Nasib Seni Sakral
HASRAT menggali dan memperkenalkan sebanyak mungkin kesenian yang dimiliki telah menimbulkan masalah-masalah baru di tengah masyarakat Bali.
Mereka berhadapan pada pertanyaan: apakah semua kesenian yang mereka miliki memang harus dipertontonkan kepada masyarakat luar? Tidakkah itu justru mengurangi kesucian seni sakral mereka? Bahkan kini mulai terdengar komentar, jika semua tari atau karawitan yang hanya dipertunjukkan saat upacara agama juga bebas disuguhkan untuk orang luar, niscaya tak akan ada lagi pemisahan seni sakral dengan seni profan.
Turisme acap kali dituding sebagai penyebab lunturnya penghayatan orang Bali terhadap kesenian yang mereka miliki. Jika tak ada bisnis wisata, tentu tak ada seni pertunjukan kemasan, semuanya akan tetap alami. Namun, mereka juga mengakui, turisme menyebabkan seni-seni yang tersudut nyaris musnah, hidup kembali, karena wisatawan memang meminta dan meminatinya.
Awal tahun 1970-an Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya), lembaga semi pemerintah, semacam dewan kesenian, mulai ketat mempersoalkan seni sakral dan seni profan. Majelis ini melarang keras pertunjukan seni sakral untuk turis. Berbarengan dengan itu Listibiya juga menilai tiap sekaa kesenian yang hendak tampil untuk turis, atau yang akan berangkat ke mancanegara. Yang lolos seleksi diberi sertifikat parama patram budaya. Dengan begitu diharapkan hanya seni yang benar-benar bermutu digelar di luar negeri. Parama patram budaya menjadi semacam paspor atau SIM.
Tari cak yang tersohor dan kini merupakan seni pertunjukan paling banyak mengeruk dolar, semula adalah tari sanghyang yang sakral di Desa Bedahulu. Walter Spies tahun 1930-an mengolahnya menjadi cak yang kita kenal sekarang (yang sering keliru dipromosikan sebagai monkey dance). Tarian yang semula dengan sepuluh penari ini sekarang berkembang menjadi pertunjukan massal dengan puluhan hingga ratusan penari.
Siasat cermat Spies lantas diikuti banyak orang Bali. Kita pun kini mengenal tari Sanghyang Jaran yang sakral dipentaskan untuk turis dengan merek dagang fire dance yang semula saban petang di Desa Bona, Gianyar. Mereka memang tidak pentas di hotel, tapi turis sendiri yang datang menontonnya ke desa setelah membayar tiket yang diatur biro perjalanan.
Desakralisasi tari Bali sulit dibendung. Pemerintah daerah, tanpa disadari ikut mempercepat proses itu. Pernah berkali-kali dalam pawai Pesta Kesenian Bali (PKB) terdengar protes mengapa berbagai seni tari Baris, seperti Baris Gede, Baris Memedi, yang sakral ikut berparade dan demonstrasi di depan panggung kehormatan. Bahkan beberapa tari sakral ikut pentas dalam PKB. Topeng Brutuk yang sakral dari Desa Trunyan, misalnya, pernah dipentaskan dalam PKB. Tari Janger Meborbor dari Desa Merta, Kabupaten Bangli juga dipentaskan dalam PKB.
Sebagai kesenian sakral, Janger Meborbor hanya dipentaskan kalau ada upacara keagamaan di pura. Pemerintah daerah kemudian meminta sekaa janger itu tampil di PKB. Janger dan kecak yang semuanya belum akil balig, datang ke tempat pertunjukan naik truk. Pada akhir pertunjukan, penari, laki dan perempuan, menginjak bara api. Tak seorang pun mengalami luka bakar.
Tontonan ini sangat disukai karena keunikannya, tapi juga mengundang protes: mengapa seni sakral dipertontonkan? Jika pemerintah daerah melarang seni sakral dipertunjukkan buat turis, tentu suguhan serupa dalam PKB harus ditiadakan.
Tapi, persoalan menjadi tidak sederhana lagi ketika sekaa pemilik seni sakral itu sendiri yang justru ingin tampil dengan bangga mempertontonkan kesenian mereka. Maka seni sakral pun menghadapi dilema: silakan dipertontonkan dengan risiko dipuji, dikagumi, atau disoraki, dikecam, dan dilecehkan penonton; atau disimpan saja dan tak seorang luar pun bakal mengenalnya.
Tradisi Bali sudah memberi batasan jelas untuk seni pertunjukan, yakni seni wali (pertunjukan yang hanya digelar untuk persembahan dalam upacara agama), seni bebali (dihadirkan dalam upacara agama tapi tak mesti selalu ada), dan seni bebalihan (seni yang sengaja dikemas untuk tontonan). Namun, batasan ini kemudian tidak jelas lagi karena yang dianggap sakral bukan tariannya, tapi perangkat yang dipergunakan untuk menari seperti topeng, gelungan (mahkota), atau pakaian dan gamelannya. Maka tari Topeng Brutuk bisa saja dipertontonkan buat turis dan siapa saja asal penari memakai topeng duplikat.
Orang-orang Bali belum punya kesepakatan pendapat tentang batasan tari sakral dan profan. Ada yang berkomentar, tari itu akan sakral kalau memang dipentaskan dalam upacara keagamaan. Kalau tidak, ia tak sakral lagi. Kelompok ini berpegang pada asas konteks untuk apa tari itu dipertunjukkan. Karena itu, tari sakral bisa dipertunjukkan di mana saja, kapan saja. Artinya, gamelan dan tari sakral bisa saja berubah jadi profan. Ia sakral jika dipentaskan berkaitan dengan upacara keagamaan, dan hilang sakralnya kalau digelar untuk turis. Namun, kelompok ini belum punya kata sepakat, apakah tari itu boleh dikomersialkan atau tidak. Jika bisa dijual, sebatas mana komersialisasi itu diizinkan?
Kelompok lain berpendapat, tari sakral tetap sakral, karena itu hanya boleh dipentaskan buat persembahan dalam upacara keagamaan. Sekaa-sekaa harus diberitahu dan diimbau agar tidak mempertontonkan seni sakral mereka, duplikatnya sekali pun.
Ada pula yang berkomentar, untuk apa mempersoalkan hal itu? Topeng-topeng rangda yang disakralkan di banyak pura bukankah kini banyak ditiru, menjadi seni massal yang dijual di kios-kios dan pasar seni? Topeng-topeng itu digantung di ruang tamu, di hotel-hotel, di kafe-kafe, dan rumah makan. Namun toh topeng-topeng rangda yang ada di pura tetap dikeramatkan. Bukankah kini mulai ada tari ‘duniawi’ yang kemudian menjadi sakral, misalnya tari Gabor. Tari ini diciptakan oleh Anak Agung Raka Saba dan disempurnakan oleh koreografer Wayan Berata untuk seni bebalihan (tontonan). Kemudian banyak orang desa menyukainya, sehingga dipertunjukkan untuk upacara keagamaan. Jadilah tari Gabor yang bebalihan menjadi tari wali yang sakral. Tari ini juga sering dipertunjukkan di hadapan turis dan tamu negara.
Begitulah nasib seni sakral di Bali, terus menerus diperbincangkan, tiada henti mengundang pertentangan dan perbedaan pendapat. Di Bali, seni sakral memang benar-benar suci dan sakti, tak kunjung reda orang mempersoalkan. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar