Habiskan Makananmu
Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebut sebanyak 40 persen makanan terbuang begitu saja di seluruh Eropa.
Siapapun pasti pernah tidak menghabiskan makanan di piring. Bisa karena sudah kenyang, dan tak mampu lagi menghabiskan, tapi bisa juga makanan yang dipesan ternyata tak sesuai bayangan. Apa yang terjadi? Makanan itu pun jadi terbuang. Selanjutnya yang terjadi adalah sampah jadi penuh dengan sisa makanan.
Belakangan negara-negara maju terus berusaha mencari solusi atas masalah ini. Termasuk Italia. Pemerintah Italia mendukung penuh undang-undang baru yang ditujukan untuk memangkas jumlah makanan yang terbuang di negeri itu.
Undang-undang yang sudah disetujui 181 orang senator itu ditujukan untuk mendorong para keluarga untuk menggunakan kantong untuk membawa makanan sisa saat mereka makan di restoran. Undang-undang ini juga menyingkirkan kendala bagi para petani dan toko serba ada yang ingin menyumbangkan makanan untuk keperluan amal.
Di titik akhir, diharapkan undang-undang tersebut dapat mengurangi lima ton makanan yang terbuang setiap tahunnya. Undang-undang ini hanya ditentang dua senator dan satu suara abstain dalam sidang pada Selasa (2/8/2016). Pemerintah Italia mengatakan, makanan yang terbuang merugikan bisnis dan keluarga Italia lebih dari 12 miliar euro atau hampir mencapai Rp 176 triliun setahun atau sama dengan satu persen GDP Italia.
Dan sejak Italia memiliki utang publik hingga 135 persen dan angka pengangguran hingga 20 persen serta jutaan warga Italia yang hidup dalam kemiskinan, maka jumlah makanan yang terbuang terlihat sangat tidak adil. Tiga bulan lalu mahkamah agung Italia memutuskan warga miskin yang mencuri makanan dalam jumlah kecil tidak akan dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Nah, undang-undang baru ini akan mempermudah proses donasi makanan dengan mengizinkan para pebisnis mencatat donasi itu dengan cara yang sangat mudah. Menurut harian La Republicca, undang-undang baru ini menghilangkan sanksi terhadap pebisnis yang memberikan makanan yang sudah melampau masa jualnya. Selain itu para pebisnis juga dijanjikan pajak yang lebih ringan jika mereka semakin banyak memberikan donasi.
Para petani juga dimudahkan untuk mendonasikan produk mereka yang tak terjual ke lembaga-lembaga amal tanpa mengeluarkan biaya tambahan. Tak hanya itu, Kementerian Pertanian juga menyiapkan anggaran sebesar 1 juta euro untuk mengembangkan cara inovatif menyimpan makanan agar tidak cepat membusuk.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebut sebanyak 40 persen makanan terbuang begitu saja di seluruh Eropa."Padahal sisa makanan di seluruh Eropa itu bisa memberi makan setidaknya 200 juta orang," demikian FAO seperti dilaporkan independent. Undang-undang serupa juga diterbitkan di beberapa negara Eropa tetapi dengan sanksi yang sedikit lebih berat. Di Prancis para pemilik toko serba ada diancam hukuman denda 75.000 euro jika mereka tidak menandatangani kesepakatan dengan lembaga-lembaga amal untuk mendonasikan makanan yang tak terjual.
Setiap tahun, 1,3 miliar ton makanan dibuang di seluruh dunia, bukannya disumbangkan untuk amal atau bank makanan. Hal ini perlahan-lahan bisa mulai berubah meskipun, berkat keputusan penting di Prancis. Senat Prancis telah melarang supermarket membuang makanan yang tidak terjual. Kebijakan ini membuat prancis sebagai negara pertama di dunia yang menerapkan larangan tersebut. Sebaliknya, supermarket harus menandatangani kontrak sumbangan dengan badan amal. Hukuman untuk pemimpin yang tidak melakukannya adalah denda hingga 75.000 euro (58.000 pound sterling/ 84.000 dolar), atau dua tahun penjara.
"Yang paling penting, karena supermarket akan diwajibkan untuk menandatangani kesepakatan sumbangan dengan badan amal, kita akan dapat meningkatkan kualitas dan keragaman makanan yang kita dapatkan dan mendistribusikannya,” kata Jacques Bailet, kepala jaringan bank makanan Prancis (Banques Alimentaires) dilaporkan The Guardian. “Dalam hal keseimbangan gizi, saat ini kami defisit daging dan kekurangan buah dan sayuran. Ini diharapkan mendorong produk mereka.”
Bank makanan dan badan amal bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyimpan makanan sendiri, sehingga banyak relawan dan donatur yang diperlukan untuk menangani masuknya makanan baru. Makanan juga harus diberikan di pusat yang tepat, dan tidak hanya diserahkan di jalan.
Prancis diperkirakan membuang 7,1 juta ton makanan setiap tahunnya, meski hanya 11 persen berasal dari toko-toko (67 persen adalah konsumen, dan 15 persen restoran), sehingga masih ada celah makanan terbuang percuma. Meskipun demikian, itu merupakan langkah penting menuju masyarakat yang lebih berkelanjutan. Gerakan ini dimulai dengan sebuah petisi oleh politisi Arash Derambarsh. Sekarang ia berharap Uni Eropa akan melihat dan memperkenalkan undang-undang serupa di seluruh Eropa. Memaksa negara-negara lain untuk lebih baik mengelola makanan yang tidak terjual.
Di bawah hukum Prancis, supermarket juga akan dilarang dengan sengaja merusak makanan, seperti dengan menuangkan pemutih di atasnya untuk mencegah orang dari mengobrak-abrik tempat sampah, atau menyimpannya di gudang terkunci.
Kenyataan itulah yang membuat Prancis, menjadi negara pertama yang melarang membuang makanan. Jika melanggar, maka bersiaplah membayar denda hingga 3.750 Euro atau lebih dari Rp56 juta.
Data mengungkapkan, sebelum aturan ini diberlakukan ada sekitar 7,1 juta ton makanan terbuang di Prancis. Sebagian besar yaitu 67 persen, berasal dari rumah tangga, 15 persen lainnya dari restoran, dan 11 persen dari toko dan super market. Data lain di Inggris mengungkapkan jumlah makanan yang terbuang dalam jumlah yang sama. Pemerintah Prancis mengharuskan makanan yang tak terjual dari toko dan super market, disumbangkan ke panti sosial atau bank makanan. Tentunya selama makanan tersebut masih layak dikonsumsi.
Sebagian orang merasa tak tega menyisakan makanan di piring. Agar tak membuang makanan, mereka meminta dibungkus untuk dibawa pulang dan disantap nanti. Namun, orang Prancis tak terbiasa dengan hal ini. Prancis dikenal sebagai pusat kuliner dunia, namun berton-ton makanan dibuang setiap tahunnya. Menurut salah satu konsultan kuliner terkemuka, sejak 1990-an beberapa pemilik restoran di Prancis sudah mencoba membiasakan orang-orang Prancis membawa pulang makanan sisa, tapi selalu gagal.
Dalam tulisan yang pernah dilaporkan situs The Local, tampaknya halangan utamanya adalah budaya Prancis itu sendiri. Laurent Calvayrac, pendiri perusahaan kemasan ramah lingkungan di Prancis, mengatakan orang-orang Prancis sudah diajarkan sejak kecil untuk menghabiskan makanan di piring.
"Bahkan sekarang, ketika saya makan di luar, seberapa besarpun porsinya, saya akan menandaskannya meski kenyang. Jadi, membawa pulang makanan sisa bukan bagian dari tradisi Prancis," jelas Calvayrac.
Selain itu, orang Prancis juga takut dilihat orang membawa bungkus makanan ke luar restoran. Menurut Calvayrac, hal ini tak sopan dan menunjukkan salah asuhan, seperti halnya tak mengucapkan terima kasih, atau tidak menahan pintu agar tetap terbuka saat seseorang akan lewat.
Kebiasaan ini tampaknya juga dipengaruhi ukuran porsi hidangan di Prancis. Biasanya sajian di sana berporsi relatif kecil sampai sedang, berbeda dengan porsi makanan di Amerika Utara. Jadi, makanan bisa dihabiskan tanpa tersisa.
Ternyata, selain kedua faktor tadi, ada masalah yang lebih serius. Menurut pemahaman ketua Club de Directeurs de la Restauration d'Exploitation, Jean-Claude Eudes, undang-undang kesehatan menyatakan membiarkan pelanggan membawa makanan keluar restoran adalah ilegal.
"Pemilik restoran bertanggung jawab jika ada kasus keracunan makanan, dan klien bisa melayangkan tuntutan," ungkap Eudes. Namun, menurut Calvayrac, kepercayaan umum membungkus makanan adalah ilegal sebenarnya tidak benar.
"Setelah restoran menghidangkan makanan kepada pelanggan, restoran dibebaskan dari tanggung jawab terhadapnya. Menurut saya para pemilik restoran salah mendapat informasi dan mungkin tidak menyadari sepenuhnya kalau orang-orang tertarik membungkus makanan," kata Calvayrac.
Tampaknya, mau tidak mau, nantinya orang-orang Prancis terpaksa membiasakan membungkus makanan yang tak habis. Pasalnya, mulai 2016 ini, restoran yang menyajikan lebih dari 180 hidangan per hari harus mengurangi sampahnya atau harus membayar denda. Aturan ini dibuat untuk memenuhi target mengurangi limbah hingga setengahnya pada 2025.
Tak hanya di dua negara itu. Setiap tahun, warga Australia membuang makanan senilai 10 miliar dollar (sekitar Rp 100 triliun). Polanya dimulai dari pertanian saat buah dan sayuran ditolak karena alasan bentuknya tidak bagus berlanjut ke rumah tangga. Sisa atau makanan yang tidak disukai dibuang begitu saja.
Di Australia, antara 20 dan 40 persen buah serta sayuran ditolak sebelum mencapai pertokoan karena tidak memenuhi kriteria standar dan spesifikasi bentuk yang dikehendaki supermaket.
CEO Ozharvest, Ronni Kahn, mengatakan, organisasinya mengumpulkan produk dan makanan yang tidak dikehendaki dari sejumlah pertanian, toko, serta restoran, dan memberikannya ke lebih dari 500 badan amal untuk dibagikan kepada mereka yang kelaparan.
Ronni Kahn mengatakan, Ozharvest pernah diminta mengambil 14 ton wortel yang ditolak sejumlah supermarket. Kalau tidak, wortel-wortel itu akan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Menurut Ronni Kahn, ini semata soal pendidikan dan orang menjadi siap untuk menerima produk yang tidak terlalu sempurna bentuknya.
Di ujung lain dari rantai makanan itu, limbah makanan itu mencakup 35 sampai 40 persen dari sampah rumah tangga. Begitu terkumpul di TPA, limbah itu akan terproduksi gas rumah kaca metana.
Organisasi Pangan dan Pertanian melaporkan, sepertiga dari makanan itu diproduksi untuk konsumsi manusia, atau 1,3 miliar ton setahun, terbuang.
Pangan terbuang juga berarti membuang sumber daya untuk memproduksinya seperti air, buruh, bahan kimia, dan pupuk tanah.
Ronni Kahn dari Ozharvest seperti dilansir abc australia mengatakan, tantangannya adalah untuk menciptakan budaya pangan yang berkelanjutan, yaitu mengurangi pembuangan di semua tingkat produksi pangan, distribusi, dan konsumsi.
Ia mengatakan, Australia memproduksi cukup pangan untuk 60 juta orang, sementara dua juta warga Australia bergantung pada bantuan pangan setiap tahunnya, dan hampir 90 persen dari organisasi-organisasi bantuan telah melaporkan tidak dapat memenuhi permintaan.
Hong Kong membuang sekitar 3.600 ton bahan makanan per hari sepanjang tahun lalu.
Angka ini merupakan 11% kenaikan dari statistik yang sama tahun sebelumnya, sementara Hong Kong juga menjadi jauh lebih banyak menyampah bahan makanan ketimbang beberapa kota di negara tetangganya.
Menurut kelompok pecinta lingkungan Friends of the Earth, tiap warga Hong Kong membuang setengah kilo makanan setiap hari, sementara warga Singapura membuang 0,36 kg, warga Taiwan 0,35 kg dan warga Seoul 0,29 kg bahan makanan tiap harinya.
Friends of the Earth meluncurkan kampanye mendorong warga Hong Kong untuk mengurangi sedikitnya dua jenis menu makanan dalam tradisi jamuan untuk menandai peringatan pernikahan, transaksi bisnis penting serta kesempatan khusus lainnya. Dalam tradisi jamuan makan ala Hong Kong menu bisa dinikmati sampai 12 kali makan.
Sekitar dua per tiga sampah bahan makanan di Hong Kong berasal dari buangan rumah tangga, dan sisanya dari supermarket, toko bahan pangan, restoran, hotel dan Sekolah di kota itu. Jumlah sampah makanan dari kategori kedua ini terus meningkat dengan pesat.Upaya untuk membujuk warga dan pihak swasta melakukan daur ulang makanan sulit dan jarang dilakukan.
Sebagian besar warga tinggal di apartemen tinggi, sehingga tak ada lahan untuk membuat kompos sementara pemerintah kota juga tak memiliki prasarana untuk daur ulang bahan makanan yang memadai. *
Belakangan negara-negara maju terus berusaha mencari solusi atas masalah ini. Termasuk Italia. Pemerintah Italia mendukung penuh undang-undang baru yang ditujukan untuk memangkas jumlah makanan yang terbuang di negeri itu.
Undang-undang yang sudah disetujui 181 orang senator itu ditujukan untuk mendorong para keluarga untuk menggunakan kantong untuk membawa makanan sisa saat mereka makan di restoran. Undang-undang ini juga menyingkirkan kendala bagi para petani dan toko serba ada yang ingin menyumbangkan makanan untuk keperluan amal.
Di titik akhir, diharapkan undang-undang tersebut dapat mengurangi lima ton makanan yang terbuang setiap tahunnya. Undang-undang ini hanya ditentang dua senator dan satu suara abstain dalam sidang pada Selasa (2/8/2016). Pemerintah Italia mengatakan, makanan yang terbuang merugikan bisnis dan keluarga Italia lebih dari 12 miliar euro atau hampir mencapai Rp 176 triliun setahun atau sama dengan satu persen GDP Italia.
Dan sejak Italia memiliki utang publik hingga 135 persen dan angka pengangguran hingga 20 persen serta jutaan warga Italia yang hidup dalam kemiskinan, maka jumlah makanan yang terbuang terlihat sangat tidak adil. Tiga bulan lalu mahkamah agung Italia memutuskan warga miskin yang mencuri makanan dalam jumlah kecil tidak akan dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Nah, undang-undang baru ini akan mempermudah proses donasi makanan dengan mengizinkan para pebisnis mencatat donasi itu dengan cara yang sangat mudah. Menurut harian La Republicca, undang-undang baru ini menghilangkan sanksi terhadap pebisnis yang memberikan makanan yang sudah melampau masa jualnya. Selain itu para pebisnis juga dijanjikan pajak yang lebih ringan jika mereka semakin banyak memberikan donasi.
Para petani juga dimudahkan untuk mendonasikan produk mereka yang tak terjual ke lembaga-lembaga amal tanpa mengeluarkan biaya tambahan. Tak hanya itu, Kementerian Pertanian juga menyiapkan anggaran sebesar 1 juta euro untuk mengembangkan cara inovatif menyimpan makanan agar tidak cepat membusuk.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebut sebanyak 40 persen makanan terbuang begitu saja di seluruh Eropa."Padahal sisa makanan di seluruh Eropa itu bisa memberi makan setidaknya 200 juta orang," demikian FAO seperti dilaporkan independent. Undang-undang serupa juga diterbitkan di beberapa negara Eropa tetapi dengan sanksi yang sedikit lebih berat. Di Prancis para pemilik toko serba ada diancam hukuman denda 75.000 euro jika mereka tidak menandatangani kesepakatan dengan lembaga-lembaga amal untuk mendonasikan makanan yang tak terjual.
Setiap tahun, 1,3 miliar ton makanan dibuang di seluruh dunia, bukannya disumbangkan untuk amal atau bank makanan. Hal ini perlahan-lahan bisa mulai berubah meskipun, berkat keputusan penting di Prancis. Senat Prancis telah melarang supermarket membuang makanan yang tidak terjual. Kebijakan ini membuat prancis sebagai negara pertama di dunia yang menerapkan larangan tersebut. Sebaliknya, supermarket harus menandatangani kontrak sumbangan dengan badan amal. Hukuman untuk pemimpin yang tidak melakukannya adalah denda hingga 75.000 euro (58.000 pound sterling/ 84.000 dolar), atau dua tahun penjara.
"Yang paling penting, karena supermarket akan diwajibkan untuk menandatangani kesepakatan sumbangan dengan badan amal, kita akan dapat meningkatkan kualitas dan keragaman makanan yang kita dapatkan dan mendistribusikannya,” kata Jacques Bailet, kepala jaringan bank makanan Prancis (Banques Alimentaires) dilaporkan The Guardian. “Dalam hal keseimbangan gizi, saat ini kami defisit daging dan kekurangan buah dan sayuran. Ini diharapkan mendorong produk mereka.”
Bank makanan dan badan amal bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyimpan makanan sendiri, sehingga banyak relawan dan donatur yang diperlukan untuk menangani masuknya makanan baru. Makanan juga harus diberikan di pusat yang tepat, dan tidak hanya diserahkan di jalan.
Prancis diperkirakan membuang 7,1 juta ton makanan setiap tahunnya, meski hanya 11 persen berasal dari toko-toko (67 persen adalah konsumen, dan 15 persen restoran), sehingga masih ada celah makanan terbuang percuma. Meskipun demikian, itu merupakan langkah penting menuju masyarakat yang lebih berkelanjutan. Gerakan ini dimulai dengan sebuah petisi oleh politisi Arash Derambarsh. Sekarang ia berharap Uni Eropa akan melihat dan memperkenalkan undang-undang serupa di seluruh Eropa. Memaksa negara-negara lain untuk lebih baik mengelola makanan yang tidak terjual.
Di bawah hukum Prancis, supermarket juga akan dilarang dengan sengaja merusak makanan, seperti dengan menuangkan pemutih di atasnya untuk mencegah orang dari mengobrak-abrik tempat sampah, atau menyimpannya di gudang terkunci.
Kenyataan itulah yang membuat Prancis, menjadi negara pertama yang melarang membuang makanan. Jika melanggar, maka bersiaplah membayar denda hingga 3.750 Euro atau lebih dari Rp56 juta.
Data mengungkapkan, sebelum aturan ini diberlakukan ada sekitar 7,1 juta ton makanan terbuang di Prancis. Sebagian besar yaitu 67 persen, berasal dari rumah tangga, 15 persen lainnya dari restoran, dan 11 persen dari toko dan super market. Data lain di Inggris mengungkapkan jumlah makanan yang terbuang dalam jumlah yang sama. Pemerintah Prancis mengharuskan makanan yang tak terjual dari toko dan super market, disumbangkan ke panti sosial atau bank makanan. Tentunya selama makanan tersebut masih layak dikonsumsi.
Sebagian orang merasa tak tega menyisakan makanan di piring. Agar tak membuang makanan, mereka meminta dibungkus untuk dibawa pulang dan disantap nanti. Namun, orang Prancis tak terbiasa dengan hal ini. Prancis dikenal sebagai pusat kuliner dunia, namun berton-ton makanan dibuang setiap tahunnya. Menurut salah satu konsultan kuliner terkemuka, sejak 1990-an beberapa pemilik restoran di Prancis sudah mencoba membiasakan orang-orang Prancis membawa pulang makanan sisa, tapi selalu gagal.
Dalam tulisan yang pernah dilaporkan situs The Local, tampaknya halangan utamanya adalah budaya Prancis itu sendiri. Laurent Calvayrac, pendiri perusahaan kemasan ramah lingkungan di Prancis, mengatakan orang-orang Prancis sudah diajarkan sejak kecil untuk menghabiskan makanan di piring.
"Bahkan sekarang, ketika saya makan di luar, seberapa besarpun porsinya, saya akan menandaskannya meski kenyang. Jadi, membawa pulang makanan sisa bukan bagian dari tradisi Prancis," jelas Calvayrac.
Selain itu, orang Prancis juga takut dilihat orang membawa bungkus makanan ke luar restoran. Menurut Calvayrac, hal ini tak sopan dan menunjukkan salah asuhan, seperti halnya tak mengucapkan terima kasih, atau tidak menahan pintu agar tetap terbuka saat seseorang akan lewat.
Kebiasaan ini tampaknya juga dipengaruhi ukuran porsi hidangan di Prancis. Biasanya sajian di sana berporsi relatif kecil sampai sedang, berbeda dengan porsi makanan di Amerika Utara. Jadi, makanan bisa dihabiskan tanpa tersisa.
Ternyata, selain kedua faktor tadi, ada masalah yang lebih serius. Menurut pemahaman ketua Club de Directeurs de la Restauration d'Exploitation, Jean-Claude Eudes, undang-undang kesehatan menyatakan membiarkan pelanggan membawa makanan keluar restoran adalah ilegal.
"Pemilik restoran bertanggung jawab jika ada kasus keracunan makanan, dan klien bisa melayangkan tuntutan," ungkap Eudes. Namun, menurut Calvayrac, kepercayaan umum membungkus makanan adalah ilegal sebenarnya tidak benar.
"Setelah restoran menghidangkan makanan kepada pelanggan, restoran dibebaskan dari tanggung jawab terhadapnya. Menurut saya para pemilik restoran salah mendapat informasi dan mungkin tidak menyadari sepenuhnya kalau orang-orang tertarik membungkus makanan," kata Calvayrac.
Tampaknya, mau tidak mau, nantinya orang-orang Prancis terpaksa membiasakan membungkus makanan yang tak habis. Pasalnya, mulai 2016 ini, restoran yang menyajikan lebih dari 180 hidangan per hari harus mengurangi sampahnya atau harus membayar denda. Aturan ini dibuat untuk memenuhi target mengurangi limbah hingga setengahnya pada 2025.
Tak hanya di dua negara itu. Setiap tahun, warga Australia membuang makanan senilai 10 miliar dollar (sekitar Rp 100 triliun). Polanya dimulai dari pertanian saat buah dan sayuran ditolak karena alasan bentuknya tidak bagus berlanjut ke rumah tangga. Sisa atau makanan yang tidak disukai dibuang begitu saja.
Di Australia, antara 20 dan 40 persen buah serta sayuran ditolak sebelum mencapai pertokoan karena tidak memenuhi kriteria standar dan spesifikasi bentuk yang dikehendaki supermaket.
CEO Ozharvest, Ronni Kahn, mengatakan, organisasinya mengumpulkan produk dan makanan yang tidak dikehendaki dari sejumlah pertanian, toko, serta restoran, dan memberikannya ke lebih dari 500 badan amal untuk dibagikan kepada mereka yang kelaparan.
Ronni Kahn mengatakan, Ozharvest pernah diminta mengambil 14 ton wortel yang ditolak sejumlah supermarket. Kalau tidak, wortel-wortel itu akan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Menurut Ronni Kahn, ini semata soal pendidikan dan orang menjadi siap untuk menerima produk yang tidak terlalu sempurna bentuknya.
Di ujung lain dari rantai makanan itu, limbah makanan itu mencakup 35 sampai 40 persen dari sampah rumah tangga. Begitu terkumpul di TPA, limbah itu akan terproduksi gas rumah kaca metana.
Organisasi Pangan dan Pertanian melaporkan, sepertiga dari makanan itu diproduksi untuk konsumsi manusia, atau 1,3 miliar ton setahun, terbuang.
Pangan terbuang juga berarti membuang sumber daya untuk memproduksinya seperti air, buruh, bahan kimia, dan pupuk tanah.
Ronni Kahn dari Ozharvest seperti dilansir abc australia mengatakan, tantangannya adalah untuk menciptakan budaya pangan yang berkelanjutan, yaitu mengurangi pembuangan di semua tingkat produksi pangan, distribusi, dan konsumsi.
Ia mengatakan, Australia memproduksi cukup pangan untuk 60 juta orang, sementara dua juta warga Australia bergantung pada bantuan pangan setiap tahunnya, dan hampir 90 persen dari organisasi-organisasi bantuan telah melaporkan tidak dapat memenuhi permintaan.
Hong Kong membuang sekitar 3.600 ton bahan makanan per hari sepanjang tahun lalu.
Angka ini merupakan 11% kenaikan dari statistik yang sama tahun sebelumnya, sementara Hong Kong juga menjadi jauh lebih banyak menyampah bahan makanan ketimbang beberapa kota di negara tetangganya.
Menurut kelompok pecinta lingkungan Friends of the Earth, tiap warga Hong Kong membuang setengah kilo makanan setiap hari, sementara warga Singapura membuang 0,36 kg, warga Taiwan 0,35 kg dan warga Seoul 0,29 kg bahan makanan tiap harinya.
Friends of the Earth meluncurkan kampanye mendorong warga Hong Kong untuk mengurangi sedikitnya dua jenis menu makanan dalam tradisi jamuan untuk menandai peringatan pernikahan, transaksi bisnis penting serta kesempatan khusus lainnya. Dalam tradisi jamuan makan ala Hong Kong menu bisa dinikmati sampai 12 kali makan.
Sekitar dua per tiga sampah bahan makanan di Hong Kong berasal dari buangan rumah tangga, dan sisanya dari supermarket, toko bahan pangan, restoran, hotel dan Sekolah di kota itu. Jumlah sampah makanan dari kategori kedua ini terus meningkat dengan pesat.Upaya untuk membujuk warga dan pihak swasta melakukan daur ulang makanan sulit dan jarang dilakukan.
Sebagian besar warga tinggal di apartemen tinggi, sehingga tak ada lahan untuk membuat kompos sementara pemerintah kota juga tak memiliki prasarana untuk daur ulang bahan makanan yang memadai. *
1
Komentar