu,” jelas ayah 4 anak yang telah dikaruniai 3 cucu ini.
Selain itu, kata Nyoman Sedana, kediamannya di Banjar Lawak, Desa Bilok Sidan, Kecamatan Petang juga sering dikunjungi sejumlah instansi dan lembaga pendidikan, guna be-lajar langsung mengolah kopi.
Pasutri Nyoman Sudana-Wayan Sari selalu ingin berbagi pengetahuan tentang kopi, dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Mereka juga bermimpi bisa memiliki gerai di mana-mana. “Saya ingin seperti Starbucks. Sekarang kami baru punya beberapa gerai saja, yang dikelola oleh anak-anak,” lanjut ayah dari Q Putu Sarini, 39, Kadek Edi Sulawa, 37, Komang Ayu Riani, 34, dan Ketut Adi Kariana, 29, ini. *asa
Pasutri Nyoman Sudana dan Wayan Sari selama ini dikenal getol mengekspor Kopi Arabica hasil lahan perkebunan di Desa Belok Sidan dan sekitarnya ke Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, dan Inggris. Ekspor Kopi Arabica ini dilakukan sejak tahun 2014, dengan memberdayakan para petani kopi di desa Bilok Sidan dan sekitarnya.
Sebelum menggerakkan petani lokal untuk ekspor, pasutri Nyoman Sudana dan Wayan Sari memulai usahanya menanam Kopi Arabica sejak tahun 1980. Awalnya, pasutri yang telah dikaruniai 4 anak ini bertani padi dan jagung di Banjar Lawak, Desa Bilok Sidan. Kemudian, mereka beralih ke tanaman Kopi Arabica.
Menurut Wayan Sari, semua berawal ketika ada seorang pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur sukses mengembangkan Kopi Arabica dengan menyewa lahan milik warga di kawasan pegunungan Kecamatan Kintamani, Bangli. “Saya berpikir, saya punya lahan sendiri, kenapa saya tidak coba menanam kopi juga? Dari situ saya mulai menanam kopi bersama suami,” kenang Wayan Sari saat ditemui NusaBali di rumahnya kawasan Banjar Lawak, Desa Bilok Sidan, Selasa (3/12) lalu.
Singkat cerita, pasutri Nyoman Sudana dan Wayan Sari kemudian membeli bibit tanaman Kopi Arabica dari di Kintamani. “Saya ingat betul, awalnya kami membli 500 bibit kopi, per batang harganya Rp 100. Lama kelamaan, kami menanam kopi sampai 1.500 pohon,” tutur perempuan kelahiran Badung, 1 Juli 1959 ini.
Menurut Wayan Sari, semula hasil perkebunan kopinya masih dalam skala kecil. Hasilnya dijual ke beberapa darah di Bali, seperti Bulelang dan Denpasar. Namun, seiring perjalanan waktu, produk Kopi Arabica dari Desa Belok Sidan bisa merambah ke pasar luar negeri. Luas lahan perkebunan kopi pun terus bertambah.
Wayan Sari menyebutkan, luas lahan perkebunan kopi miliknya saja saat ini mencapai 2 hektare. “Sekarang lahan perkebunan kopi saya luasnya 2 hektare. Sebagian tanaman kopi sudah berusia 40 tahun, ada pula yang baru 25 tahun. Semuanya santat produktif, berbuah lebat,” beber Wayan Sari diamini suaminya, Nyoman Sudana.
Ekspor Kopi Arabica dari Desa Bilok Sidan pertama kali dilakukan pasutri Nyoman Sedana dan Wayan Sari tahun 2014 ke Dubai, Uni Emirat Arab. “Kebetulan, salah satu anak saya kerja di Dubai. Nah, lewat anak saya pula, kopi dari Badung Utara masuk ke Dubai,” terang perempuan yang tak tamat SD ini.
Versi Wayan Sari, ekspor pertama ke Dubai mencapai 2 ton Kopi Arabcia. Saat itu, dalam kurun sebulan barulah kopi yang dikirim dari Bali sampai ke Dubai. “Waktu itu, kopi saya berubah warna, sehingga belum bisa dijual ke mana-mana. Setelah kopinya dirosting, barulah ada yang berminat,” katanya.
Sejak itu, pasutri Nyoman Sedana-Wayan Sari rutin ekspor kopi dari Badung Utara ke Dubai. Saat ini, mereka rutin mengirim 2 ton Kopi Arabica produksi Desa Bilok Sudan dan sekitarnya per tahun ke Dubai. “Selain ke Dubai, sejak tahun 2017 kami juga ekspor kopi ke Amerika Serikat dan Inggris,” beber Wayan Sari.
Dalam ekspor Kopi Arabica produksi Desa Bilok Sidan dan sekitarnya ini, pasutri Nyoman Sudana-Wayan Sari didukung oleh Kelompok Tani Sari Sedana, yang beranggotakan 20 petani setempat. Selain itu, mereka juga didukung oleh krama Subak Abian, Desa Bilok Sidang. Kopi hasil panen Kelompok Tani Sari Sedana dan Subak Abian dikumpulkan pasutri Nyoman Sudana-Wayan Sari untuk diekspor ke luar negeri.
Untuk menjaga kualitas ekspor, kata Wayan Sari, petani setempat memperhatikan betul pohon perindang. Jika ditanam tanpa pohon perindang, dalam 6 bulan saja kopinya sudah merah. Kalai ada perindang, buah kopi akan memerah dalam waktu 8 bulan. “Lebih lama merahnya, lebih bagus rasa dan aromanya.”
Bukan hanya itu, proses pemetikan (panen) kopi juga tidak boleh asal-asalan, agar kualitas terjamin. “Waktu memetik kopi, tidak boleh ada campran hijau sedikit pun. Hanya yang sudah merah yang dipetik,” cerita Nyoman Sudana.
Kemudian dari segi pengolahan, lanjut dia, juga harus memperhatikan kualitas kopi itu sendiri. Biasanya, setiapkali panen, kopi dicuci bersih dengan air. Nah, kopi yang mengambang di air, tidak masuk ke tahap pengolahan selanjutnya.
Setelah dicuci bersih, proses berikutnya adalah memisahkan kulit dari bijinya. Setelah dikupas pun, kopi tidak lantas dijemur begitu saja, melainkan harus difermentasi lagi selama beberapa jam. Barulah setelah itu, kopi dijemur di bawah terik sinar matahari hingga kering.
Menurut Nyoman Sudana, harga kopi tingkat pasar lokal berbeda-beda. “Untuk yang kita produksi dengan merk Sudana Family, harganya Rp 120.000 per kilogram. Sedangkan untuk Kopi Pelaga, harganya lebih murah yakni Rp 100.000 per kilo-gram,” papar petani kelahiran Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem, 1 Juli 1949 asal, yang merantau ke Desa Bilok Sidan ini.
Berkat kerja kerasnya hingga mampu mengangkat derajat kopi lokal Badung Utara ke luar negeri ini, Nyoman Sudana kerap diundang oleh Pemkab Badung maupun Pemprov Bali untuk mengikuti kegiatan pameran. Bahkan, tak jarang petani berusia 70 tahun ini diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai seminar tentang masalah kopi.
Salah satunya, diundang sebagai pembicara dalam ‘Pelatihan Inovasi dan Kreasi Baru dalam Pengolahan Kopi sebagai Hasil Perkebunan Desa Pelaga’ yang digelar Universitas Udayana tahun 2016. “Saya juga pernah diundang jadi pembicara di Kampus Universitas Udayana (Unud) tahun 2016 lalu,” jelas ayah 4 anak yang telah dikaruniai 3 cucu ini.
Selain itu, kata Nyoman Sedana, kediamannya di Banjar Lawak, Desa Bilok Sidan, Kecamatan Petang juga sering dikunjungi sejumlah instansi dan lembaga pendidikan, guna be-lajar langsung mengolah kopi.
Pasutri Nyoman Sudana-Wayan Sari selalu ingin berbagi pengetahuan tentang kopi, dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Mereka juga bermimpi bisa memiliki gerai di mana-mana. “Saya ingin seperti Starbucks. Sekarang kami baru punya beberapa gerai saja, yang dikelola oleh anak-anak,” lanjut ayah dari Q Putu Sarini, 39, Kadek Edi Sulawa, 37, Komang Ayu Riani, 34, dan Ketut Adi Kariana, 29, ini. *asa
Komentar