Pemajuan Desa Adat Rentan Berbuah Jebakan
PROYEKSI 2020 Bidang ADAT
Tahun 2020 akan menjadi tahun keberuntungan bagi 1.493 desa adat di Bali.
Hoki ini akan amat dirasakan oleh mayoritas desa adat yang merasa belum maju, dalam tolok ukur kemandirian di bidang ekonomi. Tahun 2020 merupakan awal Pemprov Bali di bawah kepemimpinan Gubernur Wayan Koster untuk memulai secara nyata gerakan pemajuan kemandirian ekonomi desa adat.
Gerakan pemajuan desa adat di Bali tersebut memang layak mendapat aplaus krama Bali. Namun, konsep prima pemajuan yang telah digarap matang oleh tim Pemrov Bali ini tentu tak dapat ditelan mentah-mentah. Sebab, jika salah kelola, tak tertutup kemungkinan model pemajuan desa adat yang cukup rumit itu dapat menimbulkan jebakan sosial bagi Bali sendiri.
Setiapkali pertemuan ada yang mambahas pemajuan desa adat di Bali, selalu disambut gegap gempita para bendesa adat. Lebih-lebih, materi-materi pembahasan paruman tersebut tentang pundi-pundi desa adat. Kalangan bendesa adat dan prajuru adat pasti menyambutnya dengan sumringah.
Contohnya, Pesamuhan Agung Desa Adat miwah Desa Sejebag Jagat Bali yang digelar di Wantilan Pura Samuan Tiga, Desa Adat Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar pada Soma Wage Dukut, Senin, 25 November 2019 lalu. Pesamuhan ini dihadiri 2.000-an orang dari kalangan bendesa adat, perbekel, lurah, Majelis Desa Adat, hingga perangkat daerah provinsi/kabupaten/kota se-Bali. Gubernur Wayan Koster saat itu mempertegas tentang alokasi anggaran masing-masing Rp 300 juta kepada desa adat di Bali tahun 2020. Anggaran ini maksimal Rp 80 juta digunakan untuk belanja rutin dan minimal Rp 220 juta untuk belanja program. Total Rp 447,9 miliar digelontorkan untuk 1.493 desa adat di Bali.
Dalam sudut pandang laku tradisi kehidupan sosial krama adat Bali, pasamuhan yang menjanjikan kesejahteraan desa adat itu tentu tak luput dari ‘dualitas rasa’. Pertama, rasa bangga sekaligus bersyukur, karena dengan penerapan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat ini disertai pembiayaan dari pemerintah, desa adat di Bali akan punya harapan besar dalam menghadapi perubahan zaman, sebagaimana prinsip Tri Sakti Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara kebudayaan).
Prinsip ini diimplementasikan dengan visi Pembangunan Daerah Bali yakni ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. Intinya, dengan Perda tentang Desa Adat, maka krama desa adat akan dipermudah dalam membiayai segenap kegiatan bidang adat, baik fisik maupun non fisik, yang selama ini makin membebani krama.
Rasa kedua, ada kekhawatiran dalam waktu 2-3 tahun ke depan terkait pengelolaan keuangan desa adat. Masalahnya, mayoritas desa adat di Bali belum memiliki praktek standar yang dapat dijadikan acuan pengeloaan keuangan. Desa adat belum fasih dalam bermanajemen keuangan modern berbasis akuntansi, sistem akrual, e-payment, dan lainnya. Istilah itu pula merupakan rentetan kruna anyar (kata-kata baru) dalam bidang peradatan di Bali.
Memang, banyak desa adat mulai memiliki krama lulusan akuntansi. Namun, mereka selama ini lebih merasa beruntung mempraktekkan ilmu akuntasinya untuk ngalih gae (mencari kerja) di perusahaan atau lembaga pemerintahan.
Di lain sisi, bertumpu pada konsep ‘desa adat menuju Bali era baru’, maka desa adat wajib memiliki pertanggungjawaban keuangan secara akurat dan otentik. Pemprov Bali telah menyiasati kegundahan ini dengan menerbitkan petunjuk teknis penyusunan APBDes Adat dan pengelolaan dana desa adat yang bersumber dari alokasi APBD Semesta Berencana Pemrov Bali Tahun Anggaran 2020. Dalan Juknis ini ditegaskan, pemanfaatan alokasi dana desa adat oleh desa adat dengan mengutamakan prinsip-prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Harapannya, pemanfaatan dana desa adat bisa tepat sasaran dan dirasakan langsung oleh krama desa adat secara sakala-niskala. Tak dipungkiri, istilah-itilah efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas bukan hanya sulit diartikan, namun juga ribet untuk diterapkan.
Demi ketaatan pada kaidah pengelolaan anggaran itu, mau tidak mau, para bendesa adat, prajuru adat, dan segenap pembantunya harus lebih banyak menguras tenaga untuk mempertanggungjawabkan anggaran. Akibatnya, para bendesa dan prajuru desa adat, terutama yang usia renta, akan merasa cepat letih dalam pemajuan desa adat. Berat atau ringannya beban pertanggungjawaban ini tentunya amat tergantung dari intensitas program, pendampingan dari pemerintah, dan kualitas SDM di masing-masing desa adat.
Kekhawatiran terhadap munculnya jebakan masif dari pemajuan desa adat berbasis anggaran ini, juga tidak terhindarkan. Dalam sejarahnya, desa adat tumbuh berkembang selama berabad-abad di Bali, dengan punya hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli dalam mengatur rumah tangganya sendiri.
Dalam hal mengatur rumah tangganya sendiri, desa adat di Bali punya kearifan lokal yang khas, unik, indah, dan suci, serta berspiritualitas tinggi. Artinya, dalam pengelolaan desa adat di Bali berbasis sosio-religi Hindu Bali ini, tak semuanya dapat diukur secara kuantitatif atau besar kecilnya uang. Sebab, banyak capaian baik pribadi dan kelompok di dasa adat, krama Bali masih terikat pada tradisi seperti matulungan (saling bantu-membantu). Kraam Bali juga taat dengan tradisi ngayah. Krama Bali juga punya basis sosial berkonsep hidup sagilik saguluk salunglung sabayanaka, paras paros sarpanaya, saling asah, saling asuh.
Semua ini hanya dapat diukur dengan ‘nilai’, bukan uang yang dicatatkan dalam skala matematis. Arthabrana atau uang tentu penting, namun tak bisa jadi penentu atau ukuran utama dari segenap tindakan makrama (menjalani adat istiadat). Jika ‘keuangan yang maha utama’ menjadikan gaya hidup maadat Bali, maka kualitas dan makna-makna kehidupan sosial religius krama Bali yang berbenteng adat Bali ini, patut dipertanyakan. Kualitas sosial religius ini tak bisa meluntur karena uang bertumpuk-tumpuk. Jika itu yang terjadi, maka hakikat fungsi anggaran yang sedianya untuk kesejahteraan krama desa adat akan berbalik menjadi amertha matemahan wisya (sumber kehidupan yang berubah jadi penyakit). *
I Nyoman Wilasa
Wartawan NusaBali
1
Komentar