Puluhan Babi Mati Mendadak di Jegu
Dinas Pertanian Tabanan telah mengambil sampel dari tiga tempat di Desa Jegu. Sementara peternak ramai-ramai jual babi dengan harga murah.
TABANAN, NusaBali
Puluhan babi milik warga dan peternak di Desa Jegu, Kecamatan Penebel, Tabanan, dilaporkan mati mendadak. Diduga kematian babi tersebut terjangkit virus African Swine Fever (ASF).
Seorang peternak babi yang sekaligus Kelian Dinas Banjar Ngis Kaja I Made Sumardia, mengatakan kematian babi secara mendadak ini sudah terjadi mulai 1 Januari 2020.
Pertama, kematian babi itu terjadi di Banjar Bendul, Desa Jegu. Kemudian matinya babi menyebar ke Banjar Ngis Kaja mulai 9 Januari 2020. “Awalnya tetangga saya yang kena bernama I Putu Narka, kemudian I Nengah Sudastra, lalu saya sendiri,” ungkap Sumardia, Selasa (21/1).
Dikatakannya, dari enam babi yang dia miliki, tiga ekor anakan babi mati secara bergantian. Anakan babi itu mulai mati pada 18 – 20 Januari 2020. “Jadi babi saya mati sehari satu ekor, tidak bersamaan. Babi sudah saya kubur,” imbuhnya.
Diakuinya, babi miliknya mati secara mendadak. Awalnya saat dikasih makan berupa pakan pabrikan, babi mau makan. Namun esok paginya tidak mau bangun. Kondisi babi saat itu di bagian belakang telinga berwarna biru. Lalu mendadak kaki belakang lemas dan kondisi tubuh panas ditambah pula kotoran babi encer. “Padahal awalnya mau makan, tidak ada gejala apapun, tiba-tiba saja tidak mau bangun dan kaki belakang lemas,” tutur Sumardia.
Bahkan tak hanya Sumardia mengalami hal tersebut. Beberapa peternak dan warga yang memiliki babi mengalami kondisi sama. Dan saat ini warga di sembilan banjar di Desa Jegu hampir seluruhnya melaporkan ada ternak babi mati mendadak. Hingga saat ini sudah ada sekitar 50-an babi mati. “Peternak dan warga langsung melapor ke desa, dan desa melapor ke Dinas Pertanian,” tegasnya.
Kematian puluhan babi secara mendadak itu membuat peternak khawatir, babi terjangkit viru. Kekhawatiran itu membuat peternak menjual babi yang tidak kena virus dengan harga murah. Termasuk Sumardia juga menjual babi yang tersisa sebanyak tiga ekor itu dengan harga di bawah standar.
Biasanya harga indukan per kilogram di kisaran Rp 15 ribu – Rp 6 ribu, Sumardia jual seharga Rp 14 ribu per kilogram. Kemudian babi penggemukan harga normal jika tidak ada virus seharga Rp 25 ribu – Rp 26 ribu per kilogram.
Dan sekarang karena ada virus banyak pembeli babi atau saudagar membeli harga bukan per kilogram, tetapi per ekor. Dimana berat 1 kwintal (100 kg) seharga Rp 300 ribu dan di atas 1 kwintal seharga Rp 500 ribu. “Sekarang mayoritas warga di Jegu sudah jual babi. Meskipun ada beberapa yang bertahan tidak menjual karena kondisinya masih sehat,” tutur Sumardia.
Menurut Sumardia dengan adanya permasalahan ini, Bagian Peternakan Dinas Pertanian Tabanan sudah turun ke Desa Jegu. Pada 12 Januari sudah mengambil sampel di tiga tempat. Yakni satu sampel di Banjar Jegu Tengah, satu sampel di Banjar Jegu Tegal, dan satu sampel di Banjar Cepag.
Dari tiga sampel itu, sesuai penjelasan Dinas Pertanian pada Selasa (21/1), dua sampel positif kena ASF yakni sampel di Banjar Jegu Tengah dan sampel di Banjar Jegu Tegal. Sedangkan untuk di Banjar Cepag, negatif. “Petugas mengambil sampel dari darah babi hidup yang sudah mulai kena virus. Hasil sampel kemarin (Senin, 20/1) keluar. Dan tadi (Selasa kemarin) saya sudah tanyakan berkali-kali bahwa dikatakan dua sampel positif ASF. Itu didengar oleh warga dan staf desa,” tegasnya.
Dengan kondisi itu, pada Selasa kemarin, Dinas Pertanian Tabanan sudah melakukan sosialisasi ke Desa Jegu. Peternak diimbau melakukan pembersihan kandang dan sementara diimbau tidak memelihara babi. “Imbauannya seperti itu, jadi nanti mungkin saya akan memelihara lele dan kambing untuk sementara waktu. Padahal saya sudah beternak babi sejak tahun 1991,” tegasnya. Dia pun berharap virus ini segera berakhir. Sebab dia hanya mengandalkan hidup pada beternak babi.
Sementara itu salah seorang warga dari Banjar Jegu Tegal, Ni Made Suryani mengaku meski babinya belum kena virus, karena khawatir akan mati, dia sudah jual ternaknya tersebut. Padahal dua ekor babi yang dimiliki baru berumur 1,5 bulan. Karena peliharaan babi tetangganya mati mendadak akhirnya babi milik Suryani dijual mendadak. “Saya punya babi dua ekor, saya jual satu ekor Rp 700 ribu padahal beli Rp 500 ribu,” tuturnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh warga asal Banjar Sigaran, Desa Jegu, Ni Nyoman Suparning. Dia memiliki dua ekor babi sudah dijual ke saudagar, padahal kondisinya masih sehat. “Takut mati akhirnya saya jual seharga Rp 23 ribu per kilogram. Padahal baru berat 70 kilogram, rencananya mau jual saat Galungan. Karena takut mati, ya saja jual dari pada rugi,” akunya.
Kepala Dinas Pertanian Tabanan I Nyoman Budana mengatakan sudah mengetahui kondisi tersebut, dan staf Dinas Pertanian sudah turun ke lokasi serta mengambil sampel. Namun dia belum tahu hasil uji sampel dimaksud. “Saya baru datang dari Jakarta. Coba tanya lebih jelasnya ke Kabid Peternakan Pak Suamba,” tuturnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kabid Peternakan Dinas Pertanian Tabanan I Wayan Suamba, menyatakan terkait kematian mendadak ternak babi, pihaknya sudah melakukan pengecekan ke lapangan. Dan memang benar bahwa banyak babi warga yang mati. Dinas Pertanian pun sudah membagikan desinfektan untuk membersihkan kandang.
Sementara disinggung sudah ada tiga sampel yang diambil, dan menurut warga dua sampel positif ASF, menurut Suamba hasil uji lab itu masih diragukan karena alatnya kurang canggih. Karenanya masih ditindaklanjuti dibawa ke Medan, Sumatera Utara, untuk memastikan. “Jadi masih dibawa ke Medan itu untuk memastikan, tunggu dulu ya hasilnya,” ucapnya.
Dia juga mengatakan ciri-ciri dari babi yang mati ini mirip juga dengan penyakit dengan hog cholera atau kolera dan scours atau mencret.
“Jadi ini agak sulit. Bahkan Balai Besar Veteriner (BBV) juga akan mengambil sampel pada Rabu (22/1) ke Jegu, untuk memastikan lagi,” tandas Suamba. *des
Puluhan babi milik warga dan peternak di Desa Jegu, Kecamatan Penebel, Tabanan, dilaporkan mati mendadak. Diduga kematian babi tersebut terjangkit virus African Swine Fever (ASF).
Seorang peternak babi yang sekaligus Kelian Dinas Banjar Ngis Kaja I Made Sumardia, mengatakan kematian babi secara mendadak ini sudah terjadi mulai 1 Januari 2020.
Pertama, kematian babi itu terjadi di Banjar Bendul, Desa Jegu. Kemudian matinya babi menyebar ke Banjar Ngis Kaja mulai 9 Januari 2020. “Awalnya tetangga saya yang kena bernama I Putu Narka, kemudian I Nengah Sudastra, lalu saya sendiri,” ungkap Sumardia, Selasa (21/1).
Dikatakannya, dari enam babi yang dia miliki, tiga ekor anakan babi mati secara bergantian. Anakan babi itu mulai mati pada 18 – 20 Januari 2020. “Jadi babi saya mati sehari satu ekor, tidak bersamaan. Babi sudah saya kubur,” imbuhnya.
Diakuinya, babi miliknya mati secara mendadak. Awalnya saat dikasih makan berupa pakan pabrikan, babi mau makan. Namun esok paginya tidak mau bangun. Kondisi babi saat itu di bagian belakang telinga berwarna biru. Lalu mendadak kaki belakang lemas dan kondisi tubuh panas ditambah pula kotoran babi encer. “Padahal awalnya mau makan, tidak ada gejala apapun, tiba-tiba saja tidak mau bangun dan kaki belakang lemas,” tutur Sumardia.
Bahkan tak hanya Sumardia mengalami hal tersebut. Beberapa peternak dan warga yang memiliki babi mengalami kondisi sama. Dan saat ini warga di sembilan banjar di Desa Jegu hampir seluruhnya melaporkan ada ternak babi mati mendadak. Hingga saat ini sudah ada sekitar 50-an babi mati. “Peternak dan warga langsung melapor ke desa, dan desa melapor ke Dinas Pertanian,” tegasnya.
Kematian puluhan babi secara mendadak itu membuat peternak khawatir, babi terjangkit viru. Kekhawatiran itu membuat peternak menjual babi yang tidak kena virus dengan harga murah. Termasuk Sumardia juga menjual babi yang tersisa sebanyak tiga ekor itu dengan harga di bawah standar.
Biasanya harga indukan per kilogram di kisaran Rp 15 ribu – Rp 6 ribu, Sumardia jual seharga Rp 14 ribu per kilogram. Kemudian babi penggemukan harga normal jika tidak ada virus seharga Rp 25 ribu – Rp 26 ribu per kilogram.
Dan sekarang karena ada virus banyak pembeli babi atau saudagar membeli harga bukan per kilogram, tetapi per ekor. Dimana berat 1 kwintal (100 kg) seharga Rp 300 ribu dan di atas 1 kwintal seharga Rp 500 ribu. “Sekarang mayoritas warga di Jegu sudah jual babi. Meskipun ada beberapa yang bertahan tidak menjual karena kondisinya masih sehat,” tutur Sumardia.
Menurut Sumardia dengan adanya permasalahan ini, Bagian Peternakan Dinas Pertanian Tabanan sudah turun ke Desa Jegu. Pada 12 Januari sudah mengambil sampel di tiga tempat. Yakni satu sampel di Banjar Jegu Tengah, satu sampel di Banjar Jegu Tegal, dan satu sampel di Banjar Cepag.
Dari tiga sampel itu, sesuai penjelasan Dinas Pertanian pada Selasa (21/1), dua sampel positif kena ASF yakni sampel di Banjar Jegu Tengah dan sampel di Banjar Jegu Tegal. Sedangkan untuk di Banjar Cepag, negatif. “Petugas mengambil sampel dari darah babi hidup yang sudah mulai kena virus. Hasil sampel kemarin (Senin, 20/1) keluar. Dan tadi (Selasa kemarin) saya sudah tanyakan berkali-kali bahwa dikatakan dua sampel positif ASF. Itu didengar oleh warga dan staf desa,” tegasnya.
Dengan kondisi itu, pada Selasa kemarin, Dinas Pertanian Tabanan sudah melakukan sosialisasi ke Desa Jegu. Peternak diimbau melakukan pembersihan kandang dan sementara diimbau tidak memelihara babi. “Imbauannya seperti itu, jadi nanti mungkin saya akan memelihara lele dan kambing untuk sementara waktu. Padahal saya sudah beternak babi sejak tahun 1991,” tegasnya. Dia pun berharap virus ini segera berakhir. Sebab dia hanya mengandalkan hidup pada beternak babi.
Sementara itu salah seorang warga dari Banjar Jegu Tegal, Ni Made Suryani mengaku meski babinya belum kena virus, karena khawatir akan mati, dia sudah jual ternaknya tersebut. Padahal dua ekor babi yang dimiliki baru berumur 1,5 bulan. Karena peliharaan babi tetangganya mati mendadak akhirnya babi milik Suryani dijual mendadak. “Saya punya babi dua ekor, saya jual satu ekor Rp 700 ribu padahal beli Rp 500 ribu,” tuturnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh warga asal Banjar Sigaran, Desa Jegu, Ni Nyoman Suparning. Dia memiliki dua ekor babi sudah dijual ke saudagar, padahal kondisinya masih sehat. “Takut mati akhirnya saya jual seharga Rp 23 ribu per kilogram. Padahal baru berat 70 kilogram, rencananya mau jual saat Galungan. Karena takut mati, ya saja jual dari pada rugi,” akunya.
Kepala Dinas Pertanian Tabanan I Nyoman Budana mengatakan sudah mengetahui kondisi tersebut, dan staf Dinas Pertanian sudah turun ke lokasi serta mengambil sampel. Namun dia belum tahu hasil uji sampel dimaksud. “Saya baru datang dari Jakarta. Coba tanya lebih jelasnya ke Kabid Peternakan Pak Suamba,” tuturnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kabid Peternakan Dinas Pertanian Tabanan I Wayan Suamba, menyatakan terkait kematian mendadak ternak babi, pihaknya sudah melakukan pengecekan ke lapangan. Dan memang benar bahwa banyak babi warga yang mati. Dinas Pertanian pun sudah membagikan desinfektan untuk membersihkan kandang.
Sementara disinggung sudah ada tiga sampel yang diambil, dan menurut warga dua sampel positif ASF, menurut Suamba hasil uji lab itu masih diragukan karena alatnya kurang canggih. Karenanya masih ditindaklanjuti dibawa ke Medan, Sumatera Utara, untuk memastikan. “Jadi masih dibawa ke Medan itu untuk memastikan, tunggu dulu ya hasilnya,” ucapnya.
Dia juga mengatakan ciri-ciri dari babi yang mati ini mirip juga dengan penyakit dengan hog cholera atau kolera dan scours atau mencret.
“Jadi ini agak sulit. Bahkan Balai Besar Veteriner (BBV) juga akan mengambil sampel pada Rabu (22/1) ke Jegu, untuk memastikan lagi,” tandas Suamba. *des
1
Komentar