Tradisi Nyepi Adat Dua Tahun Sekali di Desa Pakraman Bukian, Kecamatan Payangan, Gianyar
Nyepi Adat di Desa Pakraman Bukian digelar selama empat hari sejak Minggu hingga Rabu ini. Selama itu pula, segala aktivitas yang menimbulkan suara termasuk ngincuk sambal harus dilakukan di luar pekarangan rumah
Selain Dilarang Bersuara Keras, Krama Juga Pantang Melubangi Tanah
GIANYAR, NusaBali
Desa Pakraman Bukian, Desa Bukian, Kecamatan Payangan, Gianyar memiliki tradisi Nyepi di luar Nyepi Tahun Baru Saka sebagaimana umumnya di Bali. Nyepi spesial yang dikenal sebagai Nyepi Adat di Desa Pakraman Bukian ini digelar dua tahun sekali, serangkaian Upacara Ngasa di Pura Dalem. Saat Nyepi Adat, krama setempat dilarang melubangi tanah, selain tak boleh bersuara keras.
Untuk Nyepi Adat tahun tahun 2016, dilaksanakan krama Desa Pakraman selama empat hari, mulai Minggu (31/7) hingga Rabu (3/8)---bertepatan dengan Tilem Kasa. Nyepi Adat ini dilaksanakan serangkaian Upacara Ngasa di Pura Dalem, Desa Pakraman Bukian. Bentuk Nyepi Adat di Desa Pakraman Bukian ini terbagi dalam dua jenis. Pertama, Nyepi Gura Tau di mana krama setempat dilarang bersuara keras. Kedua, Nyepi Tan Mungkah Pertiwi di mana krama setempat dilarang menggali atau melubangi tanah.
Menurut Bendesa Pakraman Bukian, I Made Rintia, Nyepi Adat ini berlaku mulai dari pekarangan rumah, sawah, ladang, hingga lahan lain di wawidangan (wilayah) Desa Pakraman Bukian. Bentuk Nyepi Gura Tau, kata dia, dilarang melakukan aktivitas hingga menimbulkan suara keras di pekarangan rumah. Misalnya, aktivitas ngincuk (ngetam) bahan upakara atau makanan. Karena larangan ini, maka krama setempat wajib ngincuk bahan bebantenan atau upakara untuk upacara Nyepi Adat di luar pekarangan rumah.
Nyepi Gura Tau juga berlaku di wawidangan Desa Pakraman Bukian, seperti dilarang menyuarakan kulkul (kentongan) desa yang biasanya untuk tanda mengerahkan krama akan mengadakan kegiatan. “Karena tak buleh membunyikan kulkul desa, maka kami memberlakukan arah-arahan sesuai waktu kegiatan yang akan dilaksanakan,” papar Bendesa Made Rintia saat ditemui NusaBali di kediamannya di Desa Bukian, Selasa (2/8).
Made Rintia menjelaskan, di wilayah Desa (Dinas) Bukian terdapat 8 desa pakraman, masing-masing Desa Pakraman Bukian, Desa Pakraman Dasong, Desa Pakraman Amo, Desa Pakraman Ulapan, Desa Pakraman Tiyingan, Desa Pakraman Lebah A, dan Desa Pakraman Lebah B. Nyepi Adat hanya digelar oleh krama Desa Pakraman Bukian yang jumlahnya mencapai 136 kepala keluarga (KK) krama ayahan dan 664 KK krama pangele.
Menurut Made Rintia, Nyepi Adat tahun 2016 ini berlangsung sejak Redite Pahing Gumbreg, Minggu (31/7), diawali Upacara Pacaraun dengan sarana kurban godel (anak sapi) yang dilengkapi Banten Caru Manca Sata. Pacaruan dilangsungkan di Pura Pemulan, Desa Pakraman Bukian.
Usai ritual Pacaruan, seluruh krama Desa Pakraman Bukian dilarang membunyikan suara keras (Amati Gura) dan tidak boleh bekerja yang berkaitan dengan menggali tanah (Amati Mungkah Pertiwa). Larangan mungkah pertiwi ini berlaku baik di ladang, sawah, maupun pekarangan rumah.
Untuk Amati Gura, krama setempat dilarang melakukan pekerjaan yang menimbulkan suara keras, seperti menumbuk padi, memotong bambu, mengetam, membunyikan kulkul, dan sebagainya. Karena itu, aktivitas yang menimbulkan suara harus dilakukan di luar pekarangan, yakni di depan pintu gerbang.
Nyepi Adat ini, kata Made Rintia, dilaksanakan untuk menyambut Upacara Ngasa yang jatuh bertepatan dengan Tilem Kasa. Krama setempat membuat daging sesaji berupa sate. Karena itu, ciri khas pelaksanaan Nyepi Adat ini adalah krama Desa Pakraman Bukian menumbuk daging untuk bahan sate di pinggir jalan, depan pekarangan rumah masing-masing. Memanggang sate pun dilakukan di luar pekarangan rumah.
Made Rintia menjelaskan, krama Desa Pakraman Bukian memaknai Nyepi Adat ini sebagai ritual mengekang nafsu untuk menyambut Upacara Ngasa. Nyepi Adat selalu ditutup dengan Upacara Pangruak (membuka kebebasan berakvitas kembali) dengan Banten Peras Pejati di Pura Pemulan. Upacara ini disambung dengan Upacara Ngasa dan Piodalan di Pura Dalem, Desa Pakraman Bukian.
Versi Made Rintia, tradisi Nyepi Adat adalah warisan para leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun. Pihaknya belum pernah mengetahui bagaimana sejarah tradisi ini. Yang jelas, Ngasa berasal dari kata ‘nga’ (yang berarti terbuka/lubang) dan ‘sas’ (yang berarti satu atau tunggal). Ngasa bermakna bersatu di dalam satu lubang, yakni desa pakraman. "Kami bersama krama di sini terus melestarikan tradisi ini. Karena kami yakini tradisi memberi kedamaian dan kesejahteraan di desa pakraman ini," ujar Made Rintia.
Ada krama yang menyebut Nyepi Adat di Desa Pakraman Bukian ini sebagai bagian dari Ngusaba Pitra (mengupacarai roh yang telah meninggal). "Disebut Ngusaba Pitra, makanya krama di sini menyambut Ngusaba lebih meriah dari Hari Raya Galungan dan Kuningan," katanya.
Ngusaba Pitra ditandai dengan krama menghaturkan sesaji Darpana dan Punjung di Setra Desa Pakraman Bukian. Bagi krama yang memiliki jenazah di setra yang belum diabenkan, maka upacaranya dilaksanakan di gegumuk kuburan. Sedangkan krama yang memiliki keluarga meninggal dan telah diabenkan, upacara pitranya dilakukan di bgaian hulu setra.
Sebelum Upacara Ngasa, krama Desa Pakraman Bukian melaksanakan Pacaruan di Pura Mrajapati. Sedangkan di Pura Dalem dilaksanakan Piodalan dengan sarana Banten Bangkit limang (5) soroh dan sasaji lainnya. Piodalan di Pura Dalem hanya dilaksanakan selama sehari, tanpa boleh menyelenggarakan kesenian berupa tari-tarian dan bunyi-bunyian. * lsa
GIANYAR, NusaBali
Desa Pakraman Bukian, Desa Bukian, Kecamatan Payangan, Gianyar memiliki tradisi Nyepi di luar Nyepi Tahun Baru Saka sebagaimana umumnya di Bali. Nyepi spesial yang dikenal sebagai Nyepi Adat di Desa Pakraman Bukian ini digelar dua tahun sekali, serangkaian Upacara Ngasa di Pura Dalem. Saat Nyepi Adat, krama setempat dilarang melubangi tanah, selain tak boleh bersuara keras.
Untuk Nyepi Adat tahun tahun 2016, dilaksanakan krama Desa Pakraman selama empat hari, mulai Minggu (31/7) hingga Rabu (3/8)---bertepatan dengan Tilem Kasa. Nyepi Adat ini dilaksanakan serangkaian Upacara Ngasa di Pura Dalem, Desa Pakraman Bukian. Bentuk Nyepi Adat di Desa Pakraman Bukian ini terbagi dalam dua jenis. Pertama, Nyepi Gura Tau di mana krama setempat dilarang bersuara keras. Kedua, Nyepi Tan Mungkah Pertiwi di mana krama setempat dilarang menggali atau melubangi tanah.
Menurut Bendesa Pakraman Bukian, I Made Rintia, Nyepi Adat ini berlaku mulai dari pekarangan rumah, sawah, ladang, hingga lahan lain di wawidangan (wilayah) Desa Pakraman Bukian. Bentuk Nyepi Gura Tau, kata dia, dilarang melakukan aktivitas hingga menimbulkan suara keras di pekarangan rumah. Misalnya, aktivitas ngincuk (ngetam) bahan upakara atau makanan. Karena larangan ini, maka krama setempat wajib ngincuk bahan bebantenan atau upakara untuk upacara Nyepi Adat di luar pekarangan rumah.
Nyepi Gura Tau juga berlaku di wawidangan Desa Pakraman Bukian, seperti dilarang menyuarakan kulkul (kentongan) desa yang biasanya untuk tanda mengerahkan krama akan mengadakan kegiatan. “Karena tak buleh membunyikan kulkul desa, maka kami memberlakukan arah-arahan sesuai waktu kegiatan yang akan dilaksanakan,” papar Bendesa Made Rintia saat ditemui NusaBali di kediamannya di Desa Bukian, Selasa (2/8).
Made Rintia menjelaskan, di wilayah Desa (Dinas) Bukian terdapat 8 desa pakraman, masing-masing Desa Pakraman Bukian, Desa Pakraman Dasong, Desa Pakraman Amo, Desa Pakraman Ulapan, Desa Pakraman Tiyingan, Desa Pakraman Lebah A, dan Desa Pakraman Lebah B. Nyepi Adat hanya digelar oleh krama Desa Pakraman Bukian yang jumlahnya mencapai 136 kepala keluarga (KK) krama ayahan dan 664 KK krama pangele.
Menurut Made Rintia, Nyepi Adat tahun 2016 ini berlangsung sejak Redite Pahing Gumbreg, Minggu (31/7), diawali Upacara Pacaraun dengan sarana kurban godel (anak sapi) yang dilengkapi Banten Caru Manca Sata. Pacaruan dilangsungkan di Pura Pemulan, Desa Pakraman Bukian.
Usai ritual Pacaruan, seluruh krama Desa Pakraman Bukian dilarang membunyikan suara keras (Amati Gura) dan tidak boleh bekerja yang berkaitan dengan menggali tanah (Amati Mungkah Pertiwa). Larangan mungkah pertiwi ini berlaku baik di ladang, sawah, maupun pekarangan rumah.
Untuk Amati Gura, krama setempat dilarang melakukan pekerjaan yang menimbulkan suara keras, seperti menumbuk padi, memotong bambu, mengetam, membunyikan kulkul, dan sebagainya. Karena itu, aktivitas yang menimbulkan suara harus dilakukan di luar pekarangan, yakni di depan pintu gerbang.
Nyepi Adat ini, kata Made Rintia, dilaksanakan untuk menyambut Upacara Ngasa yang jatuh bertepatan dengan Tilem Kasa. Krama setempat membuat daging sesaji berupa sate. Karena itu, ciri khas pelaksanaan Nyepi Adat ini adalah krama Desa Pakraman Bukian menumbuk daging untuk bahan sate di pinggir jalan, depan pekarangan rumah masing-masing. Memanggang sate pun dilakukan di luar pekarangan rumah.
Made Rintia menjelaskan, krama Desa Pakraman Bukian memaknai Nyepi Adat ini sebagai ritual mengekang nafsu untuk menyambut Upacara Ngasa. Nyepi Adat selalu ditutup dengan Upacara Pangruak (membuka kebebasan berakvitas kembali) dengan Banten Peras Pejati di Pura Pemulan. Upacara ini disambung dengan Upacara Ngasa dan Piodalan di Pura Dalem, Desa Pakraman Bukian.
Versi Made Rintia, tradisi Nyepi Adat adalah warisan para leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun. Pihaknya belum pernah mengetahui bagaimana sejarah tradisi ini. Yang jelas, Ngasa berasal dari kata ‘nga’ (yang berarti terbuka/lubang) dan ‘sas’ (yang berarti satu atau tunggal). Ngasa bermakna bersatu di dalam satu lubang, yakni desa pakraman. "Kami bersama krama di sini terus melestarikan tradisi ini. Karena kami yakini tradisi memberi kedamaian dan kesejahteraan di desa pakraman ini," ujar Made Rintia.
Ada krama yang menyebut Nyepi Adat di Desa Pakraman Bukian ini sebagai bagian dari Ngusaba Pitra (mengupacarai roh yang telah meninggal). "Disebut Ngusaba Pitra, makanya krama di sini menyambut Ngusaba lebih meriah dari Hari Raya Galungan dan Kuningan," katanya.
Ngusaba Pitra ditandai dengan krama menghaturkan sesaji Darpana dan Punjung di Setra Desa Pakraman Bukian. Bagi krama yang memiliki jenazah di setra yang belum diabenkan, maka upacaranya dilaksanakan di gegumuk kuburan. Sedangkan krama yang memiliki keluarga meninggal dan telah diabenkan, upacara pitranya dilakukan di bgaian hulu setra.
Sebelum Upacara Ngasa, krama Desa Pakraman Bukian melaksanakan Pacaruan di Pura Mrajapati. Sedangkan di Pura Dalem dilaksanakan Piodalan dengan sarana Banten Bangkit limang (5) soroh dan sasaji lainnya. Piodalan di Pura Dalem hanya dilaksanakan selama sehari, tanpa boleh menyelenggarakan kesenian berupa tari-tarian dan bunyi-bunyian. * lsa
1
Komentar