Melawan Intoleransi, Meraih Harmoni
PROYEKSI 2020 Bidang HUKRIM
Pelangi terlihat indah karena ada perbedaan warna di dalamnya
Alunan musik terdengar merdu karena nada-nada yang berbeda satu satu dengan lainnya dan saling menyatu dalam harmonisasi irama. Begitu juga budaya bangsa Indonesia terlihat unik dan menarik di mata dunia, bukan karena satu budaya, satu bahasa, satu agama, melainkan justru semua unsur itu penuh dengan perbedaan dan keberagaman di dalamnya.
Lantas, mengapa belakangan ini kasus intoleransi di negeri kita semakin marak? Apakah keharmonisan yang sudah berjalan sejauh ini ternyata hanya semu belaka? Ataukah ikatan toleransi di antara kita memang merenggang?
Lihat saja catatan Imparsial yang menemukan puluhan kasus pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) atau intoleransi di Indonesia dalam kurun waktu setahun terakhir. Koordinator Program Imparsial, Ardimanto Adiputra, mengatakan pelanggaran terhadap hak KKB terjadi dalam pelbagai bentuk.
"Setidaknya, terdapat 31 kasus yang kami monitoring lewat media-media pelanggaran hak terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan," kata Ardimanto di kantornya, Jakarta, belum lama ini.
Pelanggaran hak KKB didominasi oleh pelarangan terhadap ritual, pengajian, ceramah atau pelaksanaan kepercayaan agama yang terjadi sebanyak 12 kasus. Urutan berikutnya adalah pelarangan pendirian rumah atau tempat ibadah dengan 11 kasus, perusakan terhadap rumah ibadah, baik gedung ataupun properti dengan (3 kasus), dan pelarangan terkait kebudayaan etnis tertentu dalam hal ini Cap Gomeh (2 kasus). “Kemudian yang kelima, ada pengaturan tentang tata cara berpakaian berkaitan dengan agama atau keyakinan tertentu. Ini ada satu kasus," terang Ardimanto.
Pelanggaran berikutnya adalah perihal imbauan atau edaran tentang aliran agama tertentu (1 kasus). Poin terakhir adalah terkait penolakan untuk bertetangga dengan orang yang tidak seagama. "Ini juga terjadi sebanyak satu kasus)," tandasnya.
Persoalan intoleransi dalam masyarakat terjadi karena menguatnya kelompok-kelompok yang mengusung pemikiran radikal dengan memandang kelompok lain ‘berbeda’ khususnya dalam hal beragama. Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal TNI (Purn) AM Hendroprioyono, pemikiran radikalisme inilah yang merupakan embrio lahirnya terorisme. Dengan demikian, memupuk sikap intoleransi hanya akan menuai terorisme.
Sikap dan pemahaman radikal yang dimotivasi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, penafsiran kitab suci yang sempit, kekecewaan terhadap pemerintah dan sebagainya, seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme.
Runyamnya, di era teknologi modern seperti sekarang, pemikiran intoleran dan radikal seolah menemukan jalan untuk menumbuhsuburkan sikap mereka melalui media sosial yang belakangan ini semakin beragam, mulai dari facebook, twitter, WhatsApp, hingga Youtube. Layaknya pisau bermata dua, sarana-sarana media sosial yang tersedia, di satu sisi bisa untuk menyebarkan kebaikan. Tapi, di sisi lain, media sosial dipakai untuk membagikan informasi dan konten-konten intoleransi.
Bertolak dari kondisi ini, masyarakat mesti cerdas dalam bermedia sosial. Jangan sampai terpancing dengan pesan tendensius. Jangan termakan konten beraroma provokatif intoleransi. Semua pihak mesti saling mengingatkan untuk dapat berinteraksi secara sehat di media sosial.
Segaris dengan itu, lawanlah berita bohong, ujaran kebencian, dan konten intoleransi dengan unggahan-unggahan positif. Bisa dengan konten tentang betapa baiknya kebersamaan, tentang indahnya damai dalam keberagaman, sehingga sikap itu akan menuntun bangsa ini kepada kehidupan berbangsa yang harmonis dan penuh kedamaian.
Menurut pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, melawan radikalisme tak bisa dilakukan dengan cara kekerasan. Dia menilai justru bakal memunculkan dendam dan berpotensi menimbulkan aksi teror lainnya, jika kekerasan yang ditempuh oleh pemerintah.
Senada dengan Abu Ulya, Direktur International Association for Counter Terrorism and Security Professionals Center for Security Studies (IACSP) Indonesia, Raykan Adi Brata, mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi aksi teror adalah dengan mencegah orang berpikir intoleran. Selain itu, perlu juga menekan penyebaran radikalisme.
Mengapa? Menurut Raykan Adi Brata, radikalisme memang tak bisa dilepaskan kaitannya dengan terorisme. Premisnya, kata Rakyan, tidak ada terorisme tanpa radikalisme. Dan, yang lebih penting lagi, diketahui bahwa bibit radikalisme adalah intoleransi.
Ibarat kanker yang bisa menjadi stadium lanjut bila pantangan-pantangan medis diterabas oleh penderitanya, maka untuk ‘membunuh’ pemikiran-pemikiran radikal dalam masyarakat yang berpotensi menjadi teror, masyarakat diminta untuk cerdas, cermat, dan cepat menutup akses semua pemikiran dan sikap intoleransi.
Kembali kepada pengantar di atas, pelangi terlihat keindahannya karena di dalamnya memancarkan aneka warna. Bangsa ini terlihat unik, menarik, dan dikagumi banyak bangsa dunia, karena dalam perjalanannya, mampu membuktikan bahwa beragam perbedaan agama, suku, dan bahasa bangsa mampu mewujudkan kedamaian. *
Hardinah Sistriani
Wartawan NusaBali
Komentar