Nilai Ganti Rugi Dianggap Tak Wajar, Warga Kecewa
Ganti Rugi Lahan Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10 Mulai Dibayarkan
Proses pembayaran ganti rugi lahan proyek Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10 Jalur Denpasar-Singaraja via Bedugul kepada pemilik tanah, sudah mulai dilakukan pemerintah, Minggu (29/12) pagi.
SINGARAJA, NusaBali
Warga pemilik lahan shortcut di tiga desa bertetangga kawasan Kecamatan Sukasada, Buleleng, yakni Desa Wanagiri-Desa Pegayaman-Desa Gitgit banyak yang keberatan atas nilai ganti rugi yang dianggap tidak wajar.
Pembayaran diawali dengan penyerahan nilai ganti rugi atas lahan yang dibebaskan kepada masing-masing pemilik lahan, Minggu pagi, di Gedung Kesenian Gde Manik, Jalan Udayana Singaraja. Penyerahan nilai ganti rugi tersebut dilakukan oleh Panitia Pelaksana Pengadaan Lahan Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10 dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Singaraja. Nilai ganti rugi tersebut ditentukan oleh Tim Appraisal yang turun menilai harga tanah dan semua yang ada di atas lahan yang dibebaskan. Sayangnya, Tim Appraisal (penaksir harga independen) kemarin tidak hadir memberi pejelasan terhadap keberatan warga.
Ada pun luas lahan yang dibebaskan untuk proyek Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10 mencapai 22 hektare, terbagi dalam 298 bidang tanah. Rinciannya, 175 bidang tanah di Desa Pegayaman (sisi tengah), 115 bidang tanah di Desa Gitgit (sisi utara), dan 8 bidang tanah di Desa Wanagiri (sisi selatan). Pemprov Bali mengalokasikan dana sebesar Rp 190 miliar untuk pembebasan lahan shortcut ini.
Seluruh warga pemilik lahan dari tiga desa bertetangga kemarin dikumpulkan di Gedung Kesenian Gde Manik Singaraja. Mereka kemudian dipanggil satu per satu untuk menunjukkan bukti kepemilikan lahannya. Sebelum pemanggilan, seluruh pemilik lahan sepakat gati rugi yang diterima dalam bentuk uang.
Setelah bukti dinyatakan valid, barulah petugas menyerahkan amplop berisi selip nilai ganti rugi yang akan dibayarkan. Bila nilai ganti rugi yang tertera dalam selip bisa diterima oleh warga pemilik lahan, maka uangnya akan ditransfer ke rekening masing-masing dalam beberapa hari.
Namun, dalam penyerahan nilai ganti rugi lahan shortcut kemarin, banyak pemilik lahan keberatan karena besaran nilai ganti rugi dianggap tidak wajar. Salah satunya, Imam Muhajir, 62, pemilik lahan shortcut asal Banjar Kubu, Desa Pegayaman. Muhajir hanya mendapatkan nilai ganti rugi sekitar Rp 50 juta atas lahannya seluas 1,5 are berisi 15 pohon cengkih.
Menurut Muhajir, lahannya seluas 1,5 are hanya dihargai Rp 30 juta, sedangkan tanaman cengkihnya hanya dihargai Rp 1 juta per pohon. Padahal, kata Muhajir, di Desa Pegayaman sangat sulit membeli lahan seluas 1 are, karena harga pasaran rata-rata Rp 100 juta per are.
“Kalau belinya 1 hektare, mungkin dapat harga Rp 7 juta per are. Tetapi, siapa yang membeli tanah seluas itu? Paling belinya hanya 1 are. Namun, membeli tanah 1 are di Pegayaman itu harganya sudah Rp 100 juta. Sekarang tanah saya 1,5 are hanya dihargai Rp 30 juta. Bagaimana bisa dapat beli tanah lagi?” tanya Muhajir kesal.
Di samping itu, nilai gati rugi tanaman cengkih hanya dihargai Rp 1 juta per pohon. Ini dianggap tidak masuk akal. Sebab, menurut Muhajir, bila dihitung per musim panen, satu pohon cengkih bisa menghasilkan Rp 2,8 juta. Belum lagi jangka waktu tanam sampai bisa berbuah, perlu waktu 7-10 tahun. “Kalau sekarang kami tanam, itu baru menghasilkan 10 tahun lagi. Apa cukup dengan uang Rp 1 juta itu selama 10 tahun? Apa rentang waktu ini dihitung juga, karena jelas kami kehilangan pendapatan,” tandas Muhajir.
Paparan senada juga disampaikan warga Desa Pegayaman lainnya, Gede Sumadana, 42. Menurut Gede Sumadana, tanahnya seluas 8,9 are hanya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 341 juta. Padahal, di atas lahannya itu terdapat 18 pohon cenkih, 10 pohon kopi, 11 rumpun pisang, selain juga 1 rumpun salak, dan 1 pohon cempaka.
Sumadana menyebutkan, harusnya harga tanah miliknya bisa dua kali lipat dari nilai yang diberikan, yakni sekitar Rp 682 juta. Pasalnya, sertifikat lahan milik Sumadana sempat dicarikan keredit di bank, ternyata pihak bank memberikan pinjam Rp 60 juta per are. Di samping itu, pohon cengkih setiap musim panen bisa menghasilkan Rp 15 juta. “Saya kecewa. Mau protes bagaimana, pemerintah pasti akan menang saja. Mau bersikeras, sudah tidak bisa. Terpaksa diikhlaskan saja,” keluh Supadana.
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana Pengadaan Lahan Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10, Komang Wedana, mengakui ada beberapa warga yang keberatan dengan nilai ganti rugi yang diberikan oleh Tim Appraisal. Widana pun tidak dapat berbuat banyak, mengingat nilai ganti rugi lahan kewenangan Tim Appraisal.
“Beberapa warga pemilik lahan keberatan, karena cengkih itu yang dihargai hanya pohonnya saja, sementara hasil panennya tidak. Ketika ditebang untuk pembebasan jalan shortcut, mereka harus menanam cengkih lagi dan 10 tahun kemudian baru bisa panen. Artinya mereka kan harus menunggu 10 tahun lagi. Nah ini menurut mereka harus dinilai juga,” jelas Wedana.
Kendati demikian, Wedana mengaku akan menampung keberatan pemilik lahan yang dibebaskan. Sesuai mekanisme, bila ada yang keberatan, maka uang sesuai nilai ganti rugi yang diterimanya akan dititip (konsinyasi) di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Sedangkan bagi meraka yang menerima nilai ganti ruginya, maka uangnya akan ditranfer ke rekening masing-masing, mulai Senin (30/12) ini.
“Terhadap konsinyasinya, nanti pengadilan yang akan menilai berapa yang pantas untuk dibayarkan. Keberatan mereka ini dalam waktu dekat kami kirim ke pengadilan. Saya belum tahu persis berapa warga yang tidak keberatan dengan nilai ganti rugi ini. Besok (hari ini) akan saya sampaikan berapa jumlahnya,” tandas Wedana.
Sedangkan Kepala Dinas PUPR Provinsi Bali, I Nyoman Astawa Riadi, yang ikut hadir dalam penyerahan nilai ganti rugi lahan shortcut di Singaraja, Minggu kemarin, mengatakan setelah tahap pembayaran ganti rugi, pihaknya masih memberikan waktu 3 bulan ke depan bagi pemilik lahan untuk memanen hasil kebun di atas lahan yang dibebaskan. Termasuk juga untuk persiapan pindah tempat. “Karena setelah 3 bulan itu, sudah persiapan pengerjaan fisik Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10,” jelas Astawa Riadi. *k19
Pembayaran diawali dengan penyerahan nilai ganti rugi atas lahan yang dibebaskan kepada masing-masing pemilik lahan, Minggu pagi, di Gedung Kesenian Gde Manik, Jalan Udayana Singaraja. Penyerahan nilai ganti rugi tersebut dilakukan oleh Panitia Pelaksana Pengadaan Lahan Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10 dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Singaraja. Nilai ganti rugi tersebut ditentukan oleh Tim Appraisal yang turun menilai harga tanah dan semua yang ada di atas lahan yang dibebaskan. Sayangnya, Tim Appraisal (penaksir harga independen) kemarin tidak hadir memberi pejelasan terhadap keberatan warga.
Ada pun luas lahan yang dibebaskan untuk proyek Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10 mencapai 22 hektare, terbagi dalam 298 bidang tanah. Rinciannya, 175 bidang tanah di Desa Pegayaman (sisi tengah), 115 bidang tanah di Desa Gitgit (sisi utara), dan 8 bidang tanah di Desa Wanagiri (sisi selatan). Pemprov Bali mengalokasikan dana sebesar Rp 190 miliar untuk pembebasan lahan shortcut ini.
Seluruh warga pemilik lahan dari tiga desa bertetangga kemarin dikumpulkan di Gedung Kesenian Gde Manik Singaraja. Mereka kemudian dipanggil satu per satu untuk menunjukkan bukti kepemilikan lahannya. Sebelum pemanggilan, seluruh pemilik lahan sepakat gati rugi yang diterima dalam bentuk uang.
Setelah bukti dinyatakan valid, barulah petugas menyerahkan amplop berisi selip nilai ganti rugi yang akan dibayarkan. Bila nilai ganti rugi yang tertera dalam selip bisa diterima oleh warga pemilik lahan, maka uangnya akan ditransfer ke rekening masing-masing dalam beberapa hari.
Namun, dalam penyerahan nilai ganti rugi lahan shortcut kemarin, banyak pemilik lahan keberatan karena besaran nilai ganti rugi dianggap tidak wajar. Salah satunya, Imam Muhajir, 62, pemilik lahan shortcut asal Banjar Kubu, Desa Pegayaman. Muhajir hanya mendapatkan nilai ganti rugi sekitar Rp 50 juta atas lahannya seluas 1,5 are berisi 15 pohon cengkih.
Menurut Muhajir, lahannya seluas 1,5 are hanya dihargai Rp 30 juta, sedangkan tanaman cengkihnya hanya dihargai Rp 1 juta per pohon. Padahal, kata Muhajir, di Desa Pegayaman sangat sulit membeli lahan seluas 1 are, karena harga pasaran rata-rata Rp 100 juta per are.
“Kalau belinya 1 hektare, mungkin dapat harga Rp 7 juta per are. Tetapi, siapa yang membeli tanah seluas itu? Paling belinya hanya 1 are. Namun, membeli tanah 1 are di Pegayaman itu harganya sudah Rp 100 juta. Sekarang tanah saya 1,5 are hanya dihargai Rp 30 juta. Bagaimana bisa dapat beli tanah lagi?” tanya Muhajir kesal.
Di samping itu, nilai gati rugi tanaman cengkih hanya dihargai Rp 1 juta per pohon. Ini dianggap tidak masuk akal. Sebab, menurut Muhajir, bila dihitung per musim panen, satu pohon cengkih bisa menghasilkan Rp 2,8 juta. Belum lagi jangka waktu tanam sampai bisa berbuah, perlu waktu 7-10 tahun. “Kalau sekarang kami tanam, itu baru menghasilkan 10 tahun lagi. Apa cukup dengan uang Rp 1 juta itu selama 10 tahun? Apa rentang waktu ini dihitung juga, karena jelas kami kehilangan pendapatan,” tandas Muhajir.
Paparan senada juga disampaikan warga Desa Pegayaman lainnya, Gede Sumadana, 42. Menurut Gede Sumadana, tanahnya seluas 8,9 are hanya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 341 juta. Padahal, di atas lahannya itu terdapat 18 pohon cenkih, 10 pohon kopi, 11 rumpun pisang, selain juga 1 rumpun salak, dan 1 pohon cempaka.
Sumadana menyebutkan, harusnya harga tanah miliknya bisa dua kali lipat dari nilai yang diberikan, yakni sekitar Rp 682 juta. Pasalnya, sertifikat lahan milik Sumadana sempat dicarikan keredit di bank, ternyata pihak bank memberikan pinjam Rp 60 juta per are. Di samping itu, pohon cengkih setiap musim panen bisa menghasilkan Rp 15 juta. “Saya kecewa. Mau protes bagaimana, pemerintah pasti akan menang saja. Mau bersikeras, sudah tidak bisa. Terpaksa diikhlaskan saja,” keluh Supadana.
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana Pengadaan Lahan Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10, Komang Wedana, mengakui ada beberapa warga yang keberatan dengan nilai ganti rugi yang diberikan oleh Tim Appraisal. Widana pun tidak dapat berbuat banyak, mengingat nilai ganti rugi lahan kewenangan Tim Appraisal.
“Beberapa warga pemilik lahan keberatan, karena cengkih itu yang dihargai hanya pohonnya saja, sementara hasil panennya tidak. Ketika ditebang untuk pembebasan jalan shortcut, mereka harus menanam cengkih lagi dan 10 tahun kemudian baru bisa panen. Artinya mereka kan harus menunggu 10 tahun lagi. Nah ini menurut mereka harus dinilai juga,” jelas Wedana.
Kendati demikian, Wedana mengaku akan menampung keberatan pemilik lahan yang dibebaskan. Sesuai mekanisme, bila ada yang keberatan, maka uang sesuai nilai ganti rugi yang diterimanya akan dititip (konsinyasi) di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Sedangkan bagi meraka yang menerima nilai ganti ruginya, maka uangnya akan ditranfer ke rekening masing-masing, mulai Senin (30/12) ini.
“Terhadap konsinyasinya, nanti pengadilan yang akan menilai berapa yang pantas untuk dibayarkan. Keberatan mereka ini dalam waktu dekat kami kirim ke pengadilan. Saya belum tahu persis berapa warga yang tidak keberatan dengan nilai ganti rugi ini. Besok (hari ini) akan saya sampaikan berapa jumlahnya,” tandas Wedana.
Sedangkan Kepala Dinas PUPR Provinsi Bali, I Nyoman Astawa Riadi, yang ikut hadir dalam penyerahan nilai ganti rugi lahan shortcut di Singaraja, Minggu kemarin, mengatakan setelah tahap pembayaran ganti rugi, pihaknya masih memberikan waktu 3 bulan ke depan bagi pemilik lahan untuk memanen hasil kebun di atas lahan yang dibebaskan. Termasuk juga untuk persiapan pindah tempat. “Karena setelah 3 bulan itu, sudah persiapan pengerjaan fisik Shortcut Titik 7-8 dan Titik 9-10,” jelas Astawa Riadi. *k19
Komentar