Celah Pariwisata Bali di Tengah Tantangan Global
PROYEKSI 2020 Bidang EKONOMI
TRADISI pertumbuhan perekonomian Bali di atas pertumbuhan nasional, tetap berlanjut. Terbukti, jika pada Triwulan III 2019 pertumbuhan nasional mencatatkan angka 5,02 persen, sementara Bali berhasil tumbuh di angka 5,34 persen.
Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, terjadi perlambatan. Periode Triwulan III 2018, pertumbuhan ekonomi Bali mencapai 6,15 persen.
Tahun 2019 memang bukan tahun yang mudah untuk mendongkrak pertumbuhan perekonomian. Bukan hanya Bali dan Indonesia, bahkan di dunia. Semua ini tak lepas dari kondisi perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian. Perang dagang antara AS vs Tiongkok masih berlangsung dan berdampak pada perekonomian dunia. Kabar buruknya, kondisi yang sama diperkirakan masih akan terasa tahun 2020 mendatang.
Antisipasi menghadapi kondisi global ini sebenarnya bisa dilakukan di sektor pariwisata. Pasalnya, sektor pariwisata disebut sebagai sektor yang lebih tahan banting. Kebutuhan leisure, masih menjadi kebutuhan bagi banyak orang. Maka, tak heran kerap muncul olok-olok ‘kurang piknik’ pada mereka yang dianggap ‘tidak berpikir dengan logis.’ Ini menunjukkan bahwa berwisata adalah kebutuhan manusia.
Sayangnya lagi, sektor pariwisata juga tidak begitu bagus bagi Bali di tahun 2019. Jika ukurannya adalah target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), maka kemungkinan besar tidak akan tercapai. Pasalnya, hingga Oktober 2019, jumlah kunjungan wisman ke Bali terpaku di angka 5.240.297 orang. Dengan tambahan bulan November dan Desember yang diprediksi masing-masing 500.000 orang, maka julmah kunjungan wisman ke Bali tahun 2019 berada di kisaran 6,2 juta orang, mirip dengan capaian tahun 2018 di angka 6,5 juta wisman.
Sejumlah kendala memang membawa dampak kurang bagus bagi pariwisata Bali. Di antaranya, ekses zero dollar tourism yang terjadi pada wisman Tiongkok. Sebagaimana diketahui sejak akhir 2018, terungkap kontroversi wisatawan Tiongkok ke Bali yang dinilai tak memberi dampak bagi perekonomian Bali. Grup-grup wisman Tiongkok ini datang ke Bali dengan biaya murah, mereka belanja di tempat-tempat yang sudah terafiliasi dengan agen wisata atau pebisnis dari Tiongkok itu sendiri. Selanjutnya, transaksi yang dilakukan pun dilakukan secara non tunai dengan aplikasi pembayaran dari Tiongkok. Barang yang mereka beli di Bali pun ditengarai berasal dari Tiongkok.
Sikap tegas yang dilakukan oleh Pemprov Bali terhadap praktik zero dollar tourism dalam ‘jual beli kepala’ ini ternyata juga dibalas Tiongkok dengan penurunan jumlah wisatawannya yang pergi ke Bali. Negeri Tirai Bambu yang dalam beberapa tahun terakhir mengakhiri dominasi wisman Australia ke Bali, sejak awal tahun 2019 ini bukan lagi sebagai penyumbang wisman terbesar. Mereka disalip kembali wisman Australia.
‘Ngambeknya’ Tiongkok ini bisa dilihat pada pergerakan wisman Tiongkok sepanjang Januari-Oktober 2019 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Terjadi penurunan hingga 14,99 persen. Memang masih head to head dengan Australia, namun penurunannya cukup signifikan.
Zero dollar toursm itu pun sejatinya tidak benar-benar ‘zero’. Karena kedatangan wisman Tiongkok seberapa kecilnya pun adalah kontribusi. Saat gonjang-ganjing kontroversi ini, maskapai Garuda Indonesia pun sempat curhat terdampak penurunan wisman Tiongkok. Bank Indonesia (BI) Bali juga mengungkap bahwa meskipun belanja yang dihabiskan wisatawan Tiongkok lebih kecil dibandingkan wisman Jepang, Eropa, dan Australia, namun dilansir angka pengeluaran 965 dolar AS per orang per sekali kunjungan ke Bali pada 2018.
Apakah harus disesali sikap tegas pada praktik zero dollar tourism? Tentu saja tidak. Sebab, apa yang dilakukan sudah sejalan dengan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ dari Gubernur Bali Wayan Koster dan Wagub Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. Pariwisata harus memberi kontribusi bagus bagi krama Bali.
Tapi, masalah pariwisata Bali bukan melulu tergerusnya wisman Tiongkok. Perlambatan wisman ke Bali tahun 2019 juga tak lepas dari sejumlah bencana alam di sekitar wilayah Pulau Dewata. Selanjutnya, ada pengaruh pelaksanaan Pemilu pada Mei 2019, hingga kompetisi destinasi wisata dunia, khususnya di wilayah ASEAN.
Menyambut tahun 2020, ‘kebaikan’ maskapai penerbangan juga menjadi harapan wisatawan dan pelaku wisata. Lihatlah betapa tingginya antusiasme wisatawan India ke Bali saat dibuka jalur penerbangan Mumbai-Denpasari. Year to year (yoy) wisman India memang masih di angka stabil, namun alangkah baiknya jika peluang ditindaklanjuti dengan adanya direct flight. ‘Kebaikan’ maskapai juga ditunggu terkait dengan tingginya tiket penerbangan sejak setahun terakhir.
Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Bali, IGA Rai Suryawijaya, mensinyalir wisatawan domestik terpangkas 30 persen akibat tingginya tiket pesawat, plus pemberlakuan tarif bagasi. Untuk itu, janji dari Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif terkait penurunan harga tiket pesawat, masih ditunggu-tunggu tahun 2020 depan.
Challenge pariwisata Bali di tahun 2020 memang tetap berat, jika masih berkutat pada kuantitas wisman. Tapi, ada peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan Bali pada 2020. Caranya, tentu saja lebih memaksimalkan kunjungan wisman papan atas.
Bali sebagai destinasi ‘wisata minat khusus’ juga bisa di-branding, jadi bukan sekadar MICE (meeting, incentive, convention and exhibition). Wisata minat khusus yang dimaksud, antara lain, wisata spiritual, wisata kesehatan di mana Bali memiliki kearifan lokal pengobatan tradisional hingga modern, termasuk spa di dalamnya. Lalu, ada wisata cruise dengan potensi baharinya. Juga harapan sport tourism (wisata olahraga), yang kebetulan Bali menjadi kandidat tuan rumah turnamen akbar sepakbola Piala Dunia U-20 tahun 2021 mendatang. *
M Maolan
Wartawan NusaBali
Komentar