Nyoman Tusthi Eddy
Banyak sekali orang Bali bernama Gusti, tapi yang bernama Tusthi, tentu sangat sedikit.
Jika kita diminta menyebut nama-nama teman yang menyandang Gusti, wah, bisa berjam-jam kita menyebut nama-nama itu. Saking banyaknya kita lupa ternyata kita juga Gusti.
Salah satu yang sedikit itu adalah pemilik nama Nyoman Tusthi Eddy. Cobalah mengingat-ingat, berapa kita punya teman bernama Tusthi? Adakah di antara teman yang Tusthi itu bernama Eddy juga? Jangan-jangan yang bernama Tusthi Eddy itu memang cuma satu.
Nama itu pemberian orangtua, dibawa sejak lahir hingga setelah mati. Tak lazim orang Bali bernama Edi. Pemilik nama Edi itu lazimnya bukan nak Bali, orang asing, orang Jakarta. Mungkin agar tidak sama dengan pemilik nama Edi dari luar Bali, Nyoman Tusthi menulis namanya dengan Eddy. Maka lengkaplah laki-laki yang lahir di Desa Pidpid, Karangasem, ini bernama Nyoman Tusthi Eddy. Jika tidak disertai nama Nyoman, pasti banyak orang keliru menduga dia bukan orang Bali. Bisa jadi ia dikira berasal dari Cirebon atau Semarang.
Tusthi Eddy seorang guru yang sangat banyak menulis fiksi seperti puisi dan cerpen, juga prosa, analisis karya-karya sastra. Dia menjadi unik dan menarik, karena sebagai guru dia cermat dalam berbahasa. Jika kebanyakan guru malas membaca, ia rakus dan khusyuk jika membaca buku. Karena rajin membaca, ia tumbuh menjadi penulis yang bagus dan gemilang. Lambat laun, ia lebih dikenal sebagai pengarang tinimbang sebagai guru, padahal ia pernah menjabat kepala SMA di Amlapura.
Boleh jadi karena Tusthi guru, ia memberi pengaruh pada anak didiknya untuk tidak hanya rajin membaca, juga pada akhirnya menulis. Ia mengajarkan agar orang-orang selain membaca juga mengumpulkan buku. Ia punya ribuan buku, sesuatu yang tidak banyak dilakukan oleh para guru. Mengarang pun ia menulis dalam bahasa Indonesia dan Bali sama bagus. Bukunya Mengenal Sastra Bali Modern (1991), sepatutnya dibaca para penekun sastra Bali untuk mendalami perkembangan sastra Bali modern.
Ketika tahun 80-90an menerbitkan sebuah buku masih menjadi suatu pekerjaan yang berat, langka, dan hanya mungkin dilakukan dengan ketekunan tinggi dan perhatian penuh, Tusthi sudah menerbitkan Gumam Seputar Apresiasi Sastra: Sejumlah Esei dan Catatan (1985), juga Kamus Istilah Sastra Indonesia (1991). Di zaman itu, hanya pengarang-pengarang terkenal yang karya-karyanya diterbitkan.
Tusthi tampaknya lebih berhasil sebagai penulis nonfiksi tinimbang fiksi. Ia lebih menampakkan keunggulan sosoknya sebagai seorang cendekiawan tinimbang seniman. Karya-karya esai, analisis, kajian, dalam artikel-artikelnya, sangat kuat, detail, dan mendalam. Jika rekan-rekan pengarang berbincang dengan Tusthi, yang mereka peroleh adalah kritik terhadap sebuah karya. Tusthi dengan mudah mendapatkan celah dan bolong-bolong dari satu karya. Suatu ketika, seorang rekan memuji sebuah cerpen, tapi Tusthi menggeleng-gelengkan kepala. “Ah, cerpen itu dan karya-karya lain si pengarang, sering menggurui,” jelas Tusthi.
Mungkin kebiasaannya membuat studi banding terhadap karya dan pengarang, menjadikan ia menulis Wajah Tuhan di Mata Penyair (1994) diminati dan dibicarakan banyak orang. Tidak heran, kecermatannya dalam analisis dan perbandingan ini membuat Tusthi tertarik menyusun buku Puisi Seputar Dunia - Terjemahan (1984) dan Sajak-sajak Timur Jauh dalam Terjemahan (1985).
Seorang mahasiswa berkisah, ia tidak mengenal Tusthi Eddy sebelumnya. Ketika beberapa orang menyebut namanya, “Saya pikir ia seorang guru biasa yang juga pengarang,” ujar si mahasiswa. Tatkala mahasiswa itu menyaksikan Tusthi hadir dalam beberapa diskusi sastra dan pendidikan, ia tidak begitu memperhatikan isi komentar Tusthi terhadap persoalan yang sedang dibahas. “Yang saya amati justru gaya bicara bapak ini yang kenceng, lurus, sehingga suasana jadi tegang. Saya rasa bapak ini serius banget.”
Tapi, ketika mahasiswa ini membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua yang diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1991), ia kaget dan berubah pandangan. Dalam ucapan terimakasih di buku itu nama Tusthi Eddy disebut bersama 29 tokoh peminat dan pakar kebahasaan. Mereka adalah orang yang menyumbang pikiran melalui berbagai media massa cetak, dalam rangka perbaikan KBBI Edisi Pertama. “Pak Tusthi mendapat perhatian secara nasional,” ujar mahasiswa itu.
Sejak itu si mahasiswa semakin seksama memperhatikan Tusthi kalau berpendapat dalam diskusi-diskusi literasi atau ketika berbincang langsung. “Ini orang Bali langka,” komentar si mahasiswa. “Ia jago berkomentar dengan jangkauan bahasa, sastra dan agama. Analisisnya dalam, luas, tajam dan berani.”
Di Bali ada banyak pengarang, yang menulis sastra lama maupun sastra Bali modern. Pengarang angkatan Tusthi belum banyak. Tapi kini banyak anak muda yang menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Bali. Para pengarang ini cekatan, sigap mengantisipasi perubahan zaman dalam puisi dan prosa. Tak sedikit di antara mereka yang juga guru, gemar pula membaca, punya banyak buku bacaan.
Namun jika ada guru yang pengarang dan juga kritikus sastra, sejauh ini cuma Tusthi Eddy, lelaki yang lahir 12/12/1945, meninggal 12/1/2020. Jenazahnya akan diupacarai mekingsan ring geni besok, Senin (27/1/20). Jazad Tusthi akan dibalut dan dilumat api, asap pun membubung ke awan gemawan. Wajar jika Amlapura, juga Bali, kehilangan sosok ini. Kehilangan yang membuat banyak rekan dan mantan murid-muridnya, mengenang bagaimana Tusthi bisa tumbuh dan berkembang menjadi sosok penekun literasi. Mungkin karena ia hidup di Amlapura yang sepi, sunyi, memberinya keheningan untuk mencipta. Bukankah Amlapura hanya gaduh, jadi terkenal di dunia, hanya jika Gunung Agung meletus?
Semoga Jogor Manik, penjaga pintu surga yang mencatat kedatangan atman, tidak mecuk alis, bingung menerima orang Bali dengan nama tidak biasa, ada Tusthi dan Eddy-nya. Sepantasnya Jogor Manik yakin, yang datang ini adalah atman bersama karma baik dari seorang lelaki Bali penekun literasi, berjasa dalam bahasa dan sastra. Semoga jalan dilapangkan Tuhan, Pak Tusthi.
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar