Terapi 'Cuci Otak' di RSUP Sanglah Sudah Berjalan Sejak 2010
Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranti SpRad (K) Tinjau Kesiapan Layanan DSA RSUP Sanglah
Dalam seminggu, RSUP Sanglah tangani 3-4 pasien penderita stroke untuk terapi Cuci Otak. Guna mendapatkan layanan ini, pasien harus merogoh kocek Rp 15 hingga Rp 17 juta untuk sekali terapi Cuci Otak
DENPASAR, NusaBali
Menteri Kesehatan RI, Letjen TNI (Purn) dr Terawan Agus Putranto SpRad (K), menjadi keynote speaker dalam seminar sehari bertajuk ‘Cerebrovaskuler Service Update’ yang diselenggarakan di Aula Poliklinik RSUP Sanglah, Denpasar, Sabtu (28/12). Kegiatan ini sekaligus jadi momentum bagi Menkes tinjai kesiapan layanan ‘Cuci Otak’ di RSUP Sanglah. Teriungkap, layanan terapi ‘Cuci Otak’ di RSUP Sanglah sudah berlangsung selama 9 tahun sejak 2010.
Dalam seminar kemarin, Menkes dr Terawan Agus Putranto membeberkan soal layanan metode Digital Substraction Angiography (DSA), yang lebih dikenal de-ngan terapi ‘Cuci Otak’ untuk penyembuhan penyakit stroke. Meski layanan DSA yang notabene merupakan hasil temuannya ini sempat kontroversial di masyarakat, namun dr Terawan tegaskan terapi Cuci Otak bisa dilakukan di Indonesia. Apalagi, ini sudah memiliki dasar yakni Surat Menteri Kesehatan yang diterbitkan era Menkes dr Nila F Moeloek, bahwa terapi Cuci Otak tidak menyalahi aturan kesehatan.
Menurut dr Terawan, metode DSA merupakan hasil temuannya sekitar tahun 2005. Saat ini, terapi Cuci Otak bahkan telah diterapkan di Jerman, dengan nama paten ‘Terawan Theory’. Namun, temuannya ini sempat menimbulkan kontroversi, hingga dr Terawan santer diberitakan dipecat sementara dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI menjatuhkan sanksi kepada dr Terawan selama setahun, sejak 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019. Kon-troversi terjadi karena metode DSA dinilai tidak ilmiah dan belum uji klinis. Meski sempat menjadi kontroversi, namun nyatanya metode DSA ini telah mampu mem-bantu kesembuhan para penderita stroke.
Usai seminar kemarin, Menkes dr Terawan menyempatkan diri meninjau peralatan layanan Cuci Otak di RSUP Sanglah. Dia menegaskan, layanan terapi Cuci Otak ini bisa diterapkan di Indonesia, termasuk rumah sakit di Bali. “Ya jelas (bisa), wong murid saya ada di mana-mana, kenapa nggak diterapkan? Surat dari Menkes (sebelumnya) pun ada, bukan Menkes saya yang nulis lho. Artinya objektif, riset by services. Sama dengan pelayanan yang lain, harus terus dikembangkan,” tandas dr Terawan.
Menkes yang notabene mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSP-AD) Gatot Soebroto Jakarta ini mengungkapkan, metode DSA sudah ada empiris dan risetnya juga telah berjalan. Yang diperlukan tinggal Standar Operasional Pro-sedur (SOP) dari masing-masing rumah sakit yang ingin mengembangkan layanan DSA ini. “SOP kan bisa dibuat oleh masing-masing rumah sakit. Itu adalah hospi-tal by law, yang ditentukan oleh kepala rumah sakit. Jadi, sah itu kalau dikerjakan,” katanya.
Disebutkan, metode DSA bisa diterapkan di RSUP Sanglah, apalagi rumah sakit ini merupakan rumah sakit terbesar di Bali. Sekarang tergantung niat dan komitmen RS masing-masing dalam menggunakan metode DSA ini untuk membantu kesehatan masyarakat. “SDM-nya di sini (RSUP Sanglah) sudah siap, peralatannya sudah ada. Ini bukan soal anggaran, tapi butuh niat dan komitmen. Kalau niat dan komitmen tidak ada, ya percuma. Kalau soal anggaran, itu bisa dicari,” tegas dokter asal Sitisewu, Jogjakarta ini.
Sementara itu, Kepala Departemen Radiologi FK Unud/RSUP Sanglah, Sub Radi-ologi Intervensi, dr Firman Parulian Sitanggang, mengatakan metode DSA atau Cu-ci Otak sebenarnya telah dilakukan di RSUP Sanglah sejak tahun 2010. Bahkan, setiap minggunya ada 3-4 pasien stroke mengikuti terapi Cuci Otak di RSUP Sang-lah. Pasien tersebut bukan hanya dari Bali, tapi juga asal NTB, bahkan sampai Ti-mor Leste.
“Setiap minggu ada 3-4 pasien yang kami tangani (dengan layanan DSA) di RSUP Sanglah. Yang bisa pakai layanan ini adalah stroke yang non hemoragik. Semakin cepat ditangani, semakin baik. Selama ini, (penanganan Cuci Otak) aman-aman saja,” ungkap dr Firman.
“Seperti kata Pak Menteri, yang terpenting adalah kualitas hidup pasien kita bisa tingkatkan. Misalnya, dari tidak bisa angkat tangan, jadi bisa angkat tangan. Dari yang nggak bisa berdiri, jadi bisa berdiri. Tapi, fisioterapi tetap harus dilakukan, agar latihan ototnya membuat lebih bagus. Biasanya, setelah 6 bulan, kami berikan layanan DSA lagi agar jadi lebih baik,” imbuh Ketua Perkumpulan Dokter Spesialis Radiologi ini.
Menurut dr Firman, banyaknya seorang penderita harus menjalani layanan Cuci Otak tergantung lama stroke yang dideritanya. Untuk mendapatkan layanan ini, penderita harus merogoh kocek sebesar Rp 15 hingga Rp 17 juta untuk sekali Cuci Otak. Pelayanan jenis ini belum ditanggung BPJS Kesehatan.
“Kalau pasien stroke-nya baru, satu kali (layanan DSA) cukup. Beberapa pasien saya satu kali cukup. Layanan ini memang belum ditanggung BPJS Kesehatan. Mu-ngkin karena pemeriksaannya, katakanlah pemeriksaan eksklusif, sehingga tidak dibebankan ke BPJS Kesehatan. Tapi, untuk TACI (Trans Arterial Chemo Infusion) itu ditanggung BPJS Kesehatan,” jelas dr Firman.
Disinggung mengenai peralatas DSA, menurut dr Firman, RSUP Sanglah memiliki tiga alat. Namun, dua alat sudah digunakan untuk pelayanan jantung, sedangkan alat untuk DSA di Radiologi hanya satu. Itu pun sedang rusak pada bagian tertentu, sehingga buat sementara meminjam alat setelah pelayanan jantung.
“Jadinya, kami tidak bisa kerjakan layanan DSA pagi hari, karena alat masih dipri-oritaskan buat jantung. Biasanya, sore di atas pukul 16.00 Wita baru bisa saya ta-ngani pasien dengan layanan DSA,” tandas dr Firman. Pasca peninjuan alat DSA di RSUP Sanglah kemarin, Menkes dr Terawan akan langsung menerjunkan tim un-tuk memperbaiki peralatan DSA yang rusak. *ind
Dalam seminar kemarin, Menkes dr Terawan Agus Putranto membeberkan soal layanan metode Digital Substraction Angiography (DSA), yang lebih dikenal de-ngan terapi ‘Cuci Otak’ untuk penyembuhan penyakit stroke. Meski layanan DSA yang notabene merupakan hasil temuannya ini sempat kontroversial di masyarakat, namun dr Terawan tegaskan terapi Cuci Otak bisa dilakukan di Indonesia. Apalagi, ini sudah memiliki dasar yakni Surat Menteri Kesehatan yang diterbitkan era Menkes dr Nila F Moeloek, bahwa terapi Cuci Otak tidak menyalahi aturan kesehatan.
Menurut dr Terawan, metode DSA merupakan hasil temuannya sekitar tahun 2005. Saat ini, terapi Cuci Otak bahkan telah diterapkan di Jerman, dengan nama paten ‘Terawan Theory’. Namun, temuannya ini sempat menimbulkan kontroversi, hingga dr Terawan santer diberitakan dipecat sementara dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI menjatuhkan sanksi kepada dr Terawan selama setahun, sejak 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019. Kon-troversi terjadi karena metode DSA dinilai tidak ilmiah dan belum uji klinis. Meski sempat menjadi kontroversi, namun nyatanya metode DSA ini telah mampu mem-bantu kesembuhan para penderita stroke.
Usai seminar kemarin, Menkes dr Terawan menyempatkan diri meninjau peralatan layanan Cuci Otak di RSUP Sanglah. Dia menegaskan, layanan terapi Cuci Otak ini bisa diterapkan di Indonesia, termasuk rumah sakit di Bali. “Ya jelas (bisa), wong murid saya ada di mana-mana, kenapa nggak diterapkan? Surat dari Menkes (sebelumnya) pun ada, bukan Menkes saya yang nulis lho. Artinya objektif, riset by services. Sama dengan pelayanan yang lain, harus terus dikembangkan,” tandas dr Terawan.
Menkes yang notabene mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSP-AD) Gatot Soebroto Jakarta ini mengungkapkan, metode DSA sudah ada empiris dan risetnya juga telah berjalan. Yang diperlukan tinggal Standar Operasional Pro-sedur (SOP) dari masing-masing rumah sakit yang ingin mengembangkan layanan DSA ini. “SOP kan bisa dibuat oleh masing-masing rumah sakit. Itu adalah hospi-tal by law, yang ditentukan oleh kepala rumah sakit. Jadi, sah itu kalau dikerjakan,” katanya.
Disebutkan, metode DSA bisa diterapkan di RSUP Sanglah, apalagi rumah sakit ini merupakan rumah sakit terbesar di Bali. Sekarang tergantung niat dan komitmen RS masing-masing dalam menggunakan metode DSA ini untuk membantu kesehatan masyarakat. “SDM-nya di sini (RSUP Sanglah) sudah siap, peralatannya sudah ada. Ini bukan soal anggaran, tapi butuh niat dan komitmen. Kalau niat dan komitmen tidak ada, ya percuma. Kalau soal anggaran, itu bisa dicari,” tegas dokter asal Sitisewu, Jogjakarta ini.
Sementara itu, Kepala Departemen Radiologi FK Unud/RSUP Sanglah, Sub Radi-ologi Intervensi, dr Firman Parulian Sitanggang, mengatakan metode DSA atau Cu-ci Otak sebenarnya telah dilakukan di RSUP Sanglah sejak tahun 2010. Bahkan, setiap minggunya ada 3-4 pasien stroke mengikuti terapi Cuci Otak di RSUP Sang-lah. Pasien tersebut bukan hanya dari Bali, tapi juga asal NTB, bahkan sampai Ti-mor Leste.
“Setiap minggu ada 3-4 pasien yang kami tangani (dengan layanan DSA) di RSUP Sanglah. Yang bisa pakai layanan ini adalah stroke yang non hemoragik. Semakin cepat ditangani, semakin baik. Selama ini, (penanganan Cuci Otak) aman-aman saja,” ungkap dr Firman.
“Seperti kata Pak Menteri, yang terpenting adalah kualitas hidup pasien kita bisa tingkatkan. Misalnya, dari tidak bisa angkat tangan, jadi bisa angkat tangan. Dari yang nggak bisa berdiri, jadi bisa berdiri. Tapi, fisioterapi tetap harus dilakukan, agar latihan ototnya membuat lebih bagus. Biasanya, setelah 6 bulan, kami berikan layanan DSA lagi agar jadi lebih baik,” imbuh Ketua Perkumpulan Dokter Spesialis Radiologi ini.
Menurut dr Firman, banyaknya seorang penderita harus menjalani layanan Cuci Otak tergantung lama stroke yang dideritanya. Untuk mendapatkan layanan ini, penderita harus merogoh kocek sebesar Rp 15 hingga Rp 17 juta untuk sekali Cuci Otak. Pelayanan jenis ini belum ditanggung BPJS Kesehatan.
“Kalau pasien stroke-nya baru, satu kali (layanan DSA) cukup. Beberapa pasien saya satu kali cukup. Layanan ini memang belum ditanggung BPJS Kesehatan. Mu-ngkin karena pemeriksaannya, katakanlah pemeriksaan eksklusif, sehingga tidak dibebankan ke BPJS Kesehatan. Tapi, untuk TACI (Trans Arterial Chemo Infusion) itu ditanggung BPJS Kesehatan,” jelas dr Firman.
Disinggung mengenai peralatas DSA, menurut dr Firman, RSUP Sanglah memiliki tiga alat. Namun, dua alat sudah digunakan untuk pelayanan jantung, sedangkan alat untuk DSA di Radiologi hanya satu. Itu pun sedang rusak pada bagian tertentu, sehingga buat sementara meminjam alat setelah pelayanan jantung.
“Jadinya, kami tidak bisa kerjakan layanan DSA pagi hari, karena alat masih dipri-oritaskan buat jantung. Biasanya, sore di atas pukul 16.00 Wita baru bisa saya ta-ngani pasien dengan layanan DSA,” tandas dr Firman. Pasca peninjuan alat DSA di RSUP Sanglah kemarin, Menkes dr Terawan akan langsung menerjunkan tim un-tuk memperbaiki peralatan DSA yang rusak. *ind
1
Komentar