Heri Pemad, Pembuktian tanpa Ijazah, Eksis di Dunia Seni
Sukses Art Jog dan kemudian Art Bali tak bisa dilepaskan dari nama Heri Pemad. Seniman 43 tahun ini ternyata memilih tak mau menyelesaikan studinya di ISI Yogyakarta.
MANGUPURA, NusaBali.com
Nama Heri Pemad bukan sosok asing dalam penyelenggaraan pameran seni di Indonesia. Sebut saja Art Jog, sebuah pameran di Jogjakarta sejak 2008 yang disebut-sebut sebagai pameran terbesar di Asia. Saat pagelaran Art Jog, ada lebih dari dua ratus peristiwa seni yang ditampilkan; seni rupa pertunjukan, fesyen, tradisi, hingga seni musik. Jumlah pengunjung pun fantastis, sejak tahun 2015 sudah di atas angka 100.000 dan 20 persennya berasal dari luar Jogjakarta, termasuk mancanegara.
Kini, Heri Pemad pun semakin akrab dengan Bali. Sejak 2018, dia menggagas lahirnya Art Bali. Untuk pameran Art Bali 2019 yang digelar di ABBC Building, Nusa Dua, Badung ini dilangsungkan selama tiga bulan, mulai 13 Oktober 2019 hingga 13 Januari 2020. Di ajang pameran seni kontemporer tersebut Heri Pemad Management (HPM) miliknya bertindak sebagai penyelenggara.
Bagaimanakah perjalanan Heri Pemad? Pergulatan Heri Pemad di dunia seni berawal saat ia menempuh pendidikan Program Studi Seni Lukis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1996. Saat masih berstatus mahasiswa ia pernah mendapatkan penghargaan ‘Cat Air Terbaik’ tahun 1997 di Kampus ISI Yogyakarta dan penghargaan dari Nokia Art Award Asia Pacific pada tahun 1999. Tahun 1998 dan 1999 adalah masa puncaknya menjadi seorang seniman lukis. Saat itu juga Heri mulai tertarik dengan penyelenggaraan pameran seni rupa.
Namun pria kelahiran 12 April 1976 ini justru memilih keluar dari kampus ISI sebelum mendapatkan gelar sarjana pada tahun 2000. “Lha wong ilmunya sudah habis. Saya ya nggak mau meneruskan," katanya tertawa, Kamis (19/12/2019). Lantas ia ingin membuktikan bahwa ia bisa hidup dari karya seni tanpa ijazah. Hal tersebut ia buktikan dengan aktif berpameran di dalam dan luar negeri hingga 2005.
Heri juga sempat berpameran tunggal pada tahun 2001 di Gelaran Budaya, Jogjakarta. Pada tahun yang sama ia mulai serius merintis penyelenggaraan pameran seni rupa. Salah satu pameran yang ia organize saat itu adalah ‘Pameran Re-Kreasi’ di Museum H Widayat, Magelang, Jawa Tengah.
Heri merintis HPM berangkat dari kegelisahannya sebagai seorang seniman selama puluhan tahun. "HPM sebetulnya berawal dari kegelisahan saya sebagai seniman bagaimana agar bisa hidup dari karya yang diciptakan. Ia menyadari ada ketidakberesan dalam dunia seni yang diakibatkan ketiadaan infrastruktur di dalamnya. "Secara ekosistem di balik melimpahnya seniman dan karya yang lahir saat itu kurang didukung dengan infrastruktur yang memadai," bebernya.
Artinya, kata dia, seniman belum terwadahi dengan baik oleh swasta maupun pemerintah baik secara tempat penyelenggaraan, manajemen, aturan, kebijakan-kebijakan yang berpihak pada seniman. "Saya mencoba menambal sesuatu yang bolong itu dengan kerja art manajemen yang saya yakini bisa paling tidak membantu seniman," katanya.
Ia meyakini mampu melakukan karena tahu betul apa yang dibutuhkan seniman. Keadaan ini memaksa Heri untuk menekuni, merintis, dan mendirikan lembaga tata kelola seni saat belum ada orang yang berani mendirikan. "Bisa dibilang art manajemen yang pertama saat itu. Belum ada orang yang berani membuka tata kelola seni secara profesional," katanya. Saat itu ia mengesampingkan profesinya sebagai pelukis. “Terjun di bidang seni kan tidak harus menjadi pelukis,” tegasnya.
Kini Heri bersama HPM sudah memiliki gelaran tetap seni kontemporer Art Jog dan Art Bali. Lewat tangan dinginnya perkembangan seni rupa kontemporer bergerak melalui ajang yang digagasnya setiap tahun itu. Art Jog pertama digelar pada 2008 yang saat itu masih bernama Jogja Art Fair dan menjadi salah satu rangkaian dari acara Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).
Pada 2010, Jogja Art Fair diubah menjadi Art Jog agar bisa diterima publik secara luas, terutama di dunia internasional. "Pergantian JAF ke Art Jog supaya lebih diterima global. Kami ingin membuat pameran menjadi menarik dan mewakili dunia seni rupa pada waktu itu, terutama seniman muda," katanya.
Dari tahun ke tahun gelaran Art Jog semakin membesar. Lokasi perhelatan salah satu kegiatan seni rupa terbesar di Asia itu pun dipindah, dari sebelumnya di Taman Budaya Yogyakarta ke Jogja National Museum. Saat pagelaran Art Jog, ada lebih dari dua ratus peristiwa seni yang ditampilkan, seni rupa pertunjukan, fesyen, tradisi, hingga seni musik.
Heri mendorong kepada para seniman yang punya ruang seni, galeri, ataupun teman-teman yang berkerja sebagai art organizer untuk membuat peristiwa seni pada saat Art Jog diselenggarakan. "Orang pun ada yang bilang, lebarannya seni atau bulannya seni Yogyakarta pada saat Art Jog," katanya. Menurutnya, konsep yang dibuat Art Jog ini sudah dibuat dalam festival-festifal seni besar di dunia, misalnya Venice Biennale.
Hal serupa juga ia lakukan di Bali melalui Art Bali. Gelaran tersebut sesungguhnya sudah ia pikirakan sejak 2016, tetapi baru ditelurkan pada 2018 saat pelaksanan konferensi IMF-Bank Dunia. "Kelahirannya dari semangat ketika kami ingin memberikan lebih banyak peluang, kesempatan, dan wadah bagi banyaknya seniman yang fokus di wilayah seni kontemporer," ujarnya.
Ia menganggap setiap wilayah di Indonesia masing-masing ada kekhasan di seni kontemporer. "Meski seni kontemporer itu global dan universal secara perkembangannya, tapi kami yakin setiap daerah memiliki sesuatu yang berbeda. Terutama Bali, yang saya kira menjadi salah satu yang mewakili kegelisahan saya," akuinya.
Heri merasa tertantang sekaligus penasaran bisa menyelenggarakan semacam Art Jog tapi di Bali. "Bali menjadi perhitungan karena lebih terbuka dan luas secara link menjadi pintu menuju ranah internasional," terangnya.
Art Bali, sebutnya, cukup memberikan etalase untuk mewakili seni rupa di Indonesia. "Art Bali tidak hanya mempresentasikan perkembangan seni kontemporer terkini di Bali, tapi juga Indonesia," katanya.
Ia mengakui tidak memakai strategi khusus dalam penyelenggaraan Art Bali. "Hanya bagaimana bisa lebih baik lagi dalam mewadahi seniman dan mengakomodasi kepentingan artistik seniman-seniman di Bali dan lainnya," sambungnya. "Tidak bisa hanya dengan apa adanya juga. Tapi bagaimana kami benar-benar berusaha secara kemasan, penyajian, penyelenggaraan karya-karya seni kontemporer tersebut bisa dipresentasikan dengan baik di Art Bali," paparnya.
Memasuki tahun kedua penyelenggaraan ia semakin optimis Art Bali semakin mantap ke depan serta semakin diterima publik dan ekosistem seni Bali. "Secara manajemen penyelenggaraan memang ada di wilayah kami, itu yang menjadi tantangan beratnya. Kami hanya bisa meyakinkan pada publik untuk bisa konsisten menyelenggarakan Art Bali dari tahun ke tahun," tutupnya.*has
Komentar