Masatua Bukan Sekadar Jadi Pengantar Tidur
Pesan Made Taro kepada Krama Bali
DENPASAR, NusaBali
MENDONGENG atau masatua, salah satu tradisi lisan orang. Tradisi ini tak sekadar untuk meninabobokan anak-anak menjelang tidur. Namun masatua bisa menjadi jejak penguat karakter anak-anak Bali. Karena lewat dongeng, anak-anak mendapat pelajaran dan menangkap tentang perbuatan baik dan perbuatan buruk. Selain itu, pesan-pesan tentang etika, kasih sayang, hubungan sosial dan lainnya.
I Made Taro, tokoh dan penggiat dongeng asal Desa Sengkidu, Kecamatan Manggis Karangasem, menyebut memang melalui mendongeng karakter positif ditanamkan kepada anak-anak. Karakter tersebut jujur, disiplin, hormat kepada orang tua, menghargai pendapat orang lain, kerja keras, tanggung jawab, berani membela yang benar. Karakter-karakter tersebut pada akhirnya bermuara meniadi indentitas/ karakter bangsa.
Tak rela salah satu tradisi lisan pembentuk karakter luhur anak-anak itu tergerus arus modernitas, Taro jauh-jauh hari mengambil ikhtiar menyelamatkan’ tradisi mendongeng dengan caranya sendiri. Itu berawal dari tahun 1973. “Orang mulai jarang menyanyikan lagu anak-anak. Demikian juga permainan tradisional jarang dilakukan,” kenang Taro tentang awal dia bergelut di dunia dongeng dan permainan tradisional anak-anak.
Ditemui beberapa waktu lalu, Taro menuturkan banyak anak-anak yang bengong-bengong kurang aktif sebagaimana ketika Taro masa kanak-kanak. Temuan itu menyebabkan Taro, yang ketika sebagai guru di SMA 2 Denpasar di Wangaya Klod, Denpasar merasa khawatir. Sebagai orang Bali yang kental dengan tradisi, Taro tidak rela tradisi-tradisi ‘warisan’ tersebut sirna, dilibas arus modernisasi. Apalagi tradisi-tradisi tersebut dia nilai merupakan media edukasi yang sangat bermanfaat membentuk karakter anak-anak. Karenanya Taro pun menggagas dan membentuk ‘Rumah Dongeng’ – tempat anak-anak bermain, belajar dan mendengarkan dongeng dibentuk Taro di Wangaya Klod, Denpasar. Di sana anak-anak bercengkrema, menikmati belajar mendongeng dan juga mengenal aneka permainan tradisional/permainan rakyat.
Hanya saja dengan syarat. Anak-anak yang ikut dalam komunitas ‘Rumah Dongeng’ harus sudah merampungkan ‘kewajiban anak-anaknya’. Kewajiban tersebut, sudah mandi sore, sudah selesai mengerjakan PR, sudah makan dan tentu saja berpakaian rapi.“Ini pembelajaran disiplin,” kisah Taro.
Ikhtiar Taro mendapat respon positif, baik dari anak-anak maupun kalangan orang tua. Itu pula meningkatkan semangat Taro mengembangkan ‘ Rumah Dongeng’. Sanggar Kukuruyuk yang dia bentuk 15 Juni 1979, merupakan perkembangan dari ‘Rumah Dongeng’.Sanggar Kukuruyuk konsern pada dunia anak-anak yakni permainan tradisional, lagu anak-anak dan permainan rakyat. Tayangan perdana di televisi (TVRI) dalam bentuk Operet yakni gabungan ketiga dunia anak-anak yakni permainan, gegendingan (lagu) bali dan dongeng dalam satu pertunjukkan. Sampai sekarang ini masih melakoni aktivitasnya, jadi tempat anak-anak mengenal dan belajar tentang permainan, dongeng dan lagu anak-anak (Bali).
Dari awalnya satu, kini Sanggar Kukuruyuk hadir di 5 lokasi. Empat di Denpasar, satu di Batuyang, Sukawati, Gianyar. Semuanya berada di sekolah dasar (SD). Lewat sanggar ini Taro berharap bisa melestarikan dan menggairahkan tradisi mendongeng-dan menghidupkan permainan rakyat dan lagu anak-anak. Dia bersyukur karena kini dia merasakan sudah tidak lagi sendirian. Perhatian atau atensi pemerintah sudah terasa. Salah satunya Undang- Undang Pemajuan Kebudayaan. Dimana bentuk-bentuk budaya daerah yang diantaranya terdiri dari tradisi lisan, permainan rakyat dan olahraga tradisional mendapat atensi.
Di masyarakat sendiri, kata Taro juga mulai muncul kesadaran dan gairah untuk membangkitkan kembali kekakayaan budaya tradisional, salah satunya mendongeng. “Tiyang kerap mendapatkan undangan untuk jadi pembicara ataupun mendongeng,” tunjuk Taro menyebut beberapa event seperti Ubud Writes Festival dan lainnya. Taro mengiyakan kemajuan teknologi membawa pengaruh terhadap banyak tradisi. Namun tetap harus ada ikhtiar untuk melestarikan tradisi. Yang baik tentu bisa memanfaatkan teknologi untuk mendukung upaya pelestarian tradisi-tradisi yang sarat nilai. “Tiyang misalnya sering memanfaatkan barang bekas (industri)untuk peralatan mendongeng,” ucapnya.*nta
I Made Taro, tokoh dan penggiat dongeng asal Desa Sengkidu, Kecamatan Manggis Karangasem, menyebut memang melalui mendongeng karakter positif ditanamkan kepada anak-anak. Karakter tersebut jujur, disiplin, hormat kepada orang tua, menghargai pendapat orang lain, kerja keras, tanggung jawab, berani membela yang benar. Karakter-karakter tersebut pada akhirnya bermuara meniadi indentitas/ karakter bangsa.
Tak rela salah satu tradisi lisan pembentuk karakter luhur anak-anak itu tergerus arus modernitas, Taro jauh-jauh hari mengambil ikhtiar menyelamatkan’ tradisi mendongeng dengan caranya sendiri. Itu berawal dari tahun 1973. “Orang mulai jarang menyanyikan lagu anak-anak. Demikian juga permainan tradisional jarang dilakukan,” kenang Taro tentang awal dia bergelut di dunia dongeng dan permainan tradisional anak-anak.
Ditemui beberapa waktu lalu, Taro menuturkan banyak anak-anak yang bengong-bengong kurang aktif sebagaimana ketika Taro masa kanak-kanak. Temuan itu menyebabkan Taro, yang ketika sebagai guru di SMA 2 Denpasar di Wangaya Klod, Denpasar merasa khawatir. Sebagai orang Bali yang kental dengan tradisi, Taro tidak rela tradisi-tradisi ‘warisan’ tersebut sirna, dilibas arus modernisasi. Apalagi tradisi-tradisi tersebut dia nilai merupakan media edukasi yang sangat bermanfaat membentuk karakter anak-anak. Karenanya Taro pun menggagas dan membentuk ‘Rumah Dongeng’ – tempat anak-anak bermain, belajar dan mendengarkan dongeng dibentuk Taro di Wangaya Klod, Denpasar. Di sana anak-anak bercengkrema, menikmati belajar mendongeng dan juga mengenal aneka permainan tradisional/permainan rakyat.
Hanya saja dengan syarat. Anak-anak yang ikut dalam komunitas ‘Rumah Dongeng’ harus sudah merampungkan ‘kewajiban anak-anaknya’. Kewajiban tersebut, sudah mandi sore, sudah selesai mengerjakan PR, sudah makan dan tentu saja berpakaian rapi.“Ini pembelajaran disiplin,” kisah Taro.
Ikhtiar Taro mendapat respon positif, baik dari anak-anak maupun kalangan orang tua. Itu pula meningkatkan semangat Taro mengembangkan ‘ Rumah Dongeng’. Sanggar Kukuruyuk yang dia bentuk 15 Juni 1979, merupakan perkembangan dari ‘Rumah Dongeng’.Sanggar Kukuruyuk konsern pada dunia anak-anak yakni permainan tradisional, lagu anak-anak dan permainan rakyat. Tayangan perdana di televisi (TVRI) dalam bentuk Operet yakni gabungan ketiga dunia anak-anak yakni permainan, gegendingan (lagu) bali dan dongeng dalam satu pertunjukkan. Sampai sekarang ini masih melakoni aktivitasnya, jadi tempat anak-anak mengenal dan belajar tentang permainan, dongeng dan lagu anak-anak (Bali).
Dari awalnya satu, kini Sanggar Kukuruyuk hadir di 5 lokasi. Empat di Denpasar, satu di Batuyang, Sukawati, Gianyar. Semuanya berada di sekolah dasar (SD). Lewat sanggar ini Taro berharap bisa melestarikan dan menggairahkan tradisi mendongeng-dan menghidupkan permainan rakyat dan lagu anak-anak. Dia bersyukur karena kini dia merasakan sudah tidak lagi sendirian. Perhatian atau atensi pemerintah sudah terasa. Salah satunya Undang- Undang Pemajuan Kebudayaan. Dimana bentuk-bentuk budaya daerah yang diantaranya terdiri dari tradisi lisan, permainan rakyat dan olahraga tradisional mendapat atensi.
Di masyarakat sendiri, kata Taro juga mulai muncul kesadaran dan gairah untuk membangkitkan kembali kekakayaan budaya tradisional, salah satunya mendongeng. “Tiyang kerap mendapatkan undangan untuk jadi pembicara ataupun mendongeng,” tunjuk Taro menyebut beberapa event seperti Ubud Writes Festival dan lainnya. Taro mengiyakan kemajuan teknologi membawa pengaruh terhadap banyak tradisi. Namun tetap harus ada ikhtiar untuk melestarikan tradisi. Yang baik tentu bisa memanfaatkan teknologi untuk mendukung upaya pelestarian tradisi-tradisi yang sarat nilai. “Tiyang misalnya sering memanfaatkan barang bekas (industri)untuk peralatan mendongeng,” ucapnya.*nta
Komentar