Kopi Ngaben
Sekarang orang Bali yang meninggal tidak ingin merepotkan warga satu kampung.
Aryantha Soethama
Pengarang
Jika belum ada hari baik (dewasa ayu), jenazah tak usah buru-buru dibawa pulang, biarkan saja di rumah sakit. Kini sudah lazim, rumah sakit menerima titipan mayat.
Keluarga yang sedang berduka pun jadi tidak repot. Jika sekarang seseorang meninggal, dan hari baik baru ada sepekan lagi, selama lima hari mayat akan disimpan di rumah sakit. Dulu, sebelum kebiasaan menitip mayat ini muncul, jenazah langsung dibawa pulang, menunggu dewasa ayu. Mayat bisa terbaring di rumah berhari-hari. Selama waktu itu pula, warga banjar datang ke rumah duka. Lazimnya mereka datang malam hari untuk magebagan, menunggui jenazah, membuat rumah duka ramai. Ada warga yang datang ngobrol, banyak pula yang maceki.
Karena jenazah masih dititip di rumah sakit, tentu tak ada krama datang ke rumah duka. Banyak keluarga membawa jenazah pulang dua hari sebelum ngaben. Bahkan banyak yang besok ngaben, hari ini jenazah diambil dari rumah sakit. Mereka berpendapat, cari yang sederhana saja, tak usah repot.
Banyak orang Bali yang kini menganggap sebuah kerepotan mengurus kehadiran warga. Tetapi, banyak pula yang justru menganggap ketika berduka, menjelang ngaben, adalah saat untuk bersosialisasi dengan krama. “Tak apa warga datang, itu pertanda simpati, kan kami cuma menyuguhkan kopi atau teh,” ujar keluarga yang tengah berduka.
Agar tidak menimbulkan kesan merepotkan, beberapa desa mengeluarkan awig-awig, melarang menyuguhkan kopi atau teh kepada warga atau tamu ketika datang ke rumah duka, cukup air kemasan dalam gelas saja. Tapi, aturan ini tak sepenuhnya bisa dijalankan. Ketika ada kerabat atau keluarga dari luar kota datang, tentu mereka disuguhi teh atau kopi. Jika krama datang, masak yang disuguhkan air kemasan dalam gelas plastik. Agar tidak mengesankan pilih kasih, akhirnya warga, kerabat, krama, juga disuguhi kopi.
Tapi, tetap ada bedanya suguhan kopi untuk krama dan tamu. Para tamu biasanya disuguhi kopi menggunakan cangkir, jika krama disuguhi teh atau kopi menggunakan gelas. Kopi dalam gelas itu tidak penuh, tidak juga terisi dua pertiga, biasanya cuma setengah, kadang antara setengah dan dua pertiganya. Gelas yang digunakan seukuran 250 – 300 cc. Jika hanya terisi setengahnya, yang disuguhkan cuma 150 cc. Karena yang disajikan kopi tubruk, ampas kopi mengendap dalam gelas, kopi yang dinikmati krama paling banyak 150 – 175 ml.
Gelas berisi kopi setengahnya ini oleh orang Bali dikenal sebagai kopi ngaben. Jika ada yang menyebut kopi ngaben, itu berarti kopi yang cuma setengah gelas. Kalau ada seseorang bertamu ke rumah kerabat, dan disuguhi kopi dengan setengah gelas, mereka akan berkelakar, “Wah, ini kopi ngaben ya?” Tuan rumah hanya tersenyum, “Kalau kurang boleh nambah,” ujar tuan rumah.
Tidak ada yang bisa menjelaskan, mengapa ada kopi ngaben yang cuma setengah gelas. Kalau teh disajikan dalam gelas dengan lebih dua pertiga isinya. Mungkin menghemat, tapi sesungguhnya tidak juga.
Kopi ngaben ini kemudian menular ke acara-acara adat lain. Jika ada keluarga yang hendak melangsungkan upacara potong gigi atau metatah, dan krama datang berkunjung, kopi yang disuguhkan pun volumenya setengah gelas. Biasanya, sesama krama, akan berujar, “Wah, lagi-lagi kopi ngaben yang tiba.”
Kegiatan upacara di pura pun, jadi ikut-ikutan menyuguhan kopi ngaben ini. Krama yang bertugas di dapur (kesinoman), yang bertanggungjawab untuk konsumsi orang-orang ngayah, akan menyuguhkan kopi setengah gelas. Gaya kopi ngaben ini pun lambat laun menjadi ciri kopi suguhan dalam upacara adat dan keagamaan. Mereka yang kurang suka dengan kopi ngaben ini akan meminta teh, karena teh volumenya lebih banyak, nyaris penuh sampai ke bibir atas gelas.
Ada pula pengayah yang memberanikan diri, sambil berkelakar, agar tidak disuguhi kopi ngaben, saat bergabung dalam kegiatan mempersiapkan upacara di pura. Kepada kesinoman, tatkala disuguhi kopi cuma setengah gelas, ia berujar, “Tolong deh, jangan saya diberi kopi ngaben.” Artinya, si pengayah minta kopi yang volumenya hampir sepenuh gelas.
Kopi ngaben ini tentu dirasakan ganjil oleh krama, terutama anak muda, yang pernah tinggal di tempat kos ketika menuntut ilmu di masa kuliah. Orang-orang kos, yang biasanya bikin kopi sendiri, bikinnya banyak, menggunakan gelas 400 – 500 cc. Gelas diisi penuh, dan menyeruput kopi bisa 2 – 3 kali sehari. Tuan rumah, mungkin seorang pensiunan, geleng-geleng kepala, “Apakah perut kalian tidak panas menyeruput kopi sebanyak itu?” tanya dia. Padahal, dulu, ketika si tuan rumah muda dan masih kuliah, bikin kopinya juga banyak, kadang sampai empat kali ngopi sehari, jika begadang dengan kawan-kawan sambil memetik gitar mendendangkan lagu-lagu folk song.
Mungkin juga, kisah kopi ngaben setengah gelas ini, ada kaitannya dengan kini zaman kopi sachet, yang cukup dituang dengan air panas 150 cc. Kalau kelebihan air, kopi jadi hambar. Kalau memang mau banyak, ya harus menyeduh 3 – 4 sachet. Jangan-jangan kopi ngaben ini suguhan kopi dengan volume yang ideal. Tidak banyak jelas, tapi tak juga terasa sedikit. Kalau dipikir-pikir, pas. *
1
Komentar