Kualitas Hubungan Kunci Penting Bagi Ibu yang Bekerja
Sudah menjadi kodrat bahwa seorang wanita akan menjadi ibu.
DENPASAR, NusaBali
Sosok ini yang melahirkan anak-anak bangsa dari rahimnya. Selain melakukan berbagai pekerjaan domestik rumah tangga mulai dari mengurus anak, melayani suami, mengatur keuangan keluarga, termasuk kegiatan adat dan lain-lain, seorang ibu atau wanita juga tetap harus mandiri, dengan berkarir sesuai keahliannya. Singkatnya, kemampuan seorang ibu itu multitalenta.
Tapi seringkali ibu yang bekerja mengalami dilema dalam memberikan waktu luang terhadap keluarga kecilnya. Menurut seorang ibu yang juga bekerja sebagai dokter spesialis radiologi di RSUP Sanglah Denpasar, dr Pande Putu Yuli Ananda Sari SpRad, bukan berapa lama waktu yang bisa diluangkan, tapi seberapa berkualitasnya hubungan yang dibina meski waktu luang sangat sedikit.
“Kalau soal waktu luang memang kita (ibu bekerja, red) akui kurang, berbeda dengan mereka yang sepenuhnya jadi ibu rumah tangga, tinggal di rumah. Tapi kita bisa upayakan kualitas hubungan dengan anggota keluarga, anak-anak maupun pasangan menjadi lebih baik selama kumpul di waktu luang. Jadi bukan berapa lama waktunya, tapi seberapa berkualitas hubungan dan interaksi yang diupayakan selama waktu luang yang sedikit itu,” ujar ibu empat anak ini saat ditemui di ruangan khusus radiologi Paviliun Amerta RSUP Sanglah, Jumat (20/12) lalu.
Dokter Pande Ananda yang juga istri dari Direktur Utama RSUP Sanglah, dr I Wayan Sudana MKes ini memulai karirnya sebagai dokter umum sejak sebelum menikah. Setelah melahirkan anak, dia memutuskan untuk tetap bekerja. Bahkan dr Pande Ananda juga melanjutkan kuliah spesialis radiologinya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta kala itu. Menurutnya, seorang ibu meski memiliki tanggung jawab mengasuh anak, tapi tetap harus memaksimalkan potensi yang dimilikinya.
“Saya memang dari awal sudah melihat contohnya. Bagaimana seorang ibu tidak hanya mengasuh anak, tapi juga bekerja dan berusaha. Salah satunya nenek saya yang punya usaha tenun, tapi tetap bisa menjalankan fungsinya di keluarga maupun masyarakat. Ibu saya juga demikian. Jadi PNS dan aktif sekali kegiatan Dharma Wanita, tapi tidak pernah meninggalkan tugasnya sebagai ibu. Mereka saja bisa, kenapa saya tidak,” ceritanya.
“Seorang wanita sebetulnya mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar, karena memiliki daya tahan yang alami. Kemudian kemampuan untuk menghandle beberapa kegiatan dalam waktu yang bersamaan. Berbeda dengan laki-laki. Seorang wanita juga harus memaksimalkan potensi yang dimiliki,” imbuh dokter asal Desa Beng, Gianyar tersebut.
Diakui, masa yang paling sulit mengatur waktu adalah ketika buah hati masih berusia bayi dan tidak bisa ditinggal sepenuhnya. Apalagi masa-masa itu, dr Pande Ananda beserta sang suami bertugas di luar Bali, sehingga praktis tidak ada keluarga lain di dekat mereka. Saat itu, dia sempat menggunakan jasa babysitter. Meski demikian, karena dr Pande Ananda memilih spesialisasi radiologi yang tergolong tidak terlalu berat seperti spesialisasi lain, dia tetap bisa memaksimalkan perannya mengasuh anak. Saat menempuh pendidikan spesialisasi pun, dr Pande Ananda merasa cukup terbantu dengan adanya Tempat Penitipan Anak (TPA) di RS Sardjito Jogjakarta. Karena itu, dr Pande Ananda yang juga selaku Ketua Dharma Wanita Persatuan RSUP Sanglah ingin setiap rumah sakit dilengkapi dengan fasilitas TPA untuk menunjang program sayang ibu.
“TPA ini tentu sangat membantu ibu-ibu yang bekerja agar tetap bisa mendampingi anaknya. Sehingga PAUD di sini kami beri nama RSUP Sanglah Sayang Ibu. Yang disayang justru ibunya, karena diberikan selalu dekat dengan anaknya. Ada tiga tingkatan di TPA ini, yakni taman pengasuh anak, kelompok bermain, dan TK. Setelah anak berumur enam bulan, boleh dititip di sana, dan sebagian besar memang anak-anak pegawai RSUP Sanglah yang dititipkan di sini. Sehingga mereka tenang bekerja, di sisi lain mereka bisa lihat anak saat jam istirahat,” jelasnya.
Intinya, menjadi sepenuhnya ibu rumah tangga, atau ibu yang sambil bekerja adalah pilihan masing-masing. Akan tetapi, meski memilih sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga, kata dokter kelahiran 25 Juli 1969 ini, ibu juga tetap harus mandiri. “Kalau saya lihat di lingkungan rumah, walaupun mereka ibu-ibu IRT tinggal di rumah, tapi rata-rata mereka punya penghasilan. Misalnya dengan memanfaatkan media sosial untuk jualan canang atau pejati. Menurut saya, semua orang pasti mengalami fase berat dalam hidupnya. Jalani semua dengan ikhlas saja, jangan dijadikan beban. Pasti akan terasa menyenangkan,” tandasnya.*int
Tapi seringkali ibu yang bekerja mengalami dilema dalam memberikan waktu luang terhadap keluarga kecilnya. Menurut seorang ibu yang juga bekerja sebagai dokter spesialis radiologi di RSUP Sanglah Denpasar, dr Pande Putu Yuli Ananda Sari SpRad, bukan berapa lama waktu yang bisa diluangkan, tapi seberapa berkualitasnya hubungan yang dibina meski waktu luang sangat sedikit.
“Kalau soal waktu luang memang kita (ibu bekerja, red) akui kurang, berbeda dengan mereka yang sepenuhnya jadi ibu rumah tangga, tinggal di rumah. Tapi kita bisa upayakan kualitas hubungan dengan anggota keluarga, anak-anak maupun pasangan menjadi lebih baik selama kumpul di waktu luang. Jadi bukan berapa lama waktunya, tapi seberapa berkualitas hubungan dan interaksi yang diupayakan selama waktu luang yang sedikit itu,” ujar ibu empat anak ini saat ditemui di ruangan khusus radiologi Paviliun Amerta RSUP Sanglah, Jumat (20/12) lalu.
Dokter Pande Ananda yang juga istri dari Direktur Utama RSUP Sanglah, dr I Wayan Sudana MKes ini memulai karirnya sebagai dokter umum sejak sebelum menikah. Setelah melahirkan anak, dia memutuskan untuk tetap bekerja. Bahkan dr Pande Ananda juga melanjutkan kuliah spesialis radiologinya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta kala itu. Menurutnya, seorang ibu meski memiliki tanggung jawab mengasuh anak, tapi tetap harus memaksimalkan potensi yang dimilikinya.
“Saya memang dari awal sudah melihat contohnya. Bagaimana seorang ibu tidak hanya mengasuh anak, tapi juga bekerja dan berusaha. Salah satunya nenek saya yang punya usaha tenun, tapi tetap bisa menjalankan fungsinya di keluarga maupun masyarakat. Ibu saya juga demikian. Jadi PNS dan aktif sekali kegiatan Dharma Wanita, tapi tidak pernah meninggalkan tugasnya sebagai ibu. Mereka saja bisa, kenapa saya tidak,” ceritanya.
“Seorang wanita sebetulnya mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar, karena memiliki daya tahan yang alami. Kemudian kemampuan untuk menghandle beberapa kegiatan dalam waktu yang bersamaan. Berbeda dengan laki-laki. Seorang wanita juga harus memaksimalkan potensi yang dimiliki,” imbuh dokter asal Desa Beng, Gianyar tersebut.
Diakui, masa yang paling sulit mengatur waktu adalah ketika buah hati masih berusia bayi dan tidak bisa ditinggal sepenuhnya. Apalagi masa-masa itu, dr Pande Ananda beserta sang suami bertugas di luar Bali, sehingga praktis tidak ada keluarga lain di dekat mereka. Saat itu, dia sempat menggunakan jasa babysitter. Meski demikian, karena dr Pande Ananda memilih spesialisasi radiologi yang tergolong tidak terlalu berat seperti spesialisasi lain, dia tetap bisa memaksimalkan perannya mengasuh anak. Saat menempuh pendidikan spesialisasi pun, dr Pande Ananda merasa cukup terbantu dengan adanya Tempat Penitipan Anak (TPA) di RS Sardjito Jogjakarta. Karena itu, dr Pande Ananda yang juga selaku Ketua Dharma Wanita Persatuan RSUP Sanglah ingin setiap rumah sakit dilengkapi dengan fasilitas TPA untuk menunjang program sayang ibu.
“TPA ini tentu sangat membantu ibu-ibu yang bekerja agar tetap bisa mendampingi anaknya. Sehingga PAUD di sini kami beri nama RSUP Sanglah Sayang Ibu. Yang disayang justru ibunya, karena diberikan selalu dekat dengan anaknya. Ada tiga tingkatan di TPA ini, yakni taman pengasuh anak, kelompok bermain, dan TK. Setelah anak berumur enam bulan, boleh dititip di sana, dan sebagian besar memang anak-anak pegawai RSUP Sanglah yang dititipkan di sini. Sehingga mereka tenang bekerja, di sisi lain mereka bisa lihat anak saat jam istirahat,” jelasnya.
Intinya, menjadi sepenuhnya ibu rumah tangga, atau ibu yang sambil bekerja adalah pilihan masing-masing. Akan tetapi, meski memilih sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga, kata dokter kelahiran 25 Juli 1969 ini, ibu juga tetap harus mandiri. “Kalau saya lihat di lingkungan rumah, walaupun mereka ibu-ibu IRT tinggal di rumah, tapi rata-rata mereka punya penghasilan. Misalnya dengan memanfaatkan media sosial untuk jualan canang atau pejati. Menurut saya, semua orang pasti mengalami fase berat dalam hidupnya. Jalani semua dengan ikhlas saja, jangan dijadikan beban. Pasti akan terasa menyenangkan,” tandasnya.*int
1
Komentar