Topeng Bang dan Telek Bantu Barong Nyomya Rangda
Ada yang beda dari pementasan Calonarang yang dibawakan Sanggar Manik Metu, Banjar Tatasan Kelod, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Timur di panggung Mandara Mahalango III, panggung terbuka Ksrirnawa, Taman Budaya Bali, Selasa (2/8).
Sanggar Manik Metu Pentaskan Tari Klasik Penyalonarangan
DENPASAR, NusaBali
Minimnya dialog dan didominasi gerakan tari yang menjadi pembeda dengan pentas Calonarang lainnya. Uniknya lagi, Calonarang ini merupakan pementasan sakral yang bisanya dibawakan saat pujawali di Pura Maospahit setiap Purnama Kapat.
Dibandingkan pementasan Calonarang lainnya, tari klasik Penyalonarangan ini jauh dari kesan seram atau mistik. Pasalnya, pementasan ini tak diwarnai dengan bangke matah (mayat hidup), tidak ada sanggah cucuk, gedang renteng, ataupun tokoh yang mengundang penekun ilmu hitam untuk uji ilmu. Unsur ngurek (menikam tubuh dengan senjata tajam), barong, dan rangda tetap ada. Sanggar Manik Metu juga menarikan Topeng Bang dan Telek.
“Kalau Calonarang, umumnya ada cerita mengkhusus dan vokalnya lebih banyak. Tapi kalau seni tari klasik penyalonarangan ini lebih banyak ke gerak ketimbang vokalnya,” terang pimpinan sanggar, Nyoman Sadia. Diungkapkan, tarian klasik penyalonarangan yang ditampilkan mengandung cerita pemurthian Durga menjadi Panca Durga yang membuat seisi alam bhur bwah swah menjadi kedurmanggalaan.
Siwa dalam prabhawanya sebagai Sang Hyang Jagat Karana yang kebingungan akan dampak Panca Durga tersebut, menitahkan Sang Hyang Tri Semara turun ke dunia dalam wujud barong, topeng bang, dan telek. Ketiga Prabhawa tersebut nyomya (melebur) aktivitas Panca Durga dengan konsep Satyam Siwam Sundaram. “Karena itu dalam pementasan kami menampilkan tari Telek, Topeng Bang, Barong, juga Rangda dan atraksi ngurek sesuai dengan cerita,” imbuh Sadia.
Menurut Sadia, kesenian ini termasuk sakral. Biasanya dipentaskan saat odalan di Pura Maospait saat Purnama Kapat, tepatnya masolah tiga hari setelah puncak odalan. Namun yang ditampilkan di panggung Mahalango menggunakan barong dan rangda profan. “Kalau di pura kita ada sesuhunan barong dan rangda, namun yang kita tampilkan malam ini memakai profan,” jelasnya. Sadia berharap, kesenian ini bisa menggugah generasi muda melestarikan tari klasik Penyalonarangan. “Kami berharap kesenian ini tidak punah,” ungkapnya. *
DENPASAR, NusaBali
Minimnya dialog dan didominasi gerakan tari yang menjadi pembeda dengan pentas Calonarang lainnya. Uniknya lagi, Calonarang ini merupakan pementasan sakral yang bisanya dibawakan saat pujawali di Pura Maospahit setiap Purnama Kapat.
Dibandingkan pementasan Calonarang lainnya, tari klasik Penyalonarangan ini jauh dari kesan seram atau mistik. Pasalnya, pementasan ini tak diwarnai dengan bangke matah (mayat hidup), tidak ada sanggah cucuk, gedang renteng, ataupun tokoh yang mengundang penekun ilmu hitam untuk uji ilmu. Unsur ngurek (menikam tubuh dengan senjata tajam), barong, dan rangda tetap ada. Sanggar Manik Metu juga menarikan Topeng Bang dan Telek.
“Kalau Calonarang, umumnya ada cerita mengkhusus dan vokalnya lebih banyak. Tapi kalau seni tari klasik penyalonarangan ini lebih banyak ke gerak ketimbang vokalnya,” terang pimpinan sanggar, Nyoman Sadia. Diungkapkan, tarian klasik penyalonarangan yang ditampilkan mengandung cerita pemurthian Durga menjadi Panca Durga yang membuat seisi alam bhur bwah swah menjadi kedurmanggalaan.
Siwa dalam prabhawanya sebagai Sang Hyang Jagat Karana yang kebingungan akan dampak Panca Durga tersebut, menitahkan Sang Hyang Tri Semara turun ke dunia dalam wujud barong, topeng bang, dan telek. Ketiga Prabhawa tersebut nyomya (melebur) aktivitas Panca Durga dengan konsep Satyam Siwam Sundaram. “Karena itu dalam pementasan kami menampilkan tari Telek, Topeng Bang, Barong, juga Rangda dan atraksi ngurek sesuai dengan cerita,” imbuh Sadia.
Menurut Sadia, kesenian ini termasuk sakral. Biasanya dipentaskan saat odalan di Pura Maospait saat Purnama Kapat, tepatnya masolah tiga hari setelah puncak odalan. Namun yang ditampilkan di panggung Mahalango menggunakan barong dan rangda profan. “Kalau di pura kita ada sesuhunan barong dan rangda, namun yang kita tampilkan malam ini memakai profan,” jelasnya. Sadia berharap, kesenian ini bisa menggugah generasi muda melestarikan tari klasik Penyalonarangan. “Kami berharap kesenian ini tidak punah,” ungkapnya. *
Komentar