Pembangunan Pura di Puncak Bukit Sengayang Bikin Resah Krama Catur Desa Dalem Tamblingan
Proses pembangunan pura di kawasan hutan lindung Bukit Sengayang, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng membuat resah warga sekitar.
SINGARAJA, NusaBali
Warga yang bermukim di bawah perbukitan khawatir nanti diamuk bencana banjir dan longsor, karena pohon-pohon di hutan lindung dibabat untuk areal pembangunan pura.
Pembangunan pura di Bukit Sengayang oleh seseorang yang belum diketahui identitasnya oleh masyarakat, aparat desa, maupun prajuru adat ini hingga kini masih menjadi misteri. Apalagi, pembangunan pura dengan membabat pohon tersebut dilakukan tepat di puncak Bukit Sengayang. Pembangunan dilakukan tanpa terlebih dulu ada pemberitahuan kepada warga setempat.
Informasi yang berkembang, pembangunan di hutan lindung puncak Bukit Sengayang itu adalah pembangunan pura dengan skala besar. Namun, hingga kini belum diketahui siapa yang membangun pura dan siapa pula yang akan mengelola tempat itu. Konon, pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang itu diinisiasi oleh seorang Sri Bagawan. Nama puranya pun sudah ditentukan, yakni Pura Gunung Sanghyang.
Krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, yakn Desa Gobleg (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Munduk (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Gesing (Kecamatan Banjar, Buleleng), dan Desa Umejero (Kecamatan Busungbiu, Buleleng) pun resah atas aktivitas pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang ini.
Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, I Gusti Ngurah Agung Pradnyan, mengaku baru mengetahui adanya aktivitas pembangunan di puncak Bukit Sengayang ini setelah ada laporan dari krama di Desa Gesing. Krama Desa Gesing curiga dengan adanya sejumlah orang yang memikul bahan-bahan bangunan dan masuk ke hutan lindung yang selama ini disucikan oleh Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.
Setelah pecalang Catur Desa Adat Dalem Tamblingan dikerahkan melakukan pengecekan ke tengah hutan di puncak Bukit Sengayang, terungkaplah di sana sedang berlangsung proses pembangunan. “Bahkan, beberapa bangunan seperti Sakapat (bertiang empat) sudah selesai dibangun,” ungkap Agung Pradnyan saat ditemui NusaBali di kediamannya di Puri Gobleg, Desa Gobleg, Selasa (21/1) siang.
Menurut Agung Pradnyan, selain beberapa bangunan Sakapat, juga tampak ada lubang-lubang cakar ayam dan sejumlah tenda terpal nampak di tengah hutan yang pohonnya telah dibabat hingga menyerupai lapangan tersebut. “Lokasi pembangunan pura berada di puncak Bukit Sengayang, yang ditempuh 6 jam dengan jalan kaki. Tidak ada akses kendaraan ke sana,” jelas Agung Pradnyan yang juga Pang-lingsir Puri Gobleg.
Pasca pengecekan oleh pecalang, kata Agung Pradnyan, Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan yang sempat berkorodinasi dengan Dinas Kehutanan Buleleng, langsung difasilitasi untuk menghadap Guberur Bali Wayan Koster, 15 September 2019 lalu. Dalam pertemuan dengan Gubernur itu, Agung Pradnyan memaparkan kondisi sebelumnya dan upaya Catur Desa Adat Dalem Tamblingan untuk menjaga serta memuliakan hutan, sesuai dengan visi misi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’.
“Kami saat itu datang dalam posisi bukan menolak dan bukan juga mengiyakan (adanya pembangunan pura di puncak Bukit Sangayang, Red). Kami menyampaikan kondisi dan hal yang sudah kami lakukan selama ini, berikut kekhawatiran krama di Desa Gesing. Pastinya murdaning jagat Bali (Gubernur) lebih mengerti sebagai pemegang wewenang,” kenang Agung Pradnyan.
Sejauh ini, Catur Desa Adat Dalem Tamblingan tidak memasalahkan apakah hutan seluas 1 hektare dibabat pohon dan mulai dibangun bangunan itu adalah hak milik pribadi atau hak guna pakai? Juga tidak memasalahkan siapa yang membangun dan apakah sudah mengantongi izin atau tidak membangun di hutan lindung?
Namun, kata Agung Pradnyan, yang menjadi kekhawatiran adalah akibat dari penebangann di puncak Bukit Sengayang, yang dapat mendatangkan bencana bagi krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan di Desa Gesing. Belum lagi jika pembangunan yang diduga pura di tengah hutan lindung itu dibuka untuk umum, maka akan bertambah lagi pencemarannya. “Selama ini, Catur Desa Adat Dalem Tamblingan menyucikan daerah atas (Bukit Sengayang) dan sepakat tidak ada pura, hanya bebaturan menutup akses ke sana.”
Dengan kondisi saat ini, Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan masih menunggu hasil kajian Gubernur Bali. “Saat ini, kami masih masih menunggu kajian sesuai yang dijanjikan dalam pertemuan dengan Gubernur,” tandas Agung Pradnyan.
“Saat pertemuan itu, Pak Gubernur mengatakan akan mengkaji ulang pembangunan di tengah hutan lindung Bukit Sengayang tersebut. Harapa kami, keputusannya nanti adalah yang terbaik. Kami percaya dan yakin kajian yang dilakukan pemerintah tidak akan merugikan masyarakat,” lanjut Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan ini.
Sementara itu, seorang warga Desa Gesing, Putu Sosiawan, mengatakan hutan di atas Bukit Sengayang yang kini dibangun pura rentan terjadi bencana. Masalahnya, pohon-pohon yang selama ini menjadi penyangga tanah dan penyimpan air hujan, sudah ditebang.
“Kalau terjadi longsor, pasti keluarga saya yang jadi korban pertama, karena pembangunan itu tepat di atas rumah saya, meski jaraknya cukup,” keluh Putu Sosiawan yang juga ditemui di Puri Gobleg, Selasa kemarin. *k23
Pembangunan pura di Bukit Sengayang oleh seseorang yang belum diketahui identitasnya oleh masyarakat, aparat desa, maupun prajuru adat ini hingga kini masih menjadi misteri. Apalagi, pembangunan pura dengan membabat pohon tersebut dilakukan tepat di puncak Bukit Sengayang. Pembangunan dilakukan tanpa terlebih dulu ada pemberitahuan kepada warga setempat.
Informasi yang berkembang, pembangunan di hutan lindung puncak Bukit Sengayang itu adalah pembangunan pura dengan skala besar. Namun, hingga kini belum diketahui siapa yang membangun pura dan siapa pula yang akan mengelola tempat itu. Konon, pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang itu diinisiasi oleh seorang Sri Bagawan. Nama puranya pun sudah ditentukan, yakni Pura Gunung Sanghyang.
Krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, yakn Desa Gobleg (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Munduk (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Gesing (Kecamatan Banjar, Buleleng), dan Desa Umejero (Kecamatan Busungbiu, Buleleng) pun resah atas aktivitas pembangunan pura di puncak Bukit Sengayang ini.
Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, I Gusti Ngurah Agung Pradnyan, mengaku baru mengetahui adanya aktivitas pembangunan di puncak Bukit Sengayang ini setelah ada laporan dari krama di Desa Gesing. Krama Desa Gesing curiga dengan adanya sejumlah orang yang memikul bahan-bahan bangunan dan masuk ke hutan lindung yang selama ini disucikan oleh Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.
Setelah pecalang Catur Desa Adat Dalem Tamblingan dikerahkan melakukan pengecekan ke tengah hutan di puncak Bukit Sengayang, terungkaplah di sana sedang berlangsung proses pembangunan. “Bahkan, beberapa bangunan seperti Sakapat (bertiang empat) sudah selesai dibangun,” ungkap Agung Pradnyan saat ditemui NusaBali di kediamannya di Puri Gobleg, Desa Gobleg, Selasa (21/1) siang.
Menurut Agung Pradnyan, selain beberapa bangunan Sakapat, juga tampak ada lubang-lubang cakar ayam dan sejumlah tenda terpal nampak di tengah hutan yang pohonnya telah dibabat hingga menyerupai lapangan tersebut. “Lokasi pembangunan pura berada di puncak Bukit Sengayang, yang ditempuh 6 jam dengan jalan kaki. Tidak ada akses kendaraan ke sana,” jelas Agung Pradnyan yang juga Pang-lingsir Puri Gobleg.
Pasca pengecekan oleh pecalang, kata Agung Pradnyan, Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan yang sempat berkorodinasi dengan Dinas Kehutanan Buleleng, langsung difasilitasi untuk menghadap Guberur Bali Wayan Koster, 15 September 2019 lalu. Dalam pertemuan dengan Gubernur itu, Agung Pradnyan memaparkan kondisi sebelumnya dan upaya Catur Desa Adat Dalem Tamblingan untuk menjaga serta memuliakan hutan, sesuai dengan visi misi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’.
“Kami saat itu datang dalam posisi bukan menolak dan bukan juga mengiyakan (adanya pembangunan pura di puncak Bukit Sangayang, Red). Kami menyampaikan kondisi dan hal yang sudah kami lakukan selama ini, berikut kekhawatiran krama di Desa Gesing. Pastinya murdaning jagat Bali (Gubernur) lebih mengerti sebagai pemegang wewenang,” kenang Agung Pradnyan.
Sejauh ini, Catur Desa Adat Dalem Tamblingan tidak memasalahkan apakah hutan seluas 1 hektare dibabat pohon dan mulai dibangun bangunan itu adalah hak milik pribadi atau hak guna pakai? Juga tidak memasalahkan siapa yang membangun dan apakah sudah mengantongi izin atau tidak membangun di hutan lindung?
Namun, kata Agung Pradnyan, yang menjadi kekhawatiran adalah akibat dari penebangann di puncak Bukit Sengayang, yang dapat mendatangkan bencana bagi krama Catur Desa Adat Dalem Tamblingan di Desa Gesing. Belum lagi jika pembangunan yang diduga pura di tengah hutan lindung itu dibuka untuk umum, maka akan bertambah lagi pencemarannya. “Selama ini, Catur Desa Adat Dalem Tamblingan menyucikan daerah atas (Bukit Sengayang) dan sepakat tidak ada pura, hanya bebaturan menutup akses ke sana.”
Dengan kondisi saat ini, Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan masih menunggu hasil kajian Gubernur Bali. “Saat ini, kami masih masih menunggu kajian sesuai yang dijanjikan dalam pertemuan dengan Gubernur,” tandas Agung Pradnyan.
“Saat pertemuan itu, Pak Gubernur mengatakan akan mengkaji ulang pembangunan di tengah hutan lindung Bukit Sengayang tersebut. Harapa kami, keputusannya nanti adalah yang terbaik. Kami percaya dan yakin kajian yang dilakukan pemerintah tidak akan merugikan masyarakat,” lanjut Pengrajeg Catur Desa Adat Dalem Tamblingan ini.
Sementara itu, seorang warga Desa Gesing, Putu Sosiawan, mengatakan hutan di atas Bukit Sengayang yang kini dibangun pura rentan terjadi bencana. Masalahnya, pohon-pohon yang selama ini menjadi penyangga tanah dan penyimpan air hujan, sudah ditebang.
“Kalau terjadi longsor, pasti keluarga saya yang jadi korban pertama, karena pembangunan itu tepat di atas rumah saya, meski jaraknya cukup,” keluh Putu Sosiawan yang juga ditemui di Puri Gobleg, Selasa kemarin. *k23
Komentar