Mengelola Sampah Memang Tidak Mudah
PROYEKSI 2020 Bidang LINGKUNGAN
PLASTIK sudah menjadi barang yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia.
Pemakaian plastik berlebihan, akan berdampak pada volume timbulan sampah yang melimpah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R Jambeck dari University of Georgia tahun 2010, ada 275 juta ton sampah plastik yang dihasilkan di seluruh dunia. Sekitar 4,8 juta ton - 12,7 juta ton di antaranya terbuang dan mencemari laut.
Indonesia memiliki populasi pesisir sebesar 187,2 juta jiwa, yang setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik. Sekitar 0,48 juta ton - 1,29 juta ton dari sampah plastik tersebut diduga mencemari lautan.
Data itu juga menyebut bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia. China memimpin dengan tingkat pencemaran sampah plastik ke laut sekitar 1,23 juta ton - 3,53 juta ton per tahun (cnbcindonesia.com).
Angka ini mengejutkan. Padahal, jumlah penduduk pesisir Indonesia hampir sama dengan India, yaitu 187 juta jiwa. Namun, tingkat pencemaran plastik ke laut di India hanya sekitar 0,09 juta ton - 0,24 juta ton per tahun dan menempati urutan ke-12 di dunia. Artinya, memang ada sistem pengelolaan sampah yang buruk di Indonesia.
Bagaimana dengan Bali? Gubernur Bali Wayan Koster telah terbikan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Belum setahun Pergub tersebut diteken, dampaknya sudah dirasakan industri plastik.
Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) menyebutkan pengiriman produk plastik ke Bali turun 30–40 persen sejak Januari sampai awal Juni 2019. Hal ini terjadi setelah Gubernur Bali menerbitkan aturan terkait larangan penggunaan kantong plastik, styrofoam, dan sedotan plastik, Desember 2018 lalu.
Sekjen Inaplas, Fajar Budiono, mengatakan belum menghitung nominal kerugian secara pasti terkait dampak aturan tersebut. Menurut Fajar, jumlah produk plastik yang dikirim ke Bali rata-rata sebanyak 5.000 ton per bulan. Produk itu tak hanya kantong plastik, tapi juga sedotan, gelas, pembungkus makanan ringan, pembungkus kaos, dan lain-lain. Fajar menyebutkan, kalau hanya kantong plastik, sedotan, dan styrofoam yang dikirim ke Bali, diperkirakan sebanyak 1.500 ton per bulan (cnnindonesia.com).
Pergub Nomor 97 Tahun 2018 tersebut juga diikuti institusi di bawahnya, mulai dari pendidikan, sosial, hingga adat. Krama adat mengikutinya dengan menerbitkan larangan pemakaian kantong plastik di pura, terutama saat ada karya atau upacara. Diharapkan, terbitnya Pergub 97/2018 yang disertai gerakan masif Bali bebas sampah plastik tersebut, bisa menekan dan meminimalkan volume sampah plastik, agar Bali tidak menjadi pulau plastik.
Persoalan sampah tak berhenti di situ. Penghadangan truk pengangkut sampah ke TPA Sarbagita Suwung, Denpasar Selatan, membuat Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) Kota Denpasar dan Dinas LHK Kabupaten Badung kelabakan. Bahkan ujungnya, truk-truk pengangkut sampah dari Kabupaten Badung tidak lagi diizinkan mengirim sampah ke TPA Suwung.
Upaya Pemkab Badung mengatasi persoalan sampah tak sepenuhnya lancar. Warga yang wilayahnya dibidik untuk dijadikan tempat pengelolaan sampah (TPS) sementara, justru menolak. Tawaran agar tanah Pemprov Bali di kawasan Kecamatan Kuta Selatan dijadikan TPS sementara, juga tak bisa diterima. Alasan penolakann, karena dekat kawasan tempat suci, sarana akomodasi wisata, dan tentu saja dampak pencemaran lingkungan.
Akhirnya, Pemkab Badung memilih solusi penanganan sampah secara mandiri. TPS sementara ditetapkan lokasinya di samping Terminal Mengwi, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Badung. Kemudian, di kawasan Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Badung juga direncanakan dibangun tempat pembuangan akhir (TPA) dengan konsep Canggu Recycle Park. Konsep tersebut telah didahului Benoa Recycle Park, yang menampung sampah dari kawasan sekitar Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, seperti Bualu, Kampial, dan Desa Peminge.
Untuk jangka panjang, Pemkab Badung menargetkan tahun 2021 dapat mengelola sampah secara mandiri. Untuk menuju Badung mandiri pengelolaan sampah, Bupati I Nyoman Giri Prasta langsung menginstruksikan supaya 62 desa/kelurahan di Kabupaten Badung menyiapkan lokasi untuk pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST).
Isu lingkungan yang juga mencuat di 2019 adalah reklamasi kawasan Pelabuhan Benoa, Denpasar Selatan, yang ternyata tidak sesuai dengan standar teknis, sehingga limbah materialnya meluber ke areal mangrove, yang kemudian berakibat pada tanaman yang adalah ‘benteng’ bagi pesisir pantai tersebut menjadi banyak yang mati.
Atas kejadian tersebut, Kemenko Maritim mengakui adanya kesalahan dalam pelaksanaan, dan memohon maaf kepada segenap komponen masyarakat Bali. Dampak penumpukan material itu berupa penyebaran sedimen ke luar area Dumping Site 2 hingga mengakibatkan matinya tanaman mangrove di sekitar kawasan tersebut.
Untuk menangani masalah tersebut, PT Pelindo III tidak akan melanjutkan rencana perluasan pelabuhan, melainkan mulai menata, memitigasi dampak, dan merestorasi kondisi lingkungan perairan dan kawasan di Pelabuhan Benoa Denpasar, Bali.
Gubernur Koster menyebutkan, pembangunan di kawasan Pelabuhan Benoa tetap berlanjut, namun hanya untuk fasilitas yang mendukung fungsi utama pelabuhan, seperti terminal untuk bahan bakar minyak (BBM), terminal gas alam cair, dan dukungan avtur untuk bandara. Di luar kepentingan itu, tidak ada bentuk pembangunan lain seperti hotel, restoran, dan lain-lain. Sisa lahan yang tersedia, akan diperuntukkan menjadi kawasan terbuka hijau.
Penghadangan truk sampah membuat kabupaten dan kota dipaksa untuk mencari solusi, baik lintas sektoral maupun mandiri. Karena daya tampung TPA Sarbagita Suwung akan memiliki batas waktu. Sebelum batas waktu itu tiba, sudah pasti akan ada dampak dari timbunan sampah, seperti kebakaran berkepanjangan, dan tentu saja bau/polusi udara.
Isu lingkungan dalam hal ini penanganan sampah dan limbah ibarat bom waktu. Tampak namun hanya selintas dan cenderung terabaikan. Calon pemimpin daerah, dari tingkat terkecil hingga kabupaten/kota dan provinsi, selayaknya dalam visi misi mereka menyertakan pembahasan isu lingkungan, terkhusus mengenai pengelolaan dan penanganan sampah. Dan itu mesti dikawal, dengan regulasi hingga implementasi. *
Ana Bintarti
Wartawan NusaBali
Komentar